Senin, 16 Februari 2009

SEBELUM MUDA USAI

I

"Malin Mancayo". Itulah gelar yang diberikan mamaknya ketika ia disandingkan secara adat, sebagai salah satu kelengkapan kediriannya sebagai laki-laki di Ranah Minang. "Masa kecilnya" telah bertukar menjadi "masa besar", yaitu secara sosial ia telah berhak untuk dipandang sebagai manusia yang dewasa dalam pemahaman modern. Di mana ia tidak perlu lagi tidur di surau, karena telah mendapat kamar di rumah isterinya. Tidak lagi makan nasi dingin di rumah orang tuanya atau makan dan minum di lepau kalau sedang punya uang. Pakaian kotor, tidak perlu dipusingkan. Karena "isteri tercinta" telah ada dan siap dengan tugasnya. Yang penting adalah bagaimana bisa menenggang orang-orang di sekeliling. Mertua, ipar, mamak isteri dan lainnya.
Konon "Malin" adalah kata Arab yang secara terminologis berarti orang yang alim tentang al-Quran atau Islam. Sedang "Mancayo" adalah kata yang berarti memancarkan cahaya. Maka kalau digabungkan pengertiannya kira-kira akan berarti orang yang bisa memahami al-Quran dan bisa memberikan cahayanya kepada orang lain. Sebuah gelar yang penuh doa seperti juga kebanyakan gelar lainnya di lingkungan kebudayaan Minangkabau.


II

Malin Mancayo adalah seorang yang yang merasakan kesakitan ekonomi di zaman "Malese", yaitu ketika Orde Lama dan terjadi "clash" antara pemerintah pusat dengan daerah. Di mana daerah merasakan ketidakadilan ekonomi dan pembangunan. Sehingga tercapai kesepakatan untuk mencoba memperjuangkan nasib sendiri dan terlepas dari campur tangan pemerintah pusat. Konon seperti itulah isu yang paling populer berkembang.
Dalam kondisi seperti ini Malin Mancayo tidak cukup kuat untuk bersitingkih meneruskan sekolahnya secara teratur. Maklumlah bapak seorang "orang dalam" yang harus berpindah menghindari pengejaran "orang luar". Juga dengan jumlah saudara yang banyak dari empat isteri bapaknya tidak cukup meluangkan kesempatan baginya. Apalagi keluarga dari pihak ibunya termasuk orang yang tidak berada. Maka cukuplah bagi Malin Mancayo untuk menyelesaikan Sekolah Rakyat selama sembilan tahun. SLTP ditempuh di tiga sekolah. Satu setengah tahun di Sumatera Thawalib, satu tahun di Muallimin Muhammadiyah, dan dua tahun di PGA. Untuk SLTA juga harus ditempuh di dua sekolah. Dan berhasil diselesaikan setelah beranak satu. Itupun berkat pertolongan dari sanak kerabat dan orang kampung yang kebetulan menjabat dan simpati. Alhamdulilah. Hati Malin Mancayo bergumam.


III

Isteri Malin Mancayo adalah seorang perawan tulen yang lebih tua tujuh tahun darinya. Berprofesi sebagai pedagang kelontong dengan penghasilan sekitar enam sampai delapan kali penghasilan Malin Mancayo sebagai guru mengaji. Sehingga kalau tidak bosan di rumah mau rasanya Malin Mancayo untuk tidak mengajar. Cukuplah ia mengandalkan isterinya untuk hidup. Tapi sekedar untuk pembeli rokok tidak apalah dan juga agar tidak keras nada gunjingan orang lain. "Sekedar menjaga sedikit gengsi", kira-kira begitulah pikiran dewasa Malin Mancayo.

Sebelum terjadi perkawinan mereka konon Malin Mancayo termasuk pemuda yang diincar oleh lusinan gadis-gadis di kampungnya. Selain seorang yang beragama, Malin Mancayo juga termasuk seorang yang berkategori ganteng dan mudah bergaul dengan siapa saja. Kekurangannya hanya satu yaitu "bersaku tipis". Sehingga timbalannya tentu para gadis yang mengincarnya harus berpikir."Kira-kira sanggupkah saya menderita atau mencari uang untuk pembeli keberagamaan, kegantengan dan keramahannya" ?
Dalam kondisi seperti inilah muncul Isma, isterinya sekarang ini, yang secara ekonomis cukup mampu. Walaupun tidak terlalu cantik dan sudah berumur pula. Maka dengan pendekatan yang cerdas baik dari Isma maupun keluarganya terpikatlah Malin Mancayo yang bernama asli Miskal. "Yang penting biduk bisa berlayar, tak usah dipikir badaikan datang", kata Malin Mancayo dalam hati. Ia merasa sudah bertambah lagi predikat yang harus disandangnya sebagai laki-laki." "Selamat berlayar Malin", kata teman-teman mengaji dan sepermainannya.

IV

Di hari ke tujuh belas setelah perkawinannya, Malin Mancayo secara tidak sengaja medengarkan gunjingan orang tentang dirinya. Ada dua hal yang membuatnya cukup tersentak dan menumbuhkan perasaan lain di hatinya, serta mengucurkan peluh dingin di kuduknya. Pertama, tentang bagaimana asal-muasalnya ia bisa dijadikan suami oleh Isma. Kedua, tentang kehidupan ekonominya yang hanya bergantung pada hasil pencarian Isma. Sementara penghasilannya sendiri untuk pembeli rokokpun tidak cukup sebagai guru mengaji.
Pada mulanya, Malin Mancayo memendam hal ini dan menguburnya dalam kebahagiaan suasana pengantin barunya. Tetapi setelah gunjingan itu juga menyentuh telinga keluarganya dan menjadi rahasia umum di seluruh kampong, perasaan lain di hatinya semakin menguat. Ego kelaki-lakiannya menjadi panas. Jiwa ketidakberdayaannya bergolak dan mulai bertanya-tanya." Benarkah Malin Mancayo jatuh cinta dan tidak berdaya menghadapi Isma karena ada unsur mistis ?. Benarkah Malin Mancayo tidak berdaya mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri apalagi isterinya " ?

Menurut gunjingan orang yang didengarnya, Isma dan keluarganya telah membubui makanan yang dimakan Malin Mancayo di suatu ketika dengan semacam obat yang bisa menumbuhkan kesukaanya pada Isma. Yaitu sekitar tiga bulan sebelum perkawinan mereka. Selain itu juga digunjingkan bahwa keluarga Isma telah mengupah seorang dukun untuk membuatkan "minyak pemanis" untuk Isma dan mendukuni Malin Mancayo dari jauh secara batin. Sehingga Malin Mancayo menjadi tertarik dan jatuh cinta pada Isma serta rela menjadikan Isma sebagai isterinya.

Gunjingan kedua, yaitu tentang ketidakmampuan Malin Mancayo membiayai hidupnya sendiri apalagi isterinya cukup dimakluminya. Tapi tumbuh di hatinya "kenapa orang lain harus bergotong royong dengan persoalan diriku ? "Yang penting kami tidak kelaparan !". Lalu dalam kesempatan lain terbit pula pikirannya bahwa apa yang dikatakan orang itu benar juga adanya. Bahwa Malin Mancayo adalah orang yang tidak lengkap kehidupan perkawinannya. Entahlah !
Hati Malin Mancayo kembali bergumam.

V

Tujuh tahun telah berlalu. Kini di tangan Malin Mancayo ada selembar Surat Keputusan dari Departemen Agama yang berisikan tentang pengangkatannya sebagai pegawai administrasi di Kantor Urusan Agama di daerah pedalaman Jambi. Sebuah hasil dari kerja kerasnya untuk memperoleh ijazah persamaan Madrasah Aliyah dan kemampuan lobinya terhadap orang-orang yang dikenalnya di Kantor Departemen Agama Kabupaten. Kebetulan mereka kebanyakan berasal dari kecamatan yang sama. Dari bawah sampai ke atasnya. Sehingga sedikit semangat primordialisme rasanya tidaklah merupakan dosa. Apalagi di departemen lain kabarnya lebih parah lagi.

Dalam hati Malin Mancayo merasa telah akan dapat memunahkan gunjingan orang tujuh tahun yang lalu padanya. Pertama dengan "menggunggung terbang" (membawa pergi) isteri dan anaknya. Kedua dengan mengandalkan gajinya sebagai pegawai golongan II-a untuk dijadikan modal hidupnya di perantauan. Kemudian yang paling utama ia tidak akan lagi mendengarkan cerita orang lain tentang dirinya.

"Biarlah nanti pulang kalau sudah punya mobil untuk menghalau langkah orang yang akan menggunjingkan dirinya". "Biarlah nanti pulang kalau sudah punya uang untuk menyumbat mulut orang-orang tak berpekerjaan yang menyebarkan isu tentang dirinya". "Biarlah, biarlah, biarlah !. Hatinya masih bergumam.



Ciputat, 19 Februari 1997

“Ini sebenarnya tulisan siapa ?, uda ada di komputerku sejak tanggal tertera “