Senin, 23 Maret 2009

KITAB MANHAJ AL-NAQD ‘INDA AL-MUHADDITSIN

I. Pendahuluan
Hadis Nabi merupakan sumber ajaran kedua sesudah al-Qur’an. Dilihat dari segi periwayatannya hadis menempati kedudukan sebagai zhanni al-Wurud, berbeda dengan al-Qur’an yang qath’i al-wurud.
Penelitian keorisinalan hadis yang zhanni al-wurud ini melahirkan ilmu tentang penelitian hadis berkaitan dengan sanad dan matan hadis. Ulama ahli kritik hadis menyusun berbagai kaidah berkenaan dengan penelitian matan dan sanad yang terangkum dalam ‘Ulumul Hadis.
Sebahagian kalangan masyarakat bahkan di kalangan intelektual Islam seringkali timbul kesan bahwa ilmu kritik hadis merupakan sebuah upaya untuk melecehkan kedudukan dan fungsi hadis dalam agama Islam. Anggapan ini seringkali pula dikaitkan dengan keberadaan penelitian hadis yang sarat kritik yang diciptakan kalangan orientalis, sehingga perkembangan kritik hadis di dunia Islam berkonotasi negatif.
Anggapan seperti inilah dijawab oleh tokoh ilmu hadis kontemporer dari Daratan India – Muhammad Mustafa al-A’zami. Sebagai guru besar Hadis dan Ilmu Hadis Universitas King Saud, Riyadh, ia banyak menyumbangkan karya yang sangat berharga dalam bidang penelitian hadis.
Dalam pembahasan ini penulis memaparkan kajian Kitab Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin karya M.M. al-A’zami tentang penelitian hadis.
II. Kitab Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin
A. Biografi Pengarang
Muhammad Mustafa al-A’zami [selanjutnya disebut dengan Azami], lahir di Kota Mano India Utara pada tahun 1932. Ayahnya seorang pecinta ilmu dan sangat benci penjajahan, serta tidak suka Bahasa Inggris.
Setelah tamat dari sekolah Islam, Azami melanjutkan sekolahnya ke College of Science di Deoband sebagai pusat studi Islam terbesar di India masa itu. Pada tahun 1952, ia menamatkan studinya di Deoband ini dan melanjutkan studinya di Fakultas Bahasa Arab, Jurusan Tadris, Universitas al-Azhar Cairo dan menamatkan pendidikan pada tahun 1955 dengan memperoleh ijazah al-‘Alimiyah. Pada tahun itu pulalah beliau kembali ke tanah airnya India.
Karirnya dimulai tahun 1956 ketika ia diangkat menjadi Dosen Bahasa Arab untuk orang-orang non Arab di Qatar. Kemudian tahun 1957 beliau diangkat sebagai sekretaris Perpustakaan Nasional di Qatar (Dar al-Kutub al-Qatriyah).
Penempaan intelektualnya tidak berhenti, pada 1964 Azami melanjutkan studinya lagi di Universitas Cambridge Inggris hingga meraih gelar Ph.D pada tahun 1966 dengan disertasi berjudul Studies in Early Hadith Literature sebagai salah satu karya terbesar Azami. Setelah itu beliau kembali lagi ke Qatar untuk memegang jabatan semula.
Pada tahun 1968 Azami mengundurkan diri dari jabatannya di Qatar dan pindah ke Makkah untuk mengajar di Fakultas Pasca Sarjana Jurusan Syari’ah dan Studi Islam, Universitas King ‘Abd ‘Aziz (yang sekarang bernama al-Umm al-Qura). Bersama dengan Dr. Amin al-Mishri beliau termasuk orang yang berandil besar dalam pengembangan fakultas tersebut.
Pada tahun 1973 (1393 H) beliau pindah ke Riyadh untuk mengajar ke Departemen Studi Islam Fakultas Tarbiyah, Universitas King Saud. Di Universitas inilah Ali Mustafa Yaqub bertemu dengan Azami sebagai murid dan guru, dan di sini pulalah Ali Mustafa Yaqub mendapat amanah untuk menerjemahkan buku-bukunya ke dalam Bahasa Indonesia.
Reputasi ilmiah Azami melejit ketika tahun 1400/1980 M dengan memenangkan hadiah Internasional Raja Faisal untuk Studi Islam dari Lembaga Hadiah Yayasan Raja Faisal di Riyadh.
Perjalanan ilmiah Azami telah membuahkan beberapa karya :
1. Studies in Early Hadits Literature, sebagai karya monumentalnya dalam bidang hadis.
2. Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin, yang disusun berdasarkan karangannya Studies in Early Hadits Literature. Kitab ini berisi pembahasan tentang metode kritik hadis dan yang lebih penting adalah bantahan-bantahan terhadap pendapat berkaitan dengan penolakan terhadap otentisitas hadis, baik yang berasal dari dalam maupun luar Islam. Kitab ini merupakan Introduction to Kitab Tamyiz karya Imam Muslim.
3. Studies in Hadith Methodologi and Literatur, yang juga telah diterjemahkan dalam edisi Indonesia dengan judul Metodologi Kritik Hadis oleh A. Yamin. Kitab ini juga berisi pembahasan tentang metodologi Kritik Hadis secara sederhana disertai pula dengan literatur kitab-kitab hadis yang mewakili suatu tahap dalam pengumpulan hadis.
4. Kuttab al-Nabi
5. On Schacht’s Origins of Muhammedan Yurisprudence.
6. Dan lain-lain
B. Penulisan Kitab Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin
Kitab Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin pertama kali dicetak bersama Kitab Tamyiz karya Imam Muslim. Dalam cetakan ini Kitab Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin sebagai muqaddimah terhadap kitab Tamyiz (Introduction to Kitab Tamyiz) yang dicetak pada tahun 1395 H, sedangkan pada cetakan kedua, kitab dipisahkan. Namun pada cetakan terbaru 1410 H. kitab ini dicetak seperti cetakan pertama dengan perubahan dan tambahan-tambahan di sana-sini.
Kitab Tamyiz karya Imam Muslim itu sendiri merupakan kitab yang menjelaskan metode Muhaddits dalam penelitian hadis. Dengan demikian terdapat kolerasi yang kuat antara Kitab Manhaj karya Azami dengan Kitab Tamyiz karya Imam Muslim. Pada cetakan pertama Kitab Tamyiz didapati tidak lebih dari 15 lembar.
Kitab Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsin sebagai muqaddimah kitab Tamyiz ini berupa makalah-makalah yang disampaikan ketika Azami memberikan kuliah di Jurusan Syari’ah Universitas King ‘Abd ‘Aziz di Makkah. Sebagian besar pembahasannya diambil dari karyanya Studies in Early Hadith Literatur, terutama yang berhubungan dengan Naqd al-Hadis.
Pada Muqaddimah Kitab Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsin, Azami menjelaskan tentang ulama yang telah mengarang Kitab-kitab penelitian hadis seperti Abu Syuhbah, Nuruddin Itr’, al-Qasimi, dan lain-lain. Pada umumnya ulama memaparkan pembahasan tentang Naqd al-Hadis, tetapi tidak secara terpisah dan tidak diterangkan dengan jelas antara kritik yang dilakukan ulama Mutaqaddimin dan yang dilakukan ulama Mutaakhirin. Jadi menurut Azami kitab-kitab tersebut tidak bisa disebut sebagai kitab Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsin. Nampaknya inilah yang menjadi latar belakang penamaan Kitab Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsin, walaupun secara jelas tidak diungkapkan oleh Azami.
Dalam pembahasannya Azami berusaha secara tuntas menjelaskan metode kritik hadis sejak awal kemunculan dan perkembangan serta kritik-kritik yang dilakukan ulama mutaakhirin. Termasuk bantahan-bantahan terhadap tuduhan-tuduhan yang dilontarkan terhadap otentisitas hadis baik yang berasal dari dalam Islam yang dilakukan oleh kaum intelektual Islam maupun dari luar Islam yang dilakukan oleh orientalis.
C. Sistematika Penulisan dan Kandungan Kitab Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsin
Kitab Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsin karangan Azami ini merupakan salah satu kitab yang dijadikan sebagai acuan dalam penelitian hadis. Kritik hadis yang muncul sering dikaitkan dengan kisah-kisah yang terjadi pada zaman Nabi seperti yang diuraikan dalam kitab Naqd pada umumnya, yaitu keinginan sahabat untuk mengkonfirmasikan kepada Rasul tentang berita yang didapatnya melalui sahabat lain.
Hal inilah yang sering dijadikan cikal bakal munculnya kritik hadis di dunia Islam. Namun sebagian umat Islam menganggap bahwa kritik hadis berasal dari Barat yang dikembangkan para orientalis dalam mempertanyakan otentisitas hadis. Kalangan orientalis, pada umumnya, secara sengaja mengajukan tesis-tesis yang bertujuan untuk mengkritik hadis secara radikal sehingga hadis diragukan keberadaannya.
Dalam kitab Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsin, Azami berusaha menjelaskan kritik hadis yang dimaksud dalam kajian ilmu Hadis, selanjutnya menepis anggapan-anggapan yang berasal dari kaum intelektual Islam dan kaum orientalis yang melemahkan otentisitas hadis.
Azami menjelaskan bahwa pengecekan yang dilakukan para sahabat itu bukan karena mereka curiga terhadap pembawa berita (rawi) bahwa ia berdusta dengan riwayat yang disampaikannya; melainkan semata-mata untuk meyakinkan bahwa berita yang berasal dari Nabi saw. tersebut benar-benar ada. Oleh karenanya pengecekan seperti itu jumlahnya sangat sedikit dan lingkupnya sangat terbatas.
Seiring dengan berlalunya waktu dan berkembangnya ilmu hadis, telah lahir pula ilmu yang khusus mengenai kritik hadis. Para ulama berusaha merumuskan formula-formula untuk penelitian hadis, seperti yang dilakukan Azami dalam kitab Naqd-nya ini.
Sistematimatika kitab Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsin karya Azami ini dapat dilihat sebagai berikut:
1. Bab Pertama
Bab ini menjelaskan tentang pertumbuhan dan sejarah kritik hadis, serta kesalahan-kesalahan dalam periwayatan hadis. Azami mendudukkan apa sebenarnya yang dimaksud dengan Naqd al-Hadis. Bab ini dilengkapi dengan contoh-contoh hadis yang muncul pada zaman Rasul yang akhirnya telah dianggap sebagai cikal bakal kemunculan kritik hadis.
Pada bab ini dijelaskan bahwa pengertian Nadq menurut bahasa adalah تمييز الدراهيم وإخراج الزيف منها (memisahkan uang baik dari yang buruk, dan mengeluarkan yang palsu). Sedangkan menurut istilah Muhadditsin:
تمييز الأحاديث الصحيحة من الضعيفة، والحكم على الرواة توثيقا وتجريحا
Apabila pengertian kritik hadis demikian, maka kegiatan itu telah dimulai pada masa hidup Nabi. Tapi pada masa itu, istilah ini hanya berarti “pergi menemui Nabi untuk membuktikan sesuatu yang dilaporkan telah dikatakan beliau”. Seperti yang dicontohkan tentang Dimam bin Tsa’labah yang datang menemui Nabi Saw dan bertanya: “Muhammad, utusanmu mengatakan kepada kami begini dan begitu.” Nabi menjawab “Dia berkata benar”.
Setelah masa Rasul, masyarakat menghadapi kejadian-kejadian besar dan penting dan terjadi pula pergolakan besar pada masa seperempat abad setelah wafatnya Nabi. Seperti fitnah dalam pembunuhan Usman dan peperangan antara Ali dengan Mu’awiyah sehingga menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Masa ini mulai terjadi pemalsuan hadis terutama di bidang politik untuk mengangkat atau menurunkan citra kelompok tertentu. Dari sini muncullah ahli kritik hadis regional seperti di Madinah dan Iraq.
Memasuki abad ke-2 H, mulailah masyhur para ulama kritik yang melakukan rihlah guna mengkaji hadis, seperti Malik bin Anas, Sufyan al-Tsauri, Syu’bah dan lain-lain. Mereka mempunyai murid-murid yang terus melanjutkan usaha penelitian hadis hingga munculnya ulama hadis semisal Bukhari dan Muslim.
2. Bab Kedua
Bab kedua ini berisi penjelasan tentang ‘adalah, yaitu bagaimana memahami makna ’adalah dan bagaimana cara-cara mengetahui ke’adalahan seorang rawi. Bab ini juga menjelaskan tentang fasik yang selalu dijadikan lawan dari ’adalah.
3. Bab ketiga
Dalam bab ini dijelaskan tentang kedhabitan seorang rawi yang sangat berpengaruh terhadap keshahihan atau kedhaifan sebuah hadis. Di sini dijelaskan bagaimana cara-cara untuk mengetahui kedhabitan seseorang.
Telah menjadi konsensus jumhur Muhadditsin bahwa hadis yang dikategorikan sebagai hadis shahih apabila memenuhi kriteria keshahihan adalah ittisal sanad, perawinya adil, perawinya dhabit, tidak adanya syaz, dan tidak adanya illat.
Bab ini mengemukakan cara-cara untuk mengetahui kedhabitan rawi karena sulitnya menentukan seorang yang dhabith seperti tidak lupa dan tidak keliru karena itu merupakan sifat kemanusiaan.
Azami menawarkan penyelesaian untuk mendeteksi kedhabitan rawi dengan memeperbandingkan hadis-hadis yang diriwayatkannya dengan hadis lain atau dengan al-Qur’an. Terdapat 6 (enam) metode perbandingan yang dikemukakan, yakni :
a. Memperbandingan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah sahabat Nabi, antara yang satu dengan yang lain.
b. Memperbandingan hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi pada masa yang berlainan.
c. Memperbandingkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang berasal dari seorang guru hadis.
d. Memperbandingkan suatu hadis yang sedang diajarkan oleh seorang dengan hadis semisal yang diajarkan oleh guru lain.
e. Memperbandingkan antara hadis-hadis yang ditulis dalam buku-buku dengan yang tertulis dalam buku lain atau dengan hafalan hadis.
f. Memperbandingkan hadis dengan ayat-ayat al-Qur’an.
4. Bab Keempat
Selain untuk mendeteksi otentisitas hadis para ulama juga mengguna-kan metode “Kritik Akal“ (Naqd al-Aql) melalui empat langkah, yakni :
a. Ketika rawi menerima hadis.
Ahli hadis menetapkan bahwa hadis dapat diterima apabila rawinya ketika menerima hadis itu memiliki sifat mumayyiz, dhabith, dan ‘alim.
b. Ketika rawi mengajarkan hadis
Ahli hadis juga menetapkan bahwa mengajarkan hadis dhaif, apalagi hadis palsu tidak dibenarkan, kecuali dijelaskan kedhaifannya.
c. Ketika menilai kredibilitas rawi.
Dalam menetapkan bahwa seorang rawi dinyatakan tidak memiliki kredibilitas sebagai rawi hadis, para ahli hadis ternyata melakukan hal itu hanya berdasarkan keterangan satu orang saja. Artinya dengan keterangan satu orang saja bahwa seorang rawi itu tidak dikategorikan adil misalnya, pernah melakukan perbuatan yang mengurangi citra dirinya, para ahli hadis dapat menetapkan bahwa rawi seperti itu ditolak hadisnya.
d. Ketika menilai otentisitas hadis
Imam Syafi’i mengatakan bahwa hadis itu kebanyakan tidak dapat dibuktikan kebenarannya kecuali berdasarkan kebenaran orang yang menyampaikan hadis-hadis itu. Hanya dalam beberapa hal ketentuan itu tidak berlaku.
Hal yang tersebut di atas telah cukup untuk menepis anggapan sementara orang bahwa para ahli hadis tidak pernah menggunakan ‘kritik akal’ dalam menyeleksi hadis.
4. Bab Kelima
Berisi tentang perbandingan antara metode penelitian naqd menurut disiplin hadis dan tarikh (sejarah). Pada bagian ini diuraikan bagaimana perbedaan langkah-langkah yang dilalui oleh penelitian hadis dan penelitian sejarah. Dari uraian Azami pada bagian ini terlihat bahwa penelitian hadis lebih rumit dilakukan daripada penelitian sejarah. Sebab penelitian sejarah tercakup dalam penelitian hadis. Dalam penelitian sejarah terdapat dua langkah penting yaitu penelitian dan penentuan keabsahan dari penelitian yang dilakukan yang disebut studi analisis. Akan tetapi penelitian hadis harus didasari kepada Sidq (kebenaran), keadalahan (keadilan perawi), tadayyan (keberagamaan), ta’aqqul (berakal), taiqiz (keteguhan), dan nazahah (kesucian).
Dari sini terlihat bahwa penelitian hadis lebih mendalam dibandingkan dengan penelitian sejarah, karena terdapat banyak hal yang harus diperhatikan dan dilengkapi guna menentukan keshahihan sebuah hadis. Sehingga hadis tersebut diterima kebenarannya di kalangan umat Islam.
5. Bab Keenam
Bab ini berisi bantahan terhadap metode Muhadditsin dalam menentukan kredibilitas sahabat. Meskipun kredibilitas sahabat sebagai transmitter hadis tidak diragukan lagi, namun sejumlah intelektual Islam modern seperti Thaha Husein, Ahmad Amin dan Abu Rayyah tidak mau menerima kenyataan itu. Menurut mereka para sahabat itu tidak lebih dari manusia biasa yang mungkin melakukan kesalahan dan dosa, karenanya mereka juga perlu diteliti identitasnya.
Secara umum kritik kaum intelektual Islam modern itu dapat dirangkum:
a. Pendapat bahwa para sahabat seluruhnya memiliki kredibilitas itu hanya merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama saja, bukan pendapat para ulama yang muhaqqiqin (ahli peneliti) .
b. Pendapat tersebut bertentangan dengan al-Qur’an yang mengecam para sahabat karena di antara mereka ada yang berdusta, munafik, dan menyakiti Nabi Saw, sehingga Allah menurunkan sebuah surat yang disebut Surah al-Munafiqun.
c. Para sahabat sendiri tidak pernah menganggap bahwa mereka kebal dari kecaman dan kritikan, sebagai bukti di antara sahabat ada yang saling menuduh dusta, bahkan saling mengkafirkan. Apabila sahabat menilai diri mereka seperti itu, maka mengapa Jumhur Muhaditsin memberi penilaian lain terhadap mereka?
d. Pendapat di atas juga bertentangan dengan karakteristik manusia, sebab sahabat itu juga manusia biasa yang tidak terlepas dari sifat-sifat kekurangan seperti berbuat salah dosa, lupa, dan lain sebagainya. Bahkan Nabi bersabda: “Saya ini tidak lebih dari manusia biasa yang bisa berbuat benar atau salah”.
Azami menjelaskan bahwa memang pendapat jumhur ulama mengatakan seluruh sahabat memiliki kredibilitas sebagai periwayat hadis. Jumhur yang dimaksud adalah para ulama fiqih, hadis dan lain-lain, seperti dari ulama fiqih disebut Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i dan lain-lain dan ulama hadis seperti Imam Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain. Pendapat ini diikuti oleh para ulama lain baik klasik atau modern yaitu mereka yang termasuk Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah.
Bila nama-nama yang tersebut di atas tidak tergolong al-Muhaqqiqin –sebagaimana pendapat kaum intelektual Islam – maka siapakah sebenarnya yang dimaksud ulama peneliti ahli itu ? Barangkali kaum intelektual Islam modern itulah yang pantas disebut “Ulama Muhaqqiqin” dan tampaknya itulah maksud mereka. Tapi apakah benar demikian adanya ? Sejarahlah yang akan membuktikan. Sebagai ilustrasi, Imam Syafi’i misalnya yang wafat 204 H, karya-karyanya masih tetap dipakai hingga abad XV Hijriah ini. Sedangkan Thaha Husein yang pernah mendapat gelar “Bapak Sastra Arab”. ketika menerbitkan bukunya Fi al-Syi’ir al-Jahili tahun 1926 di Cairo, pada tahun berikutnya Pemerintah Mesir melarang peredaran buku tersebut.
Jadi terdapat kelompok di luar Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah yang berbeda pendapat tentang para sahabat. Kelompok-kelompok itu adalah Khawarij, Syi’ah dan sebagian penganut paham Mu’tazilah. Seperti al-Muqabili, seorang penganut Mu’tazilah yang menolak pendapat bahwa para sahabat secara keseluruhan memiliki kredibilitas sebagai transmitter hadis. Meskipun secara umum mazhab Mu’tazilah tidak berpendapat demikian.
Apakah Thaha Husein, Ahmad Amin dan Abu Rayyah tergolong kelompok Khawarij atau Syi’ah? Tidak terdapat keterangan yang jelas tentang ketiganya, namun yang pasti mereka hidup di lingkungan Ahlu Sunnah wa al-Jamaah di Mesir. Thaha Husein merupakan plagiator pemikiran orientalis, sementara Ahmad Amin adalah tokoh yang memberikan pengarahan dalam menyebarkan pemikiran orientalis di kalangan umat Islam – tidak boleh disebutkan bahwa pemikiran itu adalah pemikiran orientalis. Sedangkan Abu Rayyah telah berusaha menumbangkan sunnah dari peredaran dengan mengklaim usahanya itu dalam rangka membela sunnah. Tapi anehnya mereka yang melawan pendapat Ahlu Sunnah ini tidak memiliki argumen yang kuat.
Hal ini dapat dilihat dari pendapat Abu Rayyah yang mengatakan bahwa sebagian sahabat adalah orang yang munafik – sayangnya ia tidak menjelaskan siapa saja di antara sahabat yang dimaksud. Apabila surat al-Munafiqun yang dijadikan argumen, buktinya dalam al-Qur’an juga terdapat surat al-Mukminun dan surat al-Munafiqun bukanlah merupakan kecaman terhadap para sahabat. Ini juga dibuktikan bahwa Kitab-kitab Tarajum al-Shahabah tidak pernah menyebutkan adanya sahabat Nabi Saw yang munafik.
Abu Rayyah beralasan dengan kejadian dalam Perang Tabuk, yaitu dengan adanya para sahabat yang minta izin untuk tidak ikut berperang. Namun hal ini telah diampuni Allah sebagaimana Firman Allah dalam surat Taubah ayat 117 yang menegaskan bahwa Allah telah mengampuni mereka.
Thaha Husein mengatakan bahwa para sahabat saling mengkafirkan, seperti Ammar bin Yasir menuduh Usman bin Affan kafir. Tuduhan Thaha Husein ini sulit diterima kebenarannya sebab tidak ada satupun sumber otentik yang menuturkan bahwa para sahabat saling mengkafirkan. Anas bin Malik mengatakan: “Tidak ada shahabat Nabi Saw yang menuduh dusta kepada yang lain”.
Nampaknya sebuah riwayat yang menuturkan bahwa Aisyah isteri Nabi Saw pernah menuduh bohong kepada Abu Darda’ ketika Abu Darda’ sedang berkhotbah ia berkata : “Apabila sudah masuk waktu Shalat Subuh, maka tidak boleh Sembahyang Witir”, Aisyah mendengar dan berkomentar: “Bohong Abu Darda’ karena Nabi pernah Sembahyang Witir sementara Waktu Subuh sudah masuk”.
Namun komentar Aisyah ini tentu tidak dimaksudkan untuk menuduh Abu Darda’ sebagai orang yang membohongi Nabi, melainkan itu hanya keliru saja dalam memahami masalah waktu Shalat Witir. Jadi kata “bohong” dalam ungkapan Aisyah tidak diartikan secara haqiqi melainkan harus diartikan secara majazi yaitu keliru.
6. Bab Ketujuh
Bab ini menjelaskan tentang kaum orientalis berkaitan dengan kritik yang dilontarkannya terhadap hadis. Di sini dipaparkan kritik-kritik yang diajukan oleh Ignaz Goldziher, AJ. Wensinck, Schacht dan Guillaume; kemudian Azami menanggapi kritik tersebut secara bijak sebagaimana yang dikemukakan dalam karyanya Studies in Early Hadith Literatur.
Menurut Azami, Ignaz Goldziher adalah orientalis pertama yang melakukan kajian tentang hadis. Baru kemudian disusul oleh orientalis lain seperti Yoseph Schacht (1902-1969) dan lain-lainnya. Bila Ignaz Goldziher hanya sampai pada kesimpulan bahwa apa yang disebut hadis itu diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi Saw. maka Yoseph Schacht sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada satupun hadis yang otentik dari Nabi Saw, khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah hukum.
Goldziher menuduhkan bahwa penelitian hadis yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan. Karenanya Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik matan saja.
Sebenarnya para ulama klasik sudah menggunakan metode kritik matan seperti kritik yang dilakukan beberapa sahabat. Hanya saja kritik matan yang dimaksud Goldziher berbeda dengan yang dipakai para ulama. Menurutnya kritik matan mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, dan lain-lain. Dalam hal ini Goldziher mencontohkan hadis yang terdapat dalam Shahih Bukhari dimana Bukhari tidak melakukan kritik matan sehingga hadis itu menurutnya palsu.
Hadis tersebut adalah:
لا تشدوا الرحال إلا إلى الثلاثة مساجد، المسجد الحرام، ومسجدى و مسجد بيت المقدس
Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid; masjid al-Haram, masjid Nabawi, masjid al-Aqsha.
Goldziher mengatakan bahwa Abd al-Malik bin Marwan (Khalifah dari Dinasti Umayyah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (yang memproklamirkan dirinya sebagai Khalifah di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (Syiria dan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat (sumpah setia) kepadanya. Karena itu Abd al-Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Mekkah, tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Shakhra di al-Quds yang pada saat itu menjadi Wilayah Syam.
Untuk mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abd al-Malik bin Marwan menugaskan Ibnu Shihab al-Zuhri agar ia membuat hadis dengan sanad yang bersambung kepada Nabi Saw. Goldziher menyimpulkan bahwa hadis tersebut tidak shahih karena merupakan bikinan Ibnu Shihab al-Zuhri, bukan sabda Nabi.
Menurut Azami, tidak ada bukti historis yang memperkuat teori Goldziher ini. Para ahli tarikh berbeda pendapat tentang kelahiran al-Zuhri antara 50 – 58 H. Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abd al-Malik bin Marwan sebelum tahun 81 H. Sedangkan Orang-orang dari Dinasti Umayyah berada di Makkah pada musim haji tahun 68 H. Azami berkesimpulan bahwa Abd al-Malik bin Marwan baru berfikir untuk membangun Qubbah Sakhra yang konon akan dijadikan pengganti Ka’bah pada tahun 68 H.
Bila demikian diperkirakan Zuhri berumur 10-18 tahun masa itu. Jadi sangat tidak logis seorang anak umur belasan tahun sudah populer sebagai intelektual dan memiliki reputasi ilmiah di luar daerahnya sendiri, sehingga ia mampu mengubah pelaksanaan haji dari Mekkah ke Jerusalem. Lagi pula masa itu masih banyak para sahabat dan thabi’in yang tidak mungkin diam dengan hal tersebut.
Argumen lain yang meruntuhkan Goldziher adalah bahwa hadis yang berbicara tentang keistimewaan 3 (tiga) masjid tersebut bukan hanya diriwayatkan oleh Zuhri. Tetapi hadis ini juga diriwayatkan oleh 18 orang selain Zuhri.
Demikian pula kritik-kritik yang dilontarkan oleh orientalis yang lain seperti Wensinck, Schacht, Guillaume. Pada umumnya kritik tersebut merupakan kritik terhadap matan hadis yang kesemuanya telah dijawab oleh Azami melalui karyanya Studies in Early Hadith Literatur dan selanjutnya dibahas pula dalam Kitab Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsin.
Kitab ini dilanjutkan dengan Kitab Tamyiz karya Imam Abi Husein Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury. Kitab Tamyiz ini merupakan kitab penelitian hadis yang dikarang oleh Imam Muslim. Kitab ini diawali dengan riwayat Hidup Imam Muslim dan selanjutnya menjelaskan tentang penelitian hadis (Naqd al-Hadis) baik yang berkenaan dengan Sanad ataupun Matan hadis.
III. Penutup
Sebagai bahan-bahan kuliah penelitian hadis yang disajikan dalam kuliah Jurusan Syari’ah di Universitas King Saud Makkah, kitab Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsin karangan Azami ini telah cukup berarti untuk dijadikan bahan acuan dalam penelitian hadis. Azami telah mencoba merumuskan metode kritik hadis yang sangat berarti bagi umat Islam, terutama bagi kalangan pengkaji hadis.
Walaupun kitab ini merupakan muqaddimah bagi kitab Tamyiz Imam Muslim, namun pembahasannya sama berartinya dengan Tamyiz itu sendiri. Apalagi bahan-bahannya memang lebih banyak diambil dari karya monumental Azami yaitu Studies in Early Hadith Literature.
Azami telah memberikan sumbangan pemikiran yang sangat berarti bagi perkembangan hadis dan ilmu hadis. Dari sejumlah karya Azami ini, beliau lebih banyak menguraikan tentang bagaimana penelitian dilakukan. Dan dalam beberapa karya tersebut Azami mencoba menjawab kritikan-kritikan keliru terhadap hadis yang muncul baik dari kalangan Islam, dan terlebih lagi yang dimunculkan oleh kaum orientalis.
Kitab Manhaj-nya ini telah disusun secara sistematis dan menguraikan hal-hal yang terpenting dalam penelitian hadis. Pemaparan yang dimulai dengan pengertian dan sejarah kritik hadis, sejarah perkembangan, penelitian ‘adalah dan kedhabitan (yang merupakan dua hal yang sangat sulit dilakukan dalam penelitian), kemudian bantahan-bantahan terhadap pendapat yang keliru seputar penelitian hadis, membuktikan kesistematisan kitab ini.
Pada akhirnya sebuah karya akan sangat berarti bila terus dikaji dan dipelajari, sebagai bukti penghormatan kepada ulama hadis yang telah berusaha dengan segenap kemampuannya untuk menghasilkan karya yang bermanfaat untuk generasi berikutnya.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-A’zami, Muhammad Mushthafa, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Judul Asli: Studies in Early Hadith Literatur, Edisi Arab: Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinihi, Penerjemah Ali Mustafa Yaqub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994
________, Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsin, Riyadh: Maktabah al-Kautsar, 1410
Al-Adlabiy, Shalah al-Din Ibn Ahmad, Manhaj Naqd Al-Matn ‘Inda Ulama Al-Hadis Al-Nabawiy, Beirut: Dar al-Affaq al-Jadidah, 1983
Ismail, Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Rayyah, Abu, Adhwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th.
Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar