Senin, 23 Maret 2009

AL-GAZÂLÎ, IBNU RUSYD DAN PENGARUH AVEROISM DI EROPAH

A. Pendahuluan
Al-Gazâlî tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan Islam. Setiap upaya mengenal tokoh-tokoh muslim, sebenarnya adalah upaya untuk mengenal Islam itu sendiri. Hingga sekarang dunia Islam belum mempunyai tokoh agama yang menyamai al-Gazâlî dalam hal keagungan dan keharuman namanya. Ia dikenal sebagai ¦ujjat al-Isl±m karena pengetahuannya yang luas dan tulisan-tulisannya yang mudah difahami oleh seluruh tingkatan umat.
Al-Gazâlî adalah orang pertama yang mempelajari filsafat serta sanggup mengkritiknya. Hasil peninjauannya terhadap filsafat ini terlihat dalam karyanya yaitu Maqasid al-Fasasifah dan Thahafut al-Falasifah. Dalam filsafat Islam, menurut Ibnu Khaldun al-Gazâlî adalah orang yang pertama pula dalam jajaran pemikir Islam yang menggunakan metode baru (Thariqat al-Khalaf) disamping metode klasik (Thariqat al-Salaf).
Di dalam perkembangan pemikiran filsafat al-Gazâlî ini dijadikan sebagai patokan dalam membagi periodesasi, karena al-Gazâlî mengemukakan kecaman terhadap para filosof sebelumnya seperti, al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, dan Ibnu Sina yang hidup sebelumnya. Para filosof ini bercirikan mencoba mempertemukan agama dengan filsafat, akal diberi otoritas yang tinggi dalam usaha menemukan hakekat kebenaran, dan menghadirkan sebuah teori yang khas dan murni bernafaskan Islam yaitu teori kenabian.
Pada periode al-Gazâlî ini terjadi kegoncangan terhadap pemikiran filsafat yang disebabkan kritik al-Gazâlî terhadap filsafat. Pemikiran al-Gazâlî akhirnya berkembang di dunia Islam dan menguasai sebagian besar alam fikiran umat Islam. pengaruh filsafat metafisika Yunani yang sangat berkembang di zaman al-Kindi,al-Farabi, dan Ibnu Sina segera surut. Namun ini hanya terjadi di bagian timur dunia Islam.
Di bagian Barat (Andalusia dan Spanyol) malahan sebaliknya, perkembangan filsafat mencapai puncaknya setelah masa al-Gazâlî. Di sini lahirlah filosof seperti Ibnu Bajah, Ibnu Thufail, dan Ibnu Rusyd. Di antara tiga tokoh ini Ibnu Rusyd-lah filosof Islam yang terkenal dan paling berpengaruh di dunia Barat (Eropah). Ibnu Rusyd mengajukan jawaban-jawaban bagi kritik-kritik al-Gazâlî terhadap para filosof sebelumnya. Hal ini terlihat dala karyanya setelah 85 tahun al-Gazâlî meninggal dunia.
Untuk lebih jelasnya mengenai kritik al-Gazâlî terhadap para filosof, jawaban Ibnu Rusyd terhadap kritik al-Gazâlî , dan bagaimana pengaruh pemikiran Ibnu Rusyd di Eropah, akan diuraikan lebih lanjut.
B. Al-Gazâlî dan Kritiknya Terhadap Para Filosof
Nama lengkap al-Gazâlî adalah, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Gazâlî al-Thusi. Al-Gazâlî lahir pada tahun 450 H/1058 M di Thus, sepanjang hidupnya ia mengembara seperti ke Khurasan, Iran, (tempat kelahiran dan pendidikan dasarnya ditempuh), Bagdad, Irak (adalah di mana al-Gazâlî mencapai puncak akademisnya), Damaskus, al-Quds, Mekah, Medinah dan beberapa kota kecil lainnya. Pengembaraan yang dilakukan al-Gazâlî ke beberapa daerah ini merupakan faktor penting dalam melihat corak pemikirannya. Al-Gazâlî wafat di Thus tempat di mana ia dilahirkan pada Tahun 505 H/ 1111 H.
Perjalanan intelektual al-Gazâlî di mulai di kota kelahirannya sendiri. Ia memasuki tahap awal belajar dengan penerima wasiat ayahnya. Setelah tidak mampu lagi si penerima wasiat ini untuk menggembleng al-Gazâlî dan saudaranya, maka mereka berdua diserahkan ke sebuah madrasah yang dapat memberikan pendidikan dan kehidupan sekaligus. Di antara guru yang membimbingnya di madrasah Thus ini adalah Ahmad ibn Muhammad al-Radzaqani yang mengajarkannya al-Qur’an, Hadis, serta ilmu fikih. Al-Gazâlî belajar dengan ar-Radzaqani hanya sebentar, kemudian ia berguru lagi kepada Abu al-Qasim al-Isma’ili dalam bidang fikih. Pertemuan ini-pun tidak berlangsung lama pula, kemudian al-Gazâlî kembali ke kampungnya di Thus.
Selanjutnya al-Gazâlî mendalami ilmu pengetahuan ke sekolah tinggi Nizamiyah Nisapur. Di sinilah al-Gazâlî bertemu dan berguru dengan Imam al-Juwaini, seorang tokoh Asy’ariah yang menjadi Rektor Universitas Nizhamiyah, yang terkenal dengan nama Imam al-Haramain. Al-Juwaini mendorong al-Gazâlî untuk menekuni ilmu kalam, filsafat dan logika. Selama di Nisapur ini lengkaplah ilmu yang diterima al-Gazâlî, sehingga saat itu al-Gazâlî nampak sebagai figur intelektual yang menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Untuk itu ketika usianya dua puluh lima tahun al-Gazâlî dipercayakan untuk menjadi dosen
Al-Juwaini memberikan konstribusi terbesar terhadap al-Gazâlî dalam memfilsafatkan kalam Asy’ariyah. Namun sebagaimana yang diterangkan oleh Harun Nasution, dalam memahami teologi Asy’ari, al-Gazâlî lebih Asy’ariah dari pada gurunya sendiri.
Berbagai kritikan yang dilontarkan kepada para filosof yang dilakukan oleh al-Gazâlî, khususnya kepada al-Farabi dan Ibnu Sina sebenarnya sudah ada sebelum al-Gazâlî. Akan tetapi itu hanya dilakukan atas dasar kesalehan dan kebencian terhadap unsur-unsur luar dari Islam. Akan tetapi, al-Gazâlî yang senafas dengan sangat jelas mengemukakan kritikan-kritikannya terhadap para filosof seperti terlihat dalam karangannya Tahafut al-Falasifah yang mengemukakan kritik-kritik keras kepada pemikiran para filosof.
Berangkat dari karya nya, al-Gazâlî mengelompokkan aliran dan sistem filsafat yang banyak kepada tiga kelompok besar; golongan Materialis, kaum Naturalis dan Teis. Kemudian al-Gazâlî mengatakan bahwa filsafat Aristoteles yang dikembangkan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina terbagai kepada tiga kelompok :
1. Filsafatnya yang tidak perlu disangkal dengan arti dapat diterima,
2. Filsafatnya yang harus dipandang bid`ah (heterodoksi),
3. Filsafatnya yang harus dipandang kafir.
Untuk lebih jelasnya pengelompokkan di atas, al-Gazâlî membagi ilmu-ilmu filsafat kepada eman bidang; ilmu matematika, logika, fisika, politik, etika, dan metafisika (ketuhanan). Maka selain bidang ilmu ketuhanan, oleh al-Gazâlî, ilmu-ilmu tersebut dapat diterima, karena tidak ada bertentangan dengan syari’at Islam, kendatipun ada negatifnya yang terkandung dalam ilmu-ilmu tersebut. Adapun bidang ketuhanan, sebagaimana yang dijabarkannya dalam kitab Tahâfut al-Falâsifah, al-Gazâlî memandang para filosof sebagai ahl al-bid’ah, dan kafir. Adapun yang dimaksud oleh al-Gazâlî tersebut mencakup ke dalam dua puluh masalah :
1. Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini a©±ly,
2. Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini kekal,
3. Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah-lah Pencipta alam semesta dan sesungguhnya alam ini diciptaknnya,
4. Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta,
5. Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahilnya ada dua Tuhan,
6. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat,
7. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi kepada al-Jins dan al-Fa¡l (differentia),
8. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi Ba¡i¯ (simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat),
9. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah tidak ber-jism,
10. Menjelaskan pernyataan mereka tentang ad-dahr (kekal dalam arti tidak bemula dan tidak berakhir),
11. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selainnya,
12. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya,
13. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui yang ju©’iyyât,
14. Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dalam kemauan-Nya,
15. Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet,
16. Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang ju©’iyyât,
17. Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil sesuatu yang terjadi di luar hukum alam,
18. Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauh±r (substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh,
19. Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang kemustahilan fana (lenyap) jiwa manusia,
20. Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkit dan yang akan menerima kesenangan dalam sorga dan kepedihan dalam neraka hanya roh saja.
Tiga dari dua puluh masalah di atas, menurut al-Gaz±l³, membuat filosof menjadi kafir, yaitu:
1. Alam dan semua substansi qad³m,
2. Allah tidak mengetahui yang ju©’iyyât, perincian yang terjadi di alam,
3. Kebangkitan di akhirat hanya rohani saja.
Menurut al-Gazâlî kepercayaan dalam tiga masalah ini bertentangan dengan kepercayaan umat Islam dan dipandang mendustakan rasul Allah. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan :
1. Tentang kadimnya alam (alam tidak bermula).
Filosof berpendapat bahwa alam ini qadim maksudnya wujud alam ini bersamaan dengan wujudnya Allah, kekadiman Allah dari alam hanya dari segi zat (taquddum zaty) dan tidak dari segi zaman (taqaddum zamany), seperti keterdahuluan sebab dari akibat. Al-Gazâlî mengemukakan argumen yang dikemukakan para filosof:
a. Mustahil timbulnya yang baharu dari yang qadim. Jika Allah qadim sudah ada, sedangkan alam belum ada. kenapa alam baru ada sekarang tidak sebelumnya? Jika dikatakan Allah berkehendak mencipta, kenapa baru kemudian berkehendak, apakah kehendak tersebut datang dari Zat-Nya atau dari yang lain? (sirajuddin. Filsafat dari al-Gazâlî h: 10-11
b. Menurut al-Gazâlî, pendapat ini membawa kepada keyakinan akan adanya yang qadim selain Tuhan atau berarti banyak yang qadim, sedang dalam keyakinan Islam yang qadim itu hanya satu, yaitu Tuhan. Paham bahwa ada yang qadim selain Tuhan adalah syirik. Menurutnya, yang qadim itu adalah sesuatu yang sudah ada sejak azali, yang berwujud tanpa sebab. Mengakui alam ini qadim berarti mengingkari Tuhan sebagai Pencipta, dan ini sama dengan kufur. (ensiklopedi: 25)
Al-Gazâlî menjawab argumen filosof menurutnya tidak ada halangan apa pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya yang kadim pada waktu diadakan_nya. sedangkan ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum dikehendaki-Nya. iradah menurut al-Gazâlî adalah suatu sifat bagi Allah yang berfungsi membedakan sesuatu dari lainya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja sifat qudrah. Akan tetapi karena sifat qudrah antara emncipta dan tidaknya sama kedudukannya, karenanya harus ada suatu sifat yang khusus yang membedakannya, yaitu sifat iradah. (siraj: ibid: 11)
c. Kekadiman Allah dari alam hanya dari segi zat, sedangkan dari segi zaman sama, karena jika tidak demikian, mesti ada zaman sebelum alam diciptakan. Jika tidak demikian berarti Allah mendahului zaman terbatas pada satu sisi dan tidak terbatas pada sisi awal. Ini berarti sebelum ada zaman sudah ada zaman yang tidak terbatas akhirnya. Hal ini paradok justru itu mustahil zaman ukuran gerak baharu dan harus kadim.
Ini dikritik oleh al-Gazâlî, menurutnya memang wujud Allah lebih dahulu dari wujud alam dan zaman. Zaman baharu dan diciptakan, sebelum diciptakan zaman belum ada zaman. Karena zaman adanya setelah adanya alam, sebab zaman adalah ukuran waktu yang terjadi di alam. (tahafut h. 110-111)
c. Alam sebelum wujudnya merupakan suatu yang mungkin, kemungkinan ini tidak ada awalnya, dengan arti selalu abadi.
Al-Gazâlî menjawab argumentasi ini, menurutnya alam senantiasa mungkin terjadinya, dan setiap saat dapat digambarkan terjadinya. Jika dikatakan bahwa alam ini ada selama-lamanya (kadim) tentu ia tidak baharu. Kenyataan ini jelas bertentangan dengan kenyataan dan tidak serasi dengan teori kemungkinan. (tahafut: 118)
Dari keterangan di atas terlihat bahwa kritikan al-Gazâlî merupakan usahanya untuk membuktikan bahwa Allah adalah zat yang Maha kadim, sehingga memungkinkan orang untuk lebih mudah mencerna bahwa Allah-lah yang kadim. Jadi tidak mengherankan kalau di dalam ilmu kalam syahadat La ilaha illaallah bergeser menjadi la qadima illallah. Hal ini disebabkan faham adanya yang qadim selain Allah bisa membawa kepada banyaknya qadim, banyaknya Tuhan, yaitu faham syirik sedang syirik adalah dosa besar yang tidak diampuni Allah, atau faham atheis yang menyatakan alam yang qadim tida perlu pada pencipta.
2. Tentang pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.
Menurut al-Gazâlî Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat. Ibnu Sina mengatakan bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang kulli. Alasannya jika Allah mengetahui rincian perubahan di alam ini, akan membawa perubahan kepada zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan membawa perubahan pada yang punya ilmu. Ini mustahil bagi Allah. (tahafut: 206-207)
Al-Gazâlî membantah pendapat ini, menurutnya pendapat tersebut akan menyesatkan umat Islam karena paham ini membawa kepada pengingkaran sifat kemahatahuan Tuhan. Tuhan Maha Kuasa dan Maha Tahu. Tuhan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam sampai kepada perincian yang sekecil-kecilnya, tak satu pun yang luput dari pengetahuan Tuhan. (ansiklopedi: 25)
Al-Gazâlî mengatakan bahwa pendapat tersebut merupakan kesalahan yang fatal. Selanjutnya ia mengatakan bahwa perubahan pada objek ilmu tidak akan membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu merupakan idhafah (suatu rangkaian yang berhubungan dengan zat). Jika ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dengan arti keadaan orang yang punya ilmu tidak berubah. (tahafut: 213)
Sebagai pembuktian al-Gazâlî mengemukakan ayat al-Qur’an surat Yunus ayat 61:
Apabila diperhatikan al-Gazâlî dan para filosof sebenarnya sepakat bahwa zat dan ilmu Allah tidak mungkin berubah. Perbedaan pendapat mereka adalah pada hal bagaimana Allah mengetahui yang parsial. Ini disebabkan cara pandang mereka dalam menetapkan sifat dan zat Allah.
3. Tentang tidak adanya pembangkitan jasmani.
Para filosof berpendapat bahwa yang abadi hanya roh (jiwa), sedangkan jasmani akan hancur dan tidak kekal. Karena itu, pembangkitan nanti pada prinsipnya yang esensi dalam diri manusia adalah jiwanya, bukan jasmaninya. (ensiklopedi:25) Jadi yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Kendatipun ada gambaran syarak berupa materi di akhirat, seperti sorga dan neraka, semua itu pada dasarnya simbol-simbol untuk memudahkan pemahaman orang awam,. Padahal di akhirat terlalu suci dari apa yang digambarkan oleh orang awam. (tahafut: 284)
Al-Ghazali pada dasarnya tidak menolak adanya kelezatan di akhirat yang lebih tinggi dari di dunia. Menurut al-Gazâlî tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. (ibid: 289-290)
Di sini terlihat perbedaan pemahaman antara filosof sebelumnya dengan al-Gazâlî. Para filosof menganggap mustahil mengembalikan rohani kepada jasad semula. Kembalinya roh kepada jasad menurut mereka merupakan penciptaan yang baru yang tidak sama dengan yang lalu. Al-Gazâlî mengatakan bahwa kekalnya jiwa setelah mati memang tidak bertentangan dengan syara’, akan tetapi kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan syara’, dengan arti jiwa dikembalikan kepada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain atau tubuh baru dijadikan. (tahafut: 287-290)
Jadi pembalasan ukhrawi menuntut pembangkitan jasmani. Ayat-ayat al-Qur'an banyak menyebut soal pembangkitan jasmani dengan gambaran yang bersifat materil, sehingga meyakini tidak adanya pembangkitan jasmani berarti menolak ayat-ayat yang menyatakan adanya. Hal ini dibuktikan dengan ayat al-Qur’an surat Yasin: 78-79:
Pemikiran-pemikiran yang dilontarkan ini membuat al-Gazâlî mengkafirkan orang-orang yang menganut faham-faham filsafat di atas. Dan hal ini kelihatannya yang menyebabkan surutnya perkembangan filsafat di dunia timur. Orang-orang enggan untuk mempelajari filsafat, karena filsafat dianggap mengacaukan keyakinan bahkan menyesatkan. Namun perkembangan filsafat itu tidak berhenti sampai di situ karena di belahan Barat filsafat malah mengalami perkembangan.
C. Ibnu Rusyd dan Kritiknya Terhadap Al-Gazâlî
Ibnu Rusyd adalah filosof Muslim yang, terakhir muncul di Dunia Islam Belahan Barat. Nama lengkapnya adalah Abu al-Walid Muhammad Ibnu Rusyd. Ia lahir di Kordoba pada tahun 520 H/1126 M, dari keluarga hakim-hakirn, dan wafat di Marakesy (Marokko) pada tahun 595 H/1198 M. Ia dikuburkan di Marakesy, tapi tiga bulan kemudian jenazahnya dipindahkan dan dikuburkan di Kordoba. (abdul aziz: )
Setelah menguasai fikih, ilmu Kalam, dan sastra Arab dengan baik, Ibnu Rusyd, menekuni matematika, fisika, astronom, kedokteran, logika, dan falsafat. la berhasil menjadi ulama dan sekaligus filosof yang sulit ditandingi. Setelah diperkenalkan oleh Ibnu Thufail kepada sultan Daulat Muwahhidin, Sultan Abu Ya'qub Yusuf pada tahun 564 H/1169 M, Ibnu Rusyd diminta oleh sultan itu untuk menulis ulasan atau komentar atas karangan-karangan Aristoteles. Sejak tahun itu ia juga, dipercaya menjadi hakim di Seville, dan kemudian sejak tahun 566 H/1171 M ia menjadi hakim kepala di Kordoba. Selanjutnya, sejak tahun 577 H/1182 M ia dipercaya, menjadi dokter istana di Istana Sultan Abu Ya'qub Yusuf dan penggantinya, Sultan Abu Yusuf Ya'qub al-Manshur, di Marakesy, Marokko. Setelah mengalami fitnahan dan diasingkan ke Lucena, dekat Kordoba, selama, satu tahun (pada 592 H/1195 M), ia kembali menjadi dokter istana dan dua tahun kemudian ia wafat dalam usia 75 (H)/73 (M) tahun.
Kehebatan Ibnu Rusyd dapat dilihat melalui karya tulisnya. Ia menulis Bidayat al-Mujtahid, sebuah karya penting, berupa fiqh perbandingan, yang dipakai secara luas oleh para fukaha sebagai buku rujukan. Ia menulis Kulliyat al-Thibb, yang membicarakan garis-garis besar ilmu kedokteran dan menjadi pegangan para mahasiswa kedokteran di Eropa selama berabad abad di samping karya tulis Ibnu Sina, Al-Qanun. Karyatulisnya yang merupakan ulasan atas karya tulis Alistoteles, menjelna menjadi tiga buku ulasan, yaitu: AI-Asghar (Yang lebih Kecil), Al-Awsath (Yang Lebih Sedang), dan Al-Akbar (Yang Lebih Besar). Untuk menangkis buku Tahafut al-Falasifah (Kacaunya Kaum Filosof) karangan AI-Ghazali, ia menulis buku dengan judul Tahafut al-Tahafut (Kacaunya buku Tahafut al-Gazâlî), dan untuk menunjukkan hubungan yang serasi antara agama (wahyu) dan falsafat (akal), ia menulis Fashl al-Maqal fi Mabayn al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal (Kata Putus tentang Hubungan antara Falsafat dan Syariat). Ia juga menulis buku Al-Kasyf an-Manahil al-Adillah fi Aqa'id al-Millah (Menyingkap metode-metode Pembuktian Akidah Agarna) dan sejumlah buku lainnya. Disebutkan bahwa ia telah menghabiskan seratus ribu lernbar kertas untuk menampung kartatulisnya.
Dalam rangka membela falsafat dan para filosof muslim dari serangan para ulama, terutama serangan dari al-Gazâlî , Ibnu Rusyd antara lain menegaskan bahwa antara agama (Islam) dan falsafat tidak ada pertentangan. Falsafat pada hakikatnya tidaklah lain dari berfikir tentang semua yang dijumpai untuk mengetahui pencipta/penyebab segala yang ada. Al-Qur’an juga menyuruh manusia berfikir tentang alam yang tampak. ini dalam rangka mengetahui Tuhan. Dengan demikian, sebenarnya AI-Quran menyuruh umat manusia untuk melakukan aktixitas falsafat dan dapat disimpulkan berdasarkan perintah al-Qur’an itu bahwa kaum muslimin wajib melakukan aktivitas falsafat itu atau paling kurang dianjurkan berfalsafat atau mempelajari falsafat, dah bukan dilarang atau diharamkan. Menurut Ibnu Rusyd, bila ada teks wahyu vang arti lahiriahnya bertentangan dengan pendapat akal, maka teks wahyu itu haruslah ditakwilkan atau ditafsirkan sedemikian rupa sehingga menjadi sesuai dengan pendapat akal.
1. Qadimnya Alam
Al-Gazâlî yang memegang keyakinan kaum teolog mengatakan bahwa alam diciptakan dari tiada menjadi. Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya pencipta. Yang ada tidak butuh kepada mengadakan. Sedangkan menurut filosof alam ini kadim, dengan arti alam ini diciptakan dari sesuatu yang sudah ada.(siraj: 76)
Dalam rangka menangkis serangan AI-Ghazali terhadap paham qadimnya alam, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham qadimnya alam itu tidaklah bertentangan dengan ajaran al-Qur’an, bahkan paham yang sebaliknya, yaitu paham para teolog yang menyatakan bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada, justru tidak mempunyai dasar dalam al-Qur’an. Menurut Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat AI-Quran (11:7; 41:11; 21:30) dapat diambil kesimpulan bahwa alam diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada (al'-adam), tapi dari sesuatu yang telah ada. Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa paham qadimnya alam tidaklah mesti membawa kepada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau tidak diciptakan oleh Tuhan. Bagi para filosof muslim, alam itu dikatakan qadim (ada sejak qidam/azali) justru diciptakan oleh Tuhan yang qadim, sejak qidaml/azali. Karena diciptakan sejak qidam/azali, maka akibatnya tentu alam itu menjadi qadim pula. Bagaimanapun, Tuhan dan alam, kendati dari segi waktu sama-sama qadim, tetap tidak. sekufu/sederajat karena Tuhan adalah qadim yang mencipta, sedang alam adalah qadim yang dicipta atau ciptaan yang qadim. (aziz dahlan: 115)
Ibnu mengemukakan bahwa al-Gazâlî keliru dalam memahami pendapat filosof tentang kadimnya alam. Al-Gazâlî menuduh para filosof menyamakan kadimnya dengan kadimnya Allah, sedangkan dalam pemahaman filosof qadimnya alam adalah sesuatu yang telah ada berubah menjadi ada dalam bentuk yang lain. Penciptaan dari tiada menurut mereka sesuatu yang mustahil. (siraj: 77) Untuk mendukung pendapatnya, Ibnu Rusyd mengemukakan sejumlah ayat al-Qur’an, seperti surat al-Anbiya’: 30:
Jadi perbedaan pendapat ini kelihatannya berpatokan kepada perbedaan pemahaman kaum teolog dan kaum filosof dalam memberikan arti alihdast dam qadim. Bagi kaum teolog al-Ihdats berati menciptakan dari tiada, sedangkan bagi kaum filosof kata itu berarti mewjudkan dari yang ada menjadi ada dalam bentuk lain. (tahafut tahafut: 362)Demikian pula dalam mengartikan qadim. Bagi kaum teolog, qadim berarti sesuatu yang mempunyai wujud tanpa sebab sedangkan bagi para filosof , qadim berarti sesuatu yang kejadiannya dalam keadaan terus menerus tanpa awal dan tanpa akhir. (Tahafut tahafut: 272)
Kelihatan perbedaan hanya pada masalah perbedaan pemahaman antara filosof dan al-Gazâlî sendiri dalam memahami qadim dan al-Ihdat. Pada dasarnya pendapat mereka tentang penciptaan alam ini tidak berbeda. Jadi sebenarnya tidak perlu ada istilah mengkafirkan.
2. Pengetahuan Tuhan
Menurut al-Gazâlî para filosof berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui yang parsial di alam. (ibnu ruysd: tahafut: 711) Dalam rangka menangkis serangan al-Gazâlî terhadap para filosof Muslim. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa para filosof Muslim tidaklah mempersoalkan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’’i (individual/perincian) yang terdapat/terjadi dalam alam semesta ini atau tidak mengetahuinya. Seperti halnya setiap ulama Islam, para filosof Muslim juga berpandangan bahwa Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i itu. Yang mereka persoalan, kata Ibnu Rusyd, adalah bagaimana caranya Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i itu. Menurut Ibnu Rusyd, para filosof Muslim berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan tentang hal-hal yang bersifat juz'i itu tidaklah seperti pengetahuan manusia tentang hal-hal demikian karena pengetahuan manusia mengambil bentuk efek sedang pengetahuan Tuhan merupakan sebab bagi munculnya kemudian hal-hal yang bersifat juz'i itu. Selain itu, ketidaksamaan tersebut tersebut adalah jelas karena pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yakni semenjak azali Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i itu, pengetahuan manusia bersifat baharu, bukan qadim, yakni pada mulanya rnanusia tidak. memiliki pengetahuan sama sekali, tapi kemudian secara berangsur-angsur memperoleh pengetahuan setelah bagian demi bagian dari alam semesta itu diperhatikan secara seksama. (aziz dahlan : 117)
3. Gambaran Akhirat
menurut Ibnu sanggahan al-Gazâlî terhadap para filosof tentang kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada- tidak benar. Mereka tidak ada mengatakan demikian. (ibnu tahafut: 711) menurut Harun Nasution para filosof tidak ada menyebut-nyebut hal itu. (simposium: h: 7) al-Farabi dan Ibnu Sina tidak menegaskan pendapat mereka yang sebenarnya mengenai masalah ini.
Semua agama menurut Ibnu Rusy, mengakui adanya hidup kedua di akhirat, sungguhpun ada perbedaan pendapat mengenai bentuknya. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan rohani saja dan ada yang mengatakan rohani dan jasmani. Sesuai dengan hadis “Di sana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan tak pernah terlintas pada fikiran”. Kehidupan manusia di akhirat adalah lain dan lebih dari kehidupan di dunia. namun yang jelas kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan di dunia ini. (tahafut ibn: 866)
Sungguhpun demikian kepada orang awam, karena mereka tidak sanggup menangkap hal-hal yang abstrak, demikian Ibnu Rusyd menjelaskan, lebih baik hidup di akhirat digambarkan dalam bentuk jasmani.(HN: mistisisme h: 47)
Juga dalam rangka menangkis serangan al-Gazâlî, Ibnu Rusyd menyebutkan bahwa terdapat pertentangan dalam tulisan al-Gazâlî mengenai kehidupan manusia kelak di hari akhirat. Kata Ibnu Rusyd. Al-Gazâlî dalam bukunya Tahifut al-Falisifah menyatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa kebangkitan di hari akhirat hanya bersifat rohani semata; akan tetapi, dalam bukunya yang lain, kata Ibnu Rusyd, al-Gazâlî menyatakan bahwa kaum sufi berpendapat bahwa yang akan terjadi di hari akhirat adalah kebangkitan rohani. Jadi, kata Ibn Rusyd, tidaklah ada sebenarnya ijmak (konsensus) para ulama tentang, kebangkitan jasmani di hari akhirat, dan karena itu, paham yang menyatakan kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani saja, tidak dapat dikafirkan dengan alasan adanya ijmak. (tahafut ibn: 873-874) (Aziz dahlan: 115-116)
Dari pemaparan di atas terlihat bahwa pertentangan antara al-Gazâlî dan para filosof termasuk di dalam Ibnu Rusy tidak jauh berkisar tentang interpretasi ajaran dasar Islam dan bukan berkisar tentang diterima atau tidaknya ajaran tersebut. kesemuanya mengakui bahwa Tuhan sebagai pencipta dan alam sebagai yang diciptakan. Apakah tuhan mencipta semenjak azaly sehingga alam bersifat qadim, atau tuhan mencipta tidak semenjak azaly sehingga alam bersifat baharu. Kemudian tentang Tuhan pengetahuan yang juz’iyat , yang dipersoalkan kaum filosof adalah cara Tuhan mengetahui, menurut mereka Tuhan mengetahui juz’I dengan jalan kulli. Terakhir tentang kebangkitan jasmani, baik kaum filosof atau al-Gazâlî sendiri mengakui adanya hari perhitungan, namun apakah yang menghadapinya roh atau tubuh, ataukah hanya roh saja.
Terlepas dari masalah-masalah yang diperdebatkan tersebut, terlihat bahwa hal ini disebabkan tidak adanya nash yang jelas yang menerangkan masalah tersebut. sehingga kekuatan akal menjadi sangat diperlukan dalam masalah ini.
D. Averoisme dan Pengaruhnya di Eropa
Prestasi filsafat Ibnu Rusyd merupakan puncak dari kejayaan gelombang pemikiran filsafat di dunia Islam. seperti sebelumnya dikembangkan oleh al-farabi dan Ibnu Sina. Filsafat ini sangat mengemparkan dan mempengaruhi alam fikiran dunia beradab pada masa itu. Pemikiran Ibnu tidak berkembang di dunia Islam pada waktu itu karena Islam dibentengi oleh pemikiran Al-Asy’ari dan al-Gazâlî. (Hasbullah Bakry: 96) Ada beberapa faktor yang menimbulkan perhatian Barat kepada filsafat Ibn Rusyd:
a. Frederik II sebagai pecinta ilmu pengetahuan dan filsafat lebih banyak tertarik kepada komentar-komentar Ibnu Rusyd terhadap Aristoteles.
b. Orang-orang Yahudi, penganut filsafat Ibnu Rusyd berusaha menerjemahkan karya Ibnu Rusyd ke bahasa Ibrani dan latin. Kemudian mereka menjadi perantara filsafat Barat ke Kristen.
c. Sebagian pengkaji filsafat memandang bahwa untuk memahami filsafat Aristoteles, sebaiknya membaca karya Ibnu Rusyd. (Siraj: 103)
Inilah yang menyebabkan Eropah tidak sanggup mempertahankan diri dari pengaruh filsafat Ibnu Rusyd ini. Pengaruh Ibnu Rusyd ke Eropa bukan secara langsung tetapi melalui murid-muridnya dari Eropa yang belajar ke Spanyol. Mereka dikenal dengan averoisme. (Hasbullah Bakry: 96) Jadi, Averoisme merupakan suatu aliran filsafat yang azas dasarnya umumnya mengikuti ajaran Ibnu Rusyd. (Hasbullah Bakry: 125).
Sebelum averoisme muncul, Eropa kosong dengan ilmu pengetahuan, berfikir sempit dan tidak menghargai akal. Bagi mereka satu-satunya sumber kebenaran adalah agama Kristen, apa saja yang tidak sesuai dengan dogma Kristen dianggap salah. Setelah ajaran Averoisme berkembang, eropah mulai menghargai akal. (siraj: 104)
Kemuncula avaroieeme ini mendorong gerakan penerjemahan terhadap karangan-karangan filsafat telah merangsang bagi munculnya para peminat ilmu, dan falsafat dalam jumlah yang semakin lama semakin banyak. Baik di kalangan orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen, baik yang bemukim di Andalusia dan Sisilia itu, maupun di Itali, Prancis, Inggris, dan lain-lain. Para pencari ilmu, dan falsafat dari banyak kota di Eropa, berdatangan ke Andalusia atau Sisilia, baik ketika kedua wilayah itu sedang berada di tangan penguasa Muslim maupun setelah direbut oleh penguasa Kristen, dan mereka bangga bila mampu berbicara dan mampu membaca buku-buku dalarn Bahasa Arab, sebagaimana bangganya kaum terpelajar dari Asia dan Afrika di masa modern ini bila mampu berbicara dan mampu membaca buku dalam Bahasa Inggris, Prancis, Yunani, atau bahasa dari negara maju lainnya. (aziz dahlan: 117)
Pengkajian yang sangat bergairah terhadap ilmu-ilmu dan falsafat yang dihasilkan Dunia Islam berlangsung di Palemo, Sisilia, dan di Napoli, Itali karena mendapat dukungan dan perlindungan kuat dari Kaisar Frederik II (1212-1250 11). Di antara karya-karya tulis yang dihasilkan Dunia Islam, karya-karya tulis Ibnu Rusyd mendapat penghargaan paling tinggi di kedua pusat pengkajian ini. Kaisar Frederik II memberi fasilitas yang banyak kepada Michael Scot (1175-1234 M) untuk menyalin dan menerjemahkan karya-karya Ibnu Rusyd, sedang Hemanus Memanus (pada masa 1240-1260 M) tercatat menerjemahkan karya AI-Farabi.
Aliran Averoisme selalu menisbahkan paham atau gerakan mereka kepada nama Ibnu Rusyd. Siger Brabant (pada masa dewasanya: 1266-1283 X1) dikenal sebagai pernimpin Averoisme Latin. Penghargaan mereka kepada Ibnu Ruysd sangat tinggi. Komentar-komentar atau pernahaman Ibnu Rusyd atas karya Aristoteles mereka pandang sebagai paling tepat/benar dibandingkan dengan komentar-komentar yang dihasilkan oleh penulis-penulis lain sebelumnya.(abdul aziz: 118-119) Pengkajian mereka kepada bidang filsafat pada akhirnya menghasilkan pandangan-pandangan yang sebenarnya tidak pantas lagi mereka nisbahkan kepada Ibm Rusyd, tapi mereka masih menisbahkannya kepada Ibm Rusyd, seperti pandangan bahwa akallah satu-satunya sumber kebenaran, sedang agama hanya membawa kepalsuan, dan pandangan bahwa tidak ada imortalitas (keabadian) jiwa secara, personal. (ibid)
Semangat Averoisine yang anti-agama itu mendapat kutukan Gereja. Kaisar Frederik II yang mendukung pengkajian ilmu falsafat itu juga mendapat kutukan dari Paus Innocent HI 1198-1216 'M) dan juga dad Paus Honodus M (1216-1227 M) karena aktivitas pengkajian yang didukung kaisar itu dipandang membahayakan Gereja. Kaisar Frederik II itu, karena merasa cukup kuat memandang remeh dan mengabaikan kutukan tersebut.
Dalam rangka upaya untuk melawan pandangan-pandangan yang dikembangkan kaum Averois, Paus Innocent III melaksanakan inkuisisi dengan tujuan menghukum siapa saja yang diketahui memiliki pandangan yang berbeda/bertentangan dengan faham Gereja. Para pemuka gereja juga berupaya mencari bantuan dari pemikiran-pemikiran filosof Muslim dalam rangka lelawan pikiran-pikiran yang dikembangkan oleh kalangan Averois. Di antara mereka yang berupaya melawan Averoisme adalah William d'Auvergne (Uskup Paris; w. 1249 M), Ubertus Magnus (1206-1280 M), dan Thomas Aquinas (1225 - 1274 M).
Pertarungan antara Gereja dengan kaum terpelajar yang anti-agama semakin lama semakin dimenangkan oleh pihak yang anti-agama. Pusat studi iImu dan falsafat semakin berkembang di banyak kota di Eropa (antara lain di Padua, Salerno, Bologne, Paris, dan Oxford) dan semakin banyak. muncul lingkungan-lingkungan yang bersemangat Averoisme. Di Oxford misalnya Ibnu Rusyd diagungkan sebagai Komentator Agung bagi karya-karya Aristoteles. Di Paris muncul kelompok kaum terpelajar yang skeptis terhadap agama. Ancaman Gereja kepada Kopernikus (1473-1543 M) dan Galilei Galileo (1564-1642) agar meninggalkan teori helio-sentris menjadi contoh yang paling populer di kemudian hari untuk menunjukkan bahwa betapa Gereja di Eropa selama berabad-abad telah menjadi penghalang kemajuan berpikir dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Jadi averoisme yang berkembang di Eropa pada hakekatnya adalah pemahaman terhadap filsafat Aristoteles secara murni dan benar sesuai dengan yang dikemukakan Ibnu Rusyd. Tetapi mereka tidak mengikuti pemikiran filsafat Ibnu Rusyd secara menyeluruh, tetapi hanya sebagai dari pendapat Ibnu Rusyd dengan kedudukan akal.
Nampaknya pandangan asli dari Ibnu Rusyd memang harus dibedakan dengan pandangan-pandangan kaum Averois Eropa. Ibnu Rusyd memang menghargai tinggi martabat dan kemampuan akal manusia, tapi tidak pernah mengingkari kebenaran wahvu (agama). Kaum Averois mengagungkan akal sampai ke taraf mengingkari kebenaran agama (wahyu). Pandangan Ibnu Rusyd yang menghargai tingginya akal, jelas berpengaruh kuat pada kaum Averois. Akan tetapi pandangan Ibnu Rusyd yang menghargai tinggi agama, tidak berpengaruh kuat pada mereka. Boleh jadi hal ini disebabkan oleh sikap konservatif Bapak-Bapak Gereja di masa itu amat keterlaluan dan mungkin juga ditambah dengan pandangan kitab suci yang dipegang Gereja jauh berbeda dengan pandangan kitab suci AI-Quran yang dipegang umat Islam, terhadap aktivitas befikir dan pencarian ilmu.
Bagi filosof Kristen, seperti Thomas Aquinas, pengaruh pandangan Ibnu Rusyd khususnya, dan para filosof Muslim Pada umumnya sebenarnya tidak kecil. Mereka yang membela agama, dalam melawan Averoisme merasa perlu membaca karya-karya Ibnu Rusyd dan para filosof Muslim lainnya karena dalam karya-karya para filosof Muslim itu dapat dijumpai pandangan-pandangan yang sejalan dengan ajaran-ajaran agama dan sekaligus dapat digunakan untuk menandingi atau melawan pikiran-pikiran kaum Averois dan kaum sekuler lainnya di Eropa.
Jadi puncak tradisi filsafat di dunia Barat terjadi ketika Ibn Rusyd tampil sebagai penafsir Aristotelianisme yang paling fasih. Dalam sejarah intelektual umat manusia, tradisi filsafat di belahan Barat ini demikian penting, sebab tradisi ini yang menjembatani alam fikiran Yunani-Arab dengan peradaban Barat modern. Renaissance, yang menandai satu era baru peradaban baru di Barat, memang harus dicari akar-akar intelektualnya pada tradisi filsafat Islam.
Dari sini terlihatlah andil pemikir muslim terutama para filosof dalam memajukan Barat yang sebelumnya terpuruk dalam bidang ilmu pengetahuan serta tunduk di bawah dogma gereja. Dalam perkembangan selanjutnya kajian filsafat marak di belahan Barat, namun akarnya memang senantiasa berada pada penafsiran filosof muslim terhadap filsafat sebelumnya.

DAFTAR BACAAN
M. Chatib Khuzwaini, “Al- Gazâlî dan Tasawufnya". Makalah Simposium tentang al-Gazâlî, BKSPTIS, Jakarta, 26 Januari 1985,
Imam al-Gazâlî Thahafut al-Falasifah, Sulayman Dunya (ed.) (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1962), h. 307
Nurcholish Madjid, “Al- Gazâlî dan Ilmu Kalam". Makalah Simposium tentang al-Gazâlî, BKSPTIS, Jakarta, 26 Januari 1985, h. 8.
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 14-40
Hasbullah Bakry, Di Sekitar Scholastik Islam, (Yogyakarta: t.tp., 1958), h. 81-82
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Filsafat dalam Islam, (Padang: IAIN IB Press, 1999), h. 93
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, terjemahan, Mulyadhi Kartanegara, dengan judul asli : A History of IslamicPhilosophy, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), h. 305
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam I, (Padang: IAIN IB Pres), h. 105,
Sayyed Amir Ali, Api Islam Sejarah Cita-Cita Islam dengan Riwayat Hidup Nabi Muhammad saw., terjemahan, H.B. Jasin, dengan judul asli: The Spirit of Islam (A History of the Evolution and Ideals of Islam), (Jakarta: Bulan Bintang , 1978), h. 674-676
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:UI Press, 1986), h. 72-73
Imam al-Ghazâlî, al-Munqi© min ad-Dhalal, alih Bahasa: Achmad Khudari Soleh, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 27-31
Imam al-Ghazâlî, Tah±fut al-Fal±sifah, Editor Sulaiman Dunya, (Kairo : Dâr al-Ma’ârif,1966), h. 86-87
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Dari al-Gazâlî ke Ibnu Rusyd), ( Padang: IAIn IB Press, 1999), h. 10-11
Depag RI, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1994), h. 25
Ibnu Rusyd, Tah±fut al- Tah±fut, ed. Sulaiman Dunya, (Kairo : Dâr al-Ma’ârif,1964), h. 362
Harun Nasution, “Al- Gazâlî dan Filsafatnya". Makalah Simposium tentang al-Gazâlî, BKSPTIS, Jakarta, 26 Januari 1985, h. 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar