Senin, 23 Maret 2009

IBNU HAJAR AL-ASQALANY, IMAM AN-NAWAWY, DAN AL-ZARQANY (KAJIAN SYARAH KITAB-KITAB HADIS)

A. Pendahuluan
Kajian hadis terus bergulir. Kitab-kitab hadis terus bermunculan. Hadis-hadis dibukukan dalam bentuk al-Jawami’, al-Masanid, al-Ma’ajim, al-Mustadrak dan sebagainya. Pembukuan hadis semacam ini berkembang terus hingga lahirlah bentuk kitab hadis yang bermacam-macam. (Kontekstual: 278)
Gerakan tadwin ini telah menciptakan sebuah stagnasi dalam bidang intelektual. Akan tetapi gerakan ini tetap saja di satu sisi menyimpan khazanah ilmu para ulama, walau di sisi lain menyebabkan ulama merasa cukup dengan apa yang telah tersedia. Mereka tidak merasa perlu melakukan penelitian ulang. Lama-kelamaan secara perlahan berkembanglah tradisi membuat syarah untuk memudahkan pembaca memahami kitab-kitab rujukan. Mereka menjelaskan kata-kata atau kalimat-kalimat secara semantik atau menambahkan penjelasan dengan mengutip ucapan ulama lain. Seperti yang dilakukan terhadap Kitab Bukhari, paling tidak terdapat tiga kitab syarahnya, Fath al-Bary, Iryad al-Sary, Umdah al-Qari, juga terhadap Shahih Imam, seperti yang dilakukan al-Nawawi.
Ini sebagai bukti kemandekan intelektual masa itu. karena seorang ulama tidak lagi menciptakan sebuah karya baru, tetapi karya tulis mereka merupakan kitab yang mengelaborasi karya lain yang lebih orisinil. Hal ini terjadi tidak hanya dalam bidang hadis, tetapi merambah ke hampir semua cabang ilmu.
Namun terdapat hal positif bahwa karya syarah bukanlah akhir perjalanan ilmiah dalam masa kemandekan intelektual. Akan tetapi sebuah karya syarah membuka peluang kepada bentuk elaborasi lebih lanjut, sehingga merupakan elaborasi atas elaborasi yang nantinya akan memunculkan lagi kitab yang disebut Hasyiyah.
Demikian pula terlihat bahwa usaha para ulama melakukan pensyarahan terhadap kitab hadis merupakan wujud dari kepedulian ulama terhadap pemeliharaan hadis lebih lanjut dan untuk menjelaskan makna hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis. Selain itu terdapatnya masalah-masalah dalam kitab hadis telah mengundang ulama untuk meneliti hadis-hadis yang telah dibukukan tersebut.
Hal ini terbukti seperti yang dilakukan oleh al-Asqalani terhadap Sahih Bukhari. Beliau menjelaskan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab sahih Bukhari, seperti dijelaskannya dalam Muqaddimah-nya Hadyu Sari. Demikian pula yang dilakukan oleh Imam Nawawi terhadap Sahih Muslim. Dan kitab-kitab Syarah lainnya.
Di dalam pembahasan ini penulis membatasi pada kitab Syarah terhadap Shahih Bukhari yang disusun oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, Syarah terhadap Shahih Muslim oleh Imam Nawawi , dan Syarah Kitab Muwatha Imam Malik oleh al-Zarqani.
B. Ibnu Hajar al-Asqallany dan Syarahnya atas Kitab Shahih Bukhari
1. Biografi Ibnu Hajar al-Asqalany
Ibnu Hajar mempunyai nama lengkap Syihabuddin abu Fadl Ahmad Ali bin Muhammad bin Hajar al-Asqallany. Beliau lahir di Cairo, 21 Sya’ban 773/ 18 Februari 1372, dan wafat 28 Zulhijjah 852/22 Februari 1449.
Ibnu Hajar al-Asqalany adalah seorang ulama hadis, sejarawan, dan ahli fiqh mazhab Syafi’i. Tentang asal usul keluarganya tidak diketahui secara pasti. Nenek moyangnya mula-mula pindah ke Iskandariyah dan kemudian ke Cairo. Ayahnya Nuruddin Ali adalah seorang ulama besar yang dikenal juga sebagai seorang mufti selain itu juga terkenal sebagai penulis sajak-sajak. Sedangkan ibunya Tujjar adalah seorang wanita kaya yang aktif dalam kegiatan perniagaan.
Ibnu Hajar menjadi yatim semenjak masa kanak-kanak. Ayahnya meninggal ketika Ibnu Hajar berusia empat tahun, sedang ibunya telah lebih dahulu meninggal. Sepeninggalan orang tuanya, Ibnu Hajar diasuh oleh seorang saudagar kaya bernama Zakiuddin Abu Bakar al-Kharrabi. Beliau telah ditunjuk oleh ayahnya sebagai pembimbing utama baginya. Namun kurang lebih 10 tahun kemudian, pembimbingnya meninggal dunia pada saat Ibnu Hajar masih berusia 14 tahun.
Pendidikan Ibnu Hajar dimulai ketika ia berusia 5 tahun. Di usia tersebut ia telah sekolah dan pada usia 9 tahun telah mampu menghafal al-Qur’an. Selanjutnya ia belajar kepada ulama besar pada masanya seperti Jamaluddin al-Bulqini, Ibnu al-Mu’an, al-Fairuz, dan Muhibbuddin bin Hisyam (w. 799 H) dalam ilmu bahasa dan ilmu saraf, kemudian kepada at-Tanukhi dalam bidang ilmu qiraah, dan Syamsuddin Muhammad bin Ali bin Qattam yang merupakan guru yang paling banyak memperkenalkan literatur sejarah kepadanya.
Pada waktu usianya 23 ia mulai menekuni ilmu hadis. Untuk itu ia mengadakan perjalanan ke Hijaz, Yaman, Palestina , dan Suriah. Perjalanan ini berakhir ketika ia kembali dari Suriah. Adapun guru utamanya dalam ilmu hadis adalah Zainuddin al-Iraqi (800 H). selain itu Ibnu Hajar juga dibimbing oleh Izzaddin bin Jama’a dalam bidang hadis dan fiqih sampai Ibnu jama’a wafat (765 H). Sebagian besar guru Ibnu Hajar memberikan ijazah kepadanya untuk mengeluarkan fatwa dan mendirikan pengajaran.
Karir Ibnu Hajar berlangsung sebagaimana umumnya para ulama besar sebelumnya. Ia menjadi dosen, guru besar, pimpinan akademi (madrasah), hakim, khatib, dan pustakawan.
Sebagai dosen ia mengajarkan ilmu hadis, ilmu tafsir, dan fikih. Kuliahnya tentang ilmu hadis dimulai pada bulan syawal 808/Maret 1406 di Syaikhuniyah. Ia juga memberi kuliah di Madrasah Jamalia ketika pertama kali dibuka pada bulan Rajab 811 H dan di madrasah Mankutimuriyah pada bulan Jumadil akhir 812 H.
Asosiasi akademisnya yang terpenting adalah perguruan Baybarsiyah. Pada perguruan ini, ia menjadi kepada Bidang Pengawasan Pendidikan dan Administrasi ( 3 Rabiul Awal 813 H). setelah sempat berhenti beberapa lama, ia kembali menduduki jabatan ini selama lebih dari 31 tahun (Rabiul Akhir 818). Kemudian ia memindahkan aktifitas pengajarannya ke Darul Hadis al-Kamiliyah. Pada tanggal 2 Rabiul Awal 852 H ia kembali mengajar di Baybariyah untuk beberapa bulan sebelum ia menderita sakit.
Jabatannya sebagai hakim dimulainya Bulan Muharam 827 H. jabatannya ini diterimanya setelah beberapa kali ditawarkan kepadanya. hal ini disebabkan ketika itu rekannya jamaluddin al-Bulqini menjadi hakim agung dan ia sendiri menjadi wakilnya. Tidak lama kemudian, pada bulan Zulkaidah 827, Ibnu hajar diturunkan dari jabatannya karena di antara kebijaksanaannya ada yang tidak sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah. Jabatagnnya digantikan oleh Syekh al-Harawi yang juga tak bertahan lama. Selejutnya Ibnu Hajar ditunjuk kembali menggantikan Syekh al-Harawi. Jabatannya ini dipegangnya selama lebih dari dua puluh tahun.
Ibnu Hajar juga mendirikan kantor Mufti di Dar al-‘Adl (811 H) tahun 826 ia mengambil alih administrasi perpustakaan di Mahmudiyah. Ia juga menjadi khatib di al-Azhar dan di Masjid Amr bin Ash.
Ibnu Hajar populer dengan karya ilmiyahnya terutama dalam bidang ilmu Hadis, misalnya Fath al-Bari fi Syarh al-Bukhari. Karya besarnya ini mencapai puncak kejayaannya pada tahun 833 H, ketika penguasa Timur di wilayah Fars (Iran) dan Sijistan, Syah Rukh, meminta penguasa Mesir, Barsbay, untuk memberikan beberapa salinan kitab ini.
Karya-karya Ibnu hajar yang lain, di antaranya:
a. Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah
b. Tahzib al-Tahzib
c. Lisan al-Mizan
d. Anba’ al-Gumr bin ‘Anba’ al-‘Umr
e. Bulugh al-Maram min Adilla al-Ahkam
Artikel-artikel Ibnu Hajar yang lebih rinci sudah banyak dihimpun oleh para ilmuan, baik muslim maupun orientalis, misalnya Brockelmann. Salah satu bukunya yang berjudul Bulugh al-Maram min Adilla al-Ahkam sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, juga Fathul Bari fi Syarah al-Bukhari. Dan pada umumnya karya beliau dipergunakan di perguruan tinggi Islam.
2. Fath al-Bari: Syarah Ibnu Hajar al-Asqallany atas Shahih Bukhari
Nama kitab Syarah ini adalah Fath al-Bari bi Shahih al-Bukhari. Kitab Fath al-Bari ini adalah kitab syarah Sahih Bukhari yang paling baik dan paling lengkap.
Dalam kitab ini al-Asqalani menjelaskan masalah bahasa dan I’rab dan menguraikan masalah penting yang tidak ditemukan dalam kitab lain. Beliau juga menguraikan di dalam kitab ini segi balaghah dan sastranya, mengambil hukum, serta memaparkan berbagai masalah yang diperdebatkan oleh para ulama, baik menyangkut fiqih maupun ilmu kalam secara terperinci dan tidak memihak. Di samping itu beliau juga mengumpulkan seluruh sanad hadis dan menelitinya, serta menerangkan tingkat kesahihan dan kedha’ifannya. Semua itu menunjukkan keluasan ilmu dan penguasaannya mengenai kitab-kitab hadis.
Muqaddimah al-Asqallany ini dibagi menjadi beberapa fasal yang menerangkan hal-hal yang terkait dengan Shahih Bukhari, di antaranya:
a. Menjelaskan sebab-sebab yang mendorong Imam Bukhari dalam menulis kitabnya.
b. Menjelaskan tentang judul/Maudhu’ Shahih Bukhari
c. Menjelaskan hadis-hadis munqathi’ yang terdapat dapat kitab Sahih Bukhari
d. Menjelaskan sebab-sebab hadis Mu’allaq, Marfu’ dan Mauquf. Fasal ini menjelaskan hadis-hadis tersebut mulai dari Kitab Wahyu diakhiri dengan kitab Tauhid, sesuai dengan urutan kitab dan bab yang terdapat dalam Shahih Bukhari.
e. Menjelaskan bentuk-bentuk kata yang gharib dalam Sahih Bukhari. Fasal ini penjelasannya disusun berdasarkan huruf Mu’jam dimulai dengan Alif dan diakhiri dengan huruf Ya berdasarkan nama-nama Rawi yang gharib.
f. Penjelasan tentang Mu’talif, Mukhtalif dalam Asma’, Kunyah, Laqab, Nasab dalam Sahih Bukhari. Seperti kata بشير bisa fathah ba, bisa juga dhammah. Ini dijelaskan dalam fasal ini.
g. Penjelasan tentang nama-nama yang muhmal
h. Menjelaskan hadis-hadis yang dikritik oleh Dar-Quthni
i. Menjelaskan nama-nama rawi yang cacat yang terdapat dalam Shahih Bukhari
j. Menjelaskan rujukan dari hadis-hadis yang terdapat dalam Jami’ (Shahih Bukhari) ini
Abu Syuhbah mengungkapkan bahwa Muqaddimah ini amat tingi nilainya. Seandainya ia tulis dengan tinta emas, maka emas itu belum sebanding dengan tulisan itu. sebab ia merupakan kunci untuk memahami sahih Bukhari. Kitab ini selesai ditulis tahun 813 H.
Al-Asqalani mulai menulis kitab Syarah yang menurut rencananya pembahasan tersebut ditulis panjang lebar dan terperinci. Namun ia khawatir bila ada halangan untuk menyelesaikannya, yang mengakibatkan kitab itu selesai namun tidak sempurna. Karena itu beliau menulis syarah tersebut dengan cara sederhana yang diberi nama Fath al-Bari.
Penulisan syarah ini dimulai dengan Kitab Bada’a al-Wahyu yaitu bab Kaifa bada’a wahyu ila Rasul Saw. Ini dapat dilihat pada jilid pertama kitab Syarah yang telah dicetak beberapa kali. Baik di Mesir maupun di negara lain seperti Indonesia. Dan bagian terakhir dari Kitab Syarah ini yaitu Kitab Tauhid dan penutup kitab. (Lihat Ibnu Hajar, Fath al-Bari jilid I dan XIII/XV)
Di dalam mensyarah hadis Ibnu Hajar memulainya dengan mencantumkan ayat al-Qur’an, menjelaskan ayat, disertai pula dengan pendapat ulama. selanjutnya beliau mencantumkan hadis, dimulai dengan menjelaskan sanad hadis, diteruskan kepada syarah matan, yang kesemuanya tidak terlepas dari analisa bahasa.
Kitab Syarah ini terdiri dari 13 jilid sebagaimana yang diungkap oleh Abu Syuhbah, terdiri dari 15 Kitab, jilid VI dan IX masing-masing terdiri 2 kitab. Namun dalam beberapa cetakan dibuat 15 Jilid. Selain itu terdapat pula 2 jilid Fahras selain Muqaddimah. Selanjutnya juga ada juga yang dilengkapi dengan Kitab Taujih al-Qary yang berisi kaidah-kaidah sanad dan kriteria hadis-hadis Bukhari sebanyak 1 jilid. Walaupun punya 2 jilid Fahras namun tiap juz/jilid mempunyai fahras masing-masingnya.
Di dalam penulisan Fath al-Bari ini Ibnu Hajar telah menghitung hadis Sahih Bukhari dengan teliti. Kejelian penghitungan ini ditunjang oleh penulisan Syarah itu sendiri. Di akhir setiap bab, ia menyebutkan jumlah hadis maushul yang marfu’, hadis mu’allaq dan hadis mutabi’, serta perkataan para sahabat dan tabi’in.
Di dalam Muqaddimah Fath al-Bari telah disebutkan bahwa :
a. Seluruh hadis Sahih Bukhari yang maushul tanpa mengulang sebanyak 2. 602 buah.
b. Jumlah matan hadis mu’aalaq namun marfu’ yang tidak disambung pada tempat lain sebanyak 159 buah.
c. Jumlah semua hadis termasuk yang diulang sebanyak 7.397 buah
d. Jumlah hadis Muallaq sebanyak 1.341 buah
e. Jumlah hadis mutabi’ sebanyak 344 buah
f. Jumlah seluruhnya termasuk yang diulang sebanyak 9.082 buah.
Penulisan kitab ini menghabiskan waktu seperempat abad. Dimulai tahun 817, dan selesai tahun 842 H. maka tidak mengherankan bila kita itu paling bagus, teliti dan sempurna. Selain itu, penulisannya dilakukan oleh penyusunnya dengan penuh keikhlasan.
Setelah selesai menulis kitab syarah tersebut, Asqalani mengadakan resepsi agung dihadiri tokoh-tokoh Islam dengan biaya 500 dinar atau sekitar 250 pound Mesir. Kitab ini selalu mendapatkan sambutan hanya dari para ulama, baik pada masa dulu maupun sekarang, dan selalu menjadi kitab rujukan.
Ada beberapa hal lain yang ditemui dalam Kitab Fath al-Bari ini:
a. Dalam mengemukakan hadis-hadis Ibnu Hajar berusaha mencarikan sanad-sanad sehingga sampai kepada Nabi, sehingga dalam Fath al-Bari pembahasannya lebih kuat dari segi rijal hadis.
b. Dalam Fath al-Bari Ibnu Hajar sering mengalihkan Syarah ke Kitab lain atau ke jilid lain:
Contoh: Akan Saya syarahkan di ..................................
Telah Saya syarahkan di ..................
Hal ini dilakukannya untuk mengatisipasi agar tidak terjadi pengulangan
C. Imam al-Nawawi dan Syarahnya atas Kitab Shahih Muslim
1. Biografi Imam al-Nawawi
Beliau lahir di Nawa, Damaskus pada bulan Muharram 631 H dan wafat pada tanggal 24 Rajab 676 H. Imam Nawawi adalah seorang Syekh Islam yang banyak menulis buku, ahli hadis, fikih, dan bahasa. Ia dikenal sebagai mujtahid yang sibuk dengan kegiatan muzakarah. Dikenal pula dengan nama al-Hafiz Muhyiddin an-Nawawi. Sedangkan nama lengkap Imam Nawawi adalah Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarif bin Muri al-Khazami al-Hawarabi al-Syafi’i. Ia seorang Faqih Syafi’i, ahli Hadis dan Zahid.
Imam Nawawi meninggal dalam usia 45 sebelum meninggal, ia sempat pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji beserta orang tuanya, menetap di Madinah selama 1,5 bulan, dan sempat berkunjung ke Baitulmaqdis. Ia tidak menikah sampai akhir hayatnya.
Pada usia 19 tahun ia belajar di sekolah ‘ar-Rawahiya” di Damaskus. Ia sangat tekun dalam mencari ilmu selama 20 tahun, sampai ia menguasai beberapa disiplin ilmu agama, seperti hadis dan ilmu hadis, fikih dan usul fiqih serta bahasa. Guru-gurunya antara lain Rida bin Burhan, az-Zaid Khalid, Abdul Aziz bin Muhammad al-Ansari, Zainuddin bin Abdul Daim, Imaduddin Abdul Karim al-Harastani, zaiduddin Khalaf bin Yusuf, Taqiuddin bin Abi al-Yassar, Jamaluddin bin as-Sirafi, dan Syamsuddin bin Amr. Khusus pelajaran hadis diperolehnya dari ulama hadis seperti Abu Ishaq Ibrahim bin Isa al-Muradi, usul fikih dari al-Qadi at-Taflis, dan fikih dari al-kamal Ishaq al-Mari dan Syamsuddin Abdurrahman al-Ma’mari. Kitab-kitab hadis, seperti al-Kutub as-Sittah, al-Musnad,dan al-Muwatha’ segera dikuasainya. Menurut Ibnu Atar, salah seorang muridnya, ia meluangkan waktu untuk membaca setiap harinya sebanyak 12 pelajaran untuk berbagai disiplin ilmu.
Perhatiannya terhadap kondisi sosial sangat besar. Ditegakkannya amar makruf dan nahi munkar. Ia membimbing para pemimpin dan orang-orang yang zalim dan mungkar kepada agama. Ia melarang masyarakat Syam (Suriah) memakan buah-buahan yang dinilai syubhat, yang oleh para ulama diperselisihkan hukumnya.
Murid-muridnya antara lain al-Khatib Sadar Sulaiman al-Ja’fari, Syihabuddin Ahmad bin Ja’wan, Syihabuddin al-Arbadi, Alanuddin bin Atar, Ibnu Abi al-Fath, al-Mizzi,dan Ibnu Atar.
Sejak berusia 25 tahun hingga wafatnya Imam Nawawi menulis sejumlah kitab, antara lain:
a. Syarh Kitab Hadis susunan al-Baghawi
b. Syarh Hadis karya ad-Daruqudni
c. Ar-Raudah
d. Al-Majma’ (Syah al-Muhazzab)
e. At-Tibyan fi Adab Hamlah al-Qur’an
f. Tahrir at-Tanbih
g. Al-‘Umdah fi Tasbih an-Niyyah
h. Tahzib al-Asma’ wa al-Lughah
i. Syarh Shahih Muslim
j. Khulasah fi al-Hadis
k. Al-Isyarah ila al-Mubhamat
l. Al-Irsyad
m. Ulum al-Hadis
n. At-taqrib wa at-taisir li Ma’rifati Sunan an-Nasyir wa an-Nazir
o. Al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim
p. Al-Arba’Imam Nawawi
q. Riyad as-Shalihin
r. Al-Fatawa
s. Al-Idah fi al-Manasik
t. Al-Azkar
2. Sistematika dan Kandungan Syarah Imam Nawawi atas Kitab Shahih Muslim
Kitab syarah ini bernama al-Minhaj fi Syarhi Sahihi Muslim bin Hajjaj. Dalam kitab ini Imam Nawawi banyak merujuk kepada para pendahulunya , seperti al-Maziri dan Qadi Iyad. Syarah Imam Nawawi ini penjelasannya terkadang pertengahan (tidak panjang dan tidak ringkas), terkadang singkat. Syarah ini banyak menjelaskan masalah akidah, hukum, akhlak, bahasa, nama perawi dan usaha mengkompromikan hadis yang tampak bertentangan, serta menunjukkan dalil-dalil yang dipakai oleh berbagai mazhab.
Kitab ini terdiri dari 9 Jilid dengan 18 Juz. dengan judul Shahih Muslim bi Syarhi Imam al-Nawawi. Dalam mensyarah hadis Imam Nawawi langsung kepada Syarah hadis serta melengkapinya dengan pendapat ulama. selain itu beliau juga mengemukakan hadis-hadis yang serupa yang tegrdapat dalam kitab hadis yang lain, seperti dari Imam Nasa’i dan lainnya.
Sistematikan penulisannya dimulai dari Muqaddimah, kemudian dimulai dengan Kitab iman dan diakhiri dengan kitab Tafsir. Setiap-setiap juz dari kitab ini diberi fahras hadis, walaupun jusz-juz tersebut terdapat dalam satu jilid, tetap saja dibatasi oleh fahras.
Kitab Syarah ini juga dimulai dengan Tarjamah Imam Muslim dan tarjamah pensyarah sendiri yaitu Imam Nawawi. Kitab Syarah ini disertai Muqaddimah yang membahas ilmu hadis dan sebagai kunci Sahih Muslim. Dalam Muqaddimah ini dijelaskan:
a. Isnad hadis hingga sampai kepada Imam Muslim.
b. Keadaan rawi itu sendiri
c. Muwazanah antara Bukhari dan Muslim
d. Keutamaan Shahih Muslim
e. Penjelasan Tentang hadis Mu’allaq yang terdapat dalam Shahih Muslim
f. Keshahihan hadis dalam Kitab Shahih Muslim
g. Dijelaskan tentang perbedaan Haddasana dan Akhbarana
h. Penjelasan Imam Muslim dengan perbedaan kedhobitan rawi
i. Pembagian Imam Muslim terhadap hadis-hadis
j. Kedalaman Imam Muslim dalam takhrij hadis
k. Menjelaskan Kitab Mukharrij ‘Ala Shahih Muslim
l. Penjelasan hadis shahih
m. Penjelasan tentang hadis hasan dan hadis dha’if
n. Penjelasan tentang hadis Munqathi’, Mursal, Marfu’ dan Mauquf
o. Apakah Fi’il Shahabat itu termasuk hujjah ?
p. Sanad yang Mu’an’an
q. Pembagian Tadlis
r. Hukum Mukhtalith
s. Penjelasan al-Nasikh dan Mansukh
t. Pengetahuan tentang Shahabat dan Thabi’in
u. Penjelasan tentang nama yang diulang-ulang
Selanjutnya dalam syarah ini, terutama di bagian awal, terdapat penjelasan yang panjang, yang disusun secara baik dan memuaskan. Namun dalam beberapa tempat lain. Nawawi memberikan syarah secara singkat. Kadang penjelasannya sulit dipahami atau dengan menggunakan kalimat global yang tidak memberi kepuasan kepada para pengkajinya.
Kitab Syarah Imam Nawawi ini adalah kitab syarah Muslim yang terbaik yang sudah dicetak, terutama muqaddimahnya yang sangat berharga, dan pengaturan bab-babnya secara sempurna. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali di Kairo dan India.
D. Al-Zarqany dan Syarahnya atas Kitab Muwatha’ Malik
1. Biografi al-Zarqany
Nama beliau adalah Muhammad al-Zarqani bin Abdulbaqi bin Yusuf bin Ahmad bin ‘Ulwan al-Mishr al-Azhari al-Maliki, selain itu disebut juga nama beliau Abu Abdillah Muhammad bin ‘Abdul al-Baqi bin Yusuf al-Zarqani. Namun termasyur dengan nama al-Zarqani seorang Imam hadis. Al-Zarkali mengatakan bahwa al-Zarqani merupakan ulama terakhir yang ada di negeri Mesir. Beliau lahir pada tahun 1055 H dan wafat 1122 H di Kairo. Sedangkan nasabnya kepada Zarqan merupakan sebuah desa yang terletak dekat Mesir.
Beliau berguru kepada orang tuanya al-Naur Ali al-Syibramalisy, Syaikh Muhammad al-Babily, dan selainnya.
Diantara karya al-Zarqani yang terkenal:
a. Syarah ‘Ala Muwatha’
b. Syarah ‘Ala Mawahib ad-Diniyah
c. Syarah al-Mandhumah al-Baiquniyah
d. Mukhtashar al-Maqashid al-Hasanah fi al-Ahadis al-Musytahirah
e. Wushulu al-Amany fi al-Hadis.
Tidak banyak sumber yang membicarakan tentang riwayat hidup al-Zarqani, tetapi dalam beberapa permulaan kitab karyanya ditemukan sekilas tentang riwayat hidup al-Zarqany sendiri.
2. Syarah al-Zarqany atas Muwatha’ Imam Malik
Kitab-kitab Muwatha’ yang umum dipakai adalah kitab Muwatha’ yang telah disyarahkan oleh al-Zarqani. Nama asli Kitab syarah ini adalah Abhaju al-Masalik bi Syarhi Muwatha’. Kitab ini terdiri dari 5 jilid, yang setiap jilidnya mempunyai fahras sendiri. Kitab ini mulai ditulis oleh al-Zarqani pada 10 Jumadil Awal 1109 H.(muqaddimah Kitab). Dan selesai pada tanggal 25 Ramadhan 1383 di Mesir. (Khatimah Kitab)
Syarah Muwatha’ yang disusun oleh al-Zarqany ini dimulai dengan Muqaddimah yang berisi Pembukaan oleh penyusun, yang berisi tentang penjelasan bahwa kitab syarah ini mulai disusun oleh al-Zarqani pada 10 Jumadil Awal 1109 H. beliau menjelaskan bahwa dalam mensyarah kitab Muwatha’ ini dilakukan dengan penjelasan yang sedang, tidak pendek dan tidak panjang. Dan di dalam menjelaskan ini beliau mengindari pengulangan. Namun beliau mengalas bahwa keberadaan manusia yang mempunyai sifat pelupa tidak mungkin dihindari. Demikianlah seorang Zarqani yang senantiasa dalam menyusun syarah ini, berlindung kepada Allah dari sifat hasad.
Kemudian Penjelasan ini dilanjutkan dengan menjelaskan Kitab Muwatha’ sendiri, yang menerangkan tentang Imam Malik sebagai penyusun Kitab Muwatha’, selanjutnya beliau menjelaskan tentang kandungan Muwatha’ serta bagaimana pendapat ulama terhadap Imam Malik dan Muwatha’ yang beliau susun. (tentang penjelasan ini telah dikemukakan dalam pembahasan terdahulu)
Syarah Hadis dimulai dengan Bab Wuqut al-Shalat, pada juz I, kemudian diakhiri dengan bab Asma’ al-Nabi Saw pada juz ke V. Ini seperti yang terdapat dalam Kitab Muwatha karya Imam Malik. Demikian juga tentang susunan Kitab, bab, dan hadis, sama seperti Muwatha’ sendiri, namun ditambah dengan syarah oleh al-Zarqani.
Di dalam Syarah ini, ketika menjelaskan hadis al-Zarqani menguatkan dengan ayat al-Qur’an, kemudian beliau menjelaskan hadis mulai dari sanad, dan berlanjut kepada penjelasan tentang matan hadis.
Kitab Syarah ini juga telah dicetak-berulang kali dengan model cetakan yang berbeda-beda.
E. Penilai Kitab
Di antara ketiga Kitab Syarah yang dipaparkan di atas. Nampaknya Fath al-Bary mendapat tempat yang istimewa dalam penilaian ulama. Al-Allama Syaikh Muhammad bin Ali as-San’ani asy-Syaukani (1255 H) penulis Nailul Autar, mengemukakan penilaiannya ketika diminta menulis kitab syarah sahih Bukhari, ia mengagumi Ibnu hajar. Dia mengutip sebuah hadis La Hijrah ba’da fathi (tidak ada hijrah setelah penaklukan Makkah). Dia meminjam istilah dari hadis itu sebagai ungkapan bahwa tidak ada kitab syarah sahih Bukhari yang melebihi Fath al-Bari.
Al-Allama Ibnu Khaldun, dalam muqaddimahnya mengutip perkataan guru-gurunya yang mengatakan: “Mensyarah sihih Bukhari adalah tugas yang dibebankan pada umat ini”. ucapan ini secara pasti dinyatakan sebelum adanya Fath al-Bari. Dengan demikian Ibnu Hajar telah menunaikan tugas yang menjadi tanggung jawab umat ini.
Untuk melihat sebuah penilaian lebih terhadap sebuah karya Syarah tentunya seorang penilai akan dihadapkan kepada Kitab syarah lain yang mengacu kepada kitab rujukan yang sama. Seperti halnya Syarah terhadap Shahih Bukhari ini, yang yang juga dilakukan oleh ulama lain, seperti Syihabuddin al-Qasthallani yang mensyarah Kitab Shahih Bukhari dengan nama Irsyad al-Syary.
Dengan kitab ini bisa dibandingkan bagaimana nilai lebih dari Fath al-Bary. Kalau dilihat dari pembahasannya Irsyad al-Syary lebih bernuansa Fiqh. Sedangkan Fath al-Bary lebih mendalam dalam pembahasan al-Rijal Hadis-nya. hal lain terlihat bahwa Irsyad al-Syary kurang dalam pembahasan hadis serta disyarahkan perkalimat. Sedangkan Fath al-Bary disyarahkan secara utuh.
Jadi, tidak dapat dipungkiri sampai saat ini, Fath al-Bary masih sebagai Syarah Bukhari yang terbaik.
Seperti halnya Fath al-Bary, Shahih Muslim bi Syarhi Imam al-Nawawi juga mendapat perhatian para ulama. Di antara kitab Syarah yang mensyarah Kitab Shahih Muslim. Syarah Imam al-Nawawi ini-lah yang sering dijadikan rujukan dalam syarah Shahih Muslim.
Walaupun tidak selengkap Fath al-Bary dalam menjelaskan hadis-nya. kitab ini hadir dengan pembahasan yang sederhana, disebabkan pada waktu itu penuntut ilmu tidak suka kitab-kitab yang panjang.
Abu Syuhbah mengungkapkan bahwa diharapkan sejumlah ulama hadis membuat proyek penyusunan Syarah Shahih Muslim yang lengkap, untuk memenuhi segala yang dibutuhkan oleh upara peneliti dan pelajar. Ini sebagai bukti bahwa Syarah yang ada terhadap Shahih Muslim masih belum lengkap.
Sedangkan Kitab al-Zarqani yang merupakan syarah Kitab Muwatha’ juga merupakan kitab yang penting keberadaannya. Al-Zarqani sebagai ulama Hadis, sekaligus Fiqih telah melakukan mensyarahan yang sangat membantu dalam mengungkap hadis-hadis yang terdapat dalam Kitab Muwatha’ Imam Malik.
F. Analisa
Melihat perkembangan kitab-kitab syarah mulai abad VIII ini, terlihat adanya efek positif terhadap stagnasi berfikir umat masa itu. ide-ide kreatif muncul untuk membuka corak baru dalam memunculkan kitab-kitab baru. Walau bukan merupakan karya orisinil, akan tetapi ini memperlihatkan nuansa baru dalam perkembangan pemikiran di dunia Islam.
Munculnya kitab-kitab Syarah ini memberi peluang kepada para ulama untuk mengemukakan pemahaman mereka terhadap teks-teks agama yang telah mengundang munculnya taqlid dan semacamnya pada masa sebelumnya.
Dalam Bidang hadis muncul berbagai Kitab Syarah yang berusaha merebut peringkat terbaik di hati umat. Kemunculan Kitab syarah ini berlanjut terus, hingga pada akhirnya muncul pula Hasyiyah yang kembali melakukan elaborasi terhadap syarah yang ada. Dengan demikian sebuah Kitab Karya ulama masa lalu, bisa menjadi semakin diterima karena senantiasa berkembang sejalan dengan usaha-usaha yang dilakukan ulama.
Seperti yang dilakukan Ibnu Hajar dalam Fath al-Bary. Beliau telah berusaha mengungkapkan penjelasan yang menyeluruh dalam mensyarahkan kitab Shahih Bukhari. Sehingga menguatkan keberadaan Shahih Bukhari sebagai kitab Mu’tamad. Hadis-hadis yang dikritik oleh para ulama seperti Dar al-Quthny, telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Syarah-nya.
Demikian pula dengan Shahih Muslim yang telah disyarahkan oleh Imam al-Nawawi. Al-Nawawi juga menjelaskan hadis-hadis yang terdapat dalam Shahih Muslim termasuk hadis-hadis yang dikritik ulama.
Kitab Syarah Muwatha’ juga berusaha menjelaskan makna hadis termasuk sanad-sanad yang dipertanyakan dalam penyusunan kitab ini. seperti sanadnya yang senantiasa menggunakan nama murid-murid Imam Malik. Ini telah dijelaskan dalam Kitab Muwatha’
G. Penutup
Kajian kitab syarah ini merupakan suatu kajian yang tidak terlepas dari karya-karya syarah yang muncul setelah masa tadwin hadis, dan setelah masa kemandekan intelektual di dunia Islam.
Berbagai kitab syarah yang merupakan wujud dari kepedulian ulama dalam mengkaji karya-karya ilmiyah ulama masa lalu. Untuk selanjutnya dipahami oleh umat belakangan. Namun kajian ini tidak akan berhenti begitu saja, kajian syarah ini terus membuka peluang bagi ulama untuk menggali terus makna-makna yang terdapat dalam kitab-kitab orisinil masa lalu. Wallahu ‘alam bis-Shawab

DAFTAR PUSTAKA
Nurcholis Madjid, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 278
Syekh Kamil Muhammad Muhammad ‘Uwaidhah, Ibnu Hajar al-Asqalany, (selanjutnya disebut ‘uwaidhah), (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), h. 7
Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1986), h. 154. Lihat juga’Uwaidhah, op.cit., h. 31-32
Muhammad Abu Syuhbah, Kutubus Sittah, Judul Asli: Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihhah al-Sittah, penerjemah Ahmad Ustman, (selanjutnya disebut Abu Syuhbah), (Surabaya: Pustaka Progresif, 1993), h. 56
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalany, Hadyu al-Sari Muqaddimah Fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), h. 5 dst..
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalany, Fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Jilid I dan XV
Imam al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi al-Nawawi, (Beirut: Dar Fikr, 1981), h. ه
Abdullah Mustafa al-Maraghi, Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, Judul Asli: Fath al-Mubin fi Thabaqat al-Ushuliyin, penerjemah Husein Muhammad, (Yogyakarta: LKPSMO31, 2001), h. 209
Al-Zarqani, Syarah ‘Ala Mawahib ad-Diniyah, (Beirut: Dar Kutub Ilmiyah, 1996), h. 8. Lihat juga
Abu Abdillah Muhammad bin ‘Abdul al-Baqi bin Yusuf al-Zarqani, Syarah Muwatha Imam Malik, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Mushtafa al-Babi al-Halabi, 1961)
Hasyim Ahmad Umar, al-Sunnah al-Nabawiyah wa ‘Ulumuha., (Kairo: Maktabah Gharib, t.th.), h. 221

AL-GAZÂLÎ, IBNU RUSYD DAN PENGARUH AVEROISM DI EROPAH

A. Pendahuluan
Al-Gazâlî tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan Islam. Setiap upaya mengenal tokoh-tokoh muslim, sebenarnya adalah upaya untuk mengenal Islam itu sendiri. Hingga sekarang dunia Islam belum mempunyai tokoh agama yang menyamai al-Gazâlî dalam hal keagungan dan keharuman namanya. Ia dikenal sebagai ¦ujjat al-Isl±m karena pengetahuannya yang luas dan tulisan-tulisannya yang mudah difahami oleh seluruh tingkatan umat.
Al-Gazâlî adalah orang pertama yang mempelajari filsafat serta sanggup mengkritiknya. Hasil peninjauannya terhadap filsafat ini terlihat dalam karyanya yaitu Maqasid al-Fasasifah dan Thahafut al-Falasifah. Dalam filsafat Islam, menurut Ibnu Khaldun al-Gazâlî adalah orang yang pertama pula dalam jajaran pemikir Islam yang menggunakan metode baru (Thariqat al-Khalaf) disamping metode klasik (Thariqat al-Salaf).
Di dalam perkembangan pemikiran filsafat al-Gazâlî ini dijadikan sebagai patokan dalam membagi periodesasi, karena al-Gazâlî mengemukakan kecaman terhadap para filosof sebelumnya seperti, al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, dan Ibnu Sina yang hidup sebelumnya. Para filosof ini bercirikan mencoba mempertemukan agama dengan filsafat, akal diberi otoritas yang tinggi dalam usaha menemukan hakekat kebenaran, dan menghadirkan sebuah teori yang khas dan murni bernafaskan Islam yaitu teori kenabian.
Pada periode al-Gazâlî ini terjadi kegoncangan terhadap pemikiran filsafat yang disebabkan kritik al-Gazâlî terhadap filsafat. Pemikiran al-Gazâlî akhirnya berkembang di dunia Islam dan menguasai sebagian besar alam fikiran umat Islam. pengaruh filsafat metafisika Yunani yang sangat berkembang di zaman al-Kindi,al-Farabi, dan Ibnu Sina segera surut. Namun ini hanya terjadi di bagian timur dunia Islam.
Di bagian Barat (Andalusia dan Spanyol) malahan sebaliknya, perkembangan filsafat mencapai puncaknya setelah masa al-Gazâlî. Di sini lahirlah filosof seperti Ibnu Bajah, Ibnu Thufail, dan Ibnu Rusyd. Di antara tiga tokoh ini Ibnu Rusyd-lah filosof Islam yang terkenal dan paling berpengaruh di dunia Barat (Eropah). Ibnu Rusyd mengajukan jawaban-jawaban bagi kritik-kritik al-Gazâlî terhadap para filosof sebelumnya. Hal ini terlihat dala karyanya setelah 85 tahun al-Gazâlî meninggal dunia.
Untuk lebih jelasnya mengenai kritik al-Gazâlî terhadap para filosof, jawaban Ibnu Rusyd terhadap kritik al-Gazâlî , dan bagaimana pengaruh pemikiran Ibnu Rusyd di Eropah, akan diuraikan lebih lanjut.
B. Al-Gazâlî dan Kritiknya Terhadap Para Filosof
Nama lengkap al-Gazâlî adalah, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Gazâlî al-Thusi. Al-Gazâlî lahir pada tahun 450 H/1058 M di Thus, sepanjang hidupnya ia mengembara seperti ke Khurasan, Iran, (tempat kelahiran dan pendidikan dasarnya ditempuh), Bagdad, Irak (adalah di mana al-Gazâlî mencapai puncak akademisnya), Damaskus, al-Quds, Mekah, Medinah dan beberapa kota kecil lainnya. Pengembaraan yang dilakukan al-Gazâlî ke beberapa daerah ini merupakan faktor penting dalam melihat corak pemikirannya. Al-Gazâlî wafat di Thus tempat di mana ia dilahirkan pada Tahun 505 H/ 1111 H.
Perjalanan intelektual al-Gazâlî di mulai di kota kelahirannya sendiri. Ia memasuki tahap awal belajar dengan penerima wasiat ayahnya. Setelah tidak mampu lagi si penerima wasiat ini untuk menggembleng al-Gazâlî dan saudaranya, maka mereka berdua diserahkan ke sebuah madrasah yang dapat memberikan pendidikan dan kehidupan sekaligus. Di antara guru yang membimbingnya di madrasah Thus ini adalah Ahmad ibn Muhammad al-Radzaqani yang mengajarkannya al-Qur’an, Hadis, serta ilmu fikih. Al-Gazâlî belajar dengan ar-Radzaqani hanya sebentar, kemudian ia berguru lagi kepada Abu al-Qasim al-Isma’ili dalam bidang fikih. Pertemuan ini-pun tidak berlangsung lama pula, kemudian al-Gazâlî kembali ke kampungnya di Thus.
Selanjutnya al-Gazâlî mendalami ilmu pengetahuan ke sekolah tinggi Nizamiyah Nisapur. Di sinilah al-Gazâlî bertemu dan berguru dengan Imam al-Juwaini, seorang tokoh Asy’ariah yang menjadi Rektor Universitas Nizhamiyah, yang terkenal dengan nama Imam al-Haramain. Al-Juwaini mendorong al-Gazâlî untuk menekuni ilmu kalam, filsafat dan logika. Selama di Nisapur ini lengkaplah ilmu yang diterima al-Gazâlî, sehingga saat itu al-Gazâlî nampak sebagai figur intelektual yang menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Untuk itu ketika usianya dua puluh lima tahun al-Gazâlî dipercayakan untuk menjadi dosen
Al-Juwaini memberikan konstribusi terbesar terhadap al-Gazâlî dalam memfilsafatkan kalam Asy’ariyah. Namun sebagaimana yang diterangkan oleh Harun Nasution, dalam memahami teologi Asy’ari, al-Gazâlî lebih Asy’ariah dari pada gurunya sendiri.
Berbagai kritikan yang dilontarkan kepada para filosof yang dilakukan oleh al-Gazâlî, khususnya kepada al-Farabi dan Ibnu Sina sebenarnya sudah ada sebelum al-Gazâlî. Akan tetapi itu hanya dilakukan atas dasar kesalehan dan kebencian terhadap unsur-unsur luar dari Islam. Akan tetapi, al-Gazâlî yang senafas dengan sangat jelas mengemukakan kritikan-kritikannya terhadap para filosof seperti terlihat dalam karangannya Tahafut al-Falasifah yang mengemukakan kritik-kritik keras kepada pemikiran para filosof.
Berangkat dari karya nya, al-Gazâlî mengelompokkan aliran dan sistem filsafat yang banyak kepada tiga kelompok besar; golongan Materialis, kaum Naturalis dan Teis. Kemudian al-Gazâlî mengatakan bahwa filsafat Aristoteles yang dikembangkan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina terbagai kepada tiga kelompok :
1. Filsafatnya yang tidak perlu disangkal dengan arti dapat diterima,
2. Filsafatnya yang harus dipandang bid`ah (heterodoksi),
3. Filsafatnya yang harus dipandang kafir.
Untuk lebih jelasnya pengelompokkan di atas, al-Gazâlî membagi ilmu-ilmu filsafat kepada eman bidang; ilmu matematika, logika, fisika, politik, etika, dan metafisika (ketuhanan). Maka selain bidang ilmu ketuhanan, oleh al-Gazâlî, ilmu-ilmu tersebut dapat diterima, karena tidak ada bertentangan dengan syari’at Islam, kendatipun ada negatifnya yang terkandung dalam ilmu-ilmu tersebut. Adapun bidang ketuhanan, sebagaimana yang dijabarkannya dalam kitab Tahâfut al-Falâsifah, al-Gazâlî memandang para filosof sebagai ahl al-bid’ah, dan kafir. Adapun yang dimaksud oleh al-Gazâlî tersebut mencakup ke dalam dua puluh masalah :
1. Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini a©±ly,
2. Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini kekal,
3. Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah-lah Pencipta alam semesta dan sesungguhnya alam ini diciptaknnya,
4. Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta,
5. Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahilnya ada dua Tuhan,
6. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat,
7. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi kepada al-Jins dan al-Fa¡l (differentia),
8. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi Ba¡i¯ (simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat),
9. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah tidak ber-jism,
10. Menjelaskan pernyataan mereka tentang ad-dahr (kekal dalam arti tidak bemula dan tidak berakhir),
11. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selainnya,
12. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya,
13. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui yang ju©’iyyât,
14. Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dalam kemauan-Nya,
15. Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet,
16. Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang ju©’iyyât,
17. Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil sesuatu yang terjadi di luar hukum alam,
18. Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauh±r (substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh,
19. Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang kemustahilan fana (lenyap) jiwa manusia,
20. Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkit dan yang akan menerima kesenangan dalam sorga dan kepedihan dalam neraka hanya roh saja.
Tiga dari dua puluh masalah di atas, menurut al-Gaz±l³, membuat filosof menjadi kafir, yaitu:
1. Alam dan semua substansi qad³m,
2. Allah tidak mengetahui yang ju©’iyyât, perincian yang terjadi di alam,
3. Kebangkitan di akhirat hanya rohani saja.
Menurut al-Gazâlî kepercayaan dalam tiga masalah ini bertentangan dengan kepercayaan umat Islam dan dipandang mendustakan rasul Allah. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan :
1. Tentang kadimnya alam (alam tidak bermula).
Filosof berpendapat bahwa alam ini qadim maksudnya wujud alam ini bersamaan dengan wujudnya Allah, kekadiman Allah dari alam hanya dari segi zat (taquddum zaty) dan tidak dari segi zaman (taqaddum zamany), seperti keterdahuluan sebab dari akibat. Al-Gazâlî mengemukakan argumen yang dikemukakan para filosof:
a. Mustahil timbulnya yang baharu dari yang qadim. Jika Allah qadim sudah ada, sedangkan alam belum ada. kenapa alam baru ada sekarang tidak sebelumnya? Jika dikatakan Allah berkehendak mencipta, kenapa baru kemudian berkehendak, apakah kehendak tersebut datang dari Zat-Nya atau dari yang lain? (sirajuddin. Filsafat dari al-Gazâlî h: 10-11
b. Menurut al-Gazâlî, pendapat ini membawa kepada keyakinan akan adanya yang qadim selain Tuhan atau berarti banyak yang qadim, sedang dalam keyakinan Islam yang qadim itu hanya satu, yaitu Tuhan. Paham bahwa ada yang qadim selain Tuhan adalah syirik. Menurutnya, yang qadim itu adalah sesuatu yang sudah ada sejak azali, yang berwujud tanpa sebab. Mengakui alam ini qadim berarti mengingkari Tuhan sebagai Pencipta, dan ini sama dengan kufur. (ensiklopedi: 25)
Al-Gazâlî menjawab argumen filosof menurutnya tidak ada halangan apa pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya yang kadim pada waktu diadakan_nya. sedangkan ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum dikehendaki-Nya. iradah menurut al-Gazâlî adalah suatu sifat bagi Allah yang berfungsi membedakan sesuatu dari lainya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja sifat qudrah. Akan tetapi karena sifat qudrah antara emncipta dan tidaknya sama kedudukannya, karenanya harus ada suatu sifat yang khusus yang membedakannya, yaitu sifat iradah. (siraj: ibid: 11)
c. Kekadiman Allah dari alam hanya dari segi zat, sedangkan dari segi zaman sama, karena jika tidak demikian, mesti ada zaman sebelum alam diciptakan. Jika tidak demikian berarti Allah mendahului zaman terbatas pada satu sisi dan tidak terbatas pada sisi awal. Ini berarti sebelum ada zaman sudah ada zaman yang tidak terbatas akhirnya. Hal ini paradok justru itu mustahil zaman ukuran gerak baharu dan harus kadim.
Ini dikritik oleh al-Gazâlî, menurutnya memang wujud Allah lebih dahulu dari wujud alam dan zaman. Zaman baharu dan diciptakan, sebelum diciptakan zaman belum ada zaman. Karena zaman adanya setelah adanya alam, sebab zaman adalah ukuran waktu yang terjadi di alam. (tahafut h. 110-111)
c. Alam sebelum wujudnya merupakan suatu yang mungkin, kemungkinan ini tidak ada awalnya, dengan arti selalu abadi.
Al-Gazâlî menjawab argumentasi ini, menurutnya alam senantiasa mungkin terjadinya, dan setiap saat dapat digambarkan terjadinya. Jika dikatakan bahwa alam ini ada selama-lamanya (kadim) tentu ia tidak baharu. Kenyataan ini jelas bertentangan dengan kenyataan dan tidak serasi dengan teori kemungkinan. (tahafut: 118)
Dari keterangan di atas terlihat bahwa kritikan al-Gazâlî merupakan usahanya untuk membuktikan bahwa Allah adalah zat yang Maha kadim, sehingga memungkinkan orang untuk lebih mudah mencerna bahwa Allah-lah yang kadim. Jadi tidak mengherankan kalau di dalam ilmu kalam syahadat La ilaha illaallah bergeser menjadi la qadima illallah. Hal ini disebabkan faham adanya yang qadim selain Allah bisa membawa kepada banyaknya qadim, banyaknya Tuhan, yaitu faham syirik sedang syirik adalah dosa besar yang tidak diampuni Allah, atau faham atheis yang menyatakan alam yang qadim tida perlu pada pencipta.
2. Tentang pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.
Menurut al-Gazâlî Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat. Ibnu Sina mengatakan bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang kulli. Alasannya jika Allah mengetahui rincian perubahan di alam ini, akan membawa perubahan kepada zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan membawa perubahan pada yang punya ilmu. Ini mustahil bagi Allah. (tahafut: 206-207)
Al-Gazâlî membantah pendapat ini, menurutnya pendapat tersebut akan menyesatkan umat Islam karena paham ini membawa kepada pengingkaran sifat kemahatahuan Tuhan. Tuhan Maha Kuasa dan Maha Tahu. Tuhan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam sampai kepada perincian yang sekecil-kecilnya, tak satu pun yang luput dari pengetahuan Tuhan. (ansiklopedi: 25)
Al-Gazâlî mengatakan bahwa pendapat tersebut merupakan kesalahan yang fatal. Selanjutnya ia mengatakan bahwa perubahan pada objek ilmu tidak akan membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu merupakan idhafah (suatu rangkaian yang berhubungan dengan zat). Jika ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dengan arti keadaan orang yang punya ilmu tidak berubah. (tahafut: 213)
Sebagai pembuktian al-Gazâlî mengemukakan ayat al-Qur’an surat Yunus ayat 61:
Apabila diperhatikan al-Gazâlî dan para filosof sebenarnya sepakat bahwa zat dan ilmu Allah tidak mungkin berubah. Perbedaan pendapat mereka adalah pada hal bagaimana Allah mengetahui yang parsial. Ini disebabkan cara pandang mereka dalam menetapkan sifat dan zat Allah.
3. Tentang tidak adanya pembangkitan jasmani.
Para filosof berpendapat bahwa yang abadi hanya roh (jiwa), sedangkan jasmani akan hancur dan tidak kekal. Karena itu, pembangkitan nanti pada prinsipnya yang esensi dalam diri manusia adalah jiwanya, bukan jasmaninya. (ensiklopedi:25) Jadi yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Kendatipun ada gambaran syarak berupa materi di akhirat, seperti sorga dan neraka, semua itu pada dasarnya simbol-simbol untuk memudahkan pemahaman orang awam,. Padahal di akhirat terlalu suci dari apa yang digambarkan oleh orang awam. (tahafut: 284)
Al-Ghazali pada dasarnya tidak menolak adanya kelezatan di akhirat yang lebih tinggi dari di dunia. Menurut al-Gazâlî tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. (ibid: 289-290)
Di sini terlihat perbedaan pemahaman antara filosof sebelumnya dengan al-Gazâlî. Para filosof menganggap mustahil mengembalikan rohani kepada jasad semula. Kembalinya roh kepada jasad menurut mereka merupakan penciptaan yang baru yang tidak sama dengan yang lalu. Al-Gazâlî mengatakan bahwa kekalnya jiwa setelah mati memang tidak bertentangan dengan syara’, akan tetapi kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan syara’, dengan arti jiwa dikembalikan kepada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain atau tubuh baru dijadikan. (tahafut: 287-290)
Jadi pembalasan ukhrawi menuntut pembangkitan jasmani. Ayat-ayat al-Qur'an banyak menyebut soal pembangkitan jasmani dengan gambaran yang bersifat materil, sehingga meyakini tidak adanya pembangkitan jasmani berarti menolak ayat-ayat yang menyatakan adanya. Hal ini dibuktikan dengan ayat al-Qur’an surat Yasin: 78-79:
Pemikiran-pemikiran yang dilontarkan ini membuat al-Gazâlî mengkafirkan orang-orang yang menganut faham-faham filsafat di atas. Dan hal ini kelihatannya yang menyebabkan surutnya perkembangan filsafat di dunia timur. Orang-orang enggan untuk mempelajari filsafat, karena filsafat dianggap mengacaukan keyakinan bahkan menyesatkan. Namun perkembangan filsafat itu tidak berhenti sampai di situ karena di belahan Barat filsafat malah mengalami perkembangan.
C. Ibnu Rusyd dan Kritiknya Terhadap Al-Gazâlî
Ibnu Rusyd adalah filosof Muslim yang, terakhir muncul di Dunia Islam Belahan Barat. Nama lengkapnya adalah Abu al-Walid Muhammad Ibnu Rusyd. Ia lahir di Kordoba pada tahun 520 H/1126 M, dari keluarga hakim-hakirn, dan wafat di Marakesy (Marokko) pada tahun 595 H/1198 M. Ia dikuburkan di Marakesy, tapi tiga bulan kemudian jenazahnya dipindahkan dan dikuburkan di Kordoba. (abdul aziz: )
Setelah menguasai fikih, ilmu Kalam, dan sastra Arab dengan baik, Ibnu Rusyd, menekuni matematika, fisika, astronom, kedokteran, logika, dan falsafat. la berhasil menjadi ulama dan sekaligus filosof yang sulit ditandingi. Setelah diperkenalkan oleh Ibnu Thufail kepada sultan Daulat Muwahhidin, Sultan Abu Ya'qub Yusuf pada tahun 564 H/1169 M, Ibnu Rusyd diminta oleh sultan itu untuk menulis ulasan atau komentar atas karangan-karangan Aristoteles. Sejak tahun itu ia juga, dipercaya menjadi hakim di Seville, dan kemudian sejak tahun 566 H/1171 M ia menjadi hakim kepala di Kordoba. Selanjutnya, sejak tahun 577 H/1182 M ia dipercaya, menjadi dokter istana di Istana Sultan Abu Ya'qub Yusuf dan penggantinya, Sultan Abu Yusuf Ya'qub al-Manshur, di Marakesy, Marokko. Setelah mengalami fitnahan dan diasingkan ke Lucena, dekat Kordoba, selama, satu tahun (pada 592 H/1195 M), ia kembali menjadi dokter istana dan dua tahun kemudian ia wafat dalam usia 75 (H)/73 (M) tahun.
Kehebatan Ibnu Rusyd dapat dilihat melalui karya tulisnya. Ia menulis Bidayat al-Mujtahid, sebuah karya penting, berupa fiqh perbandingan, yang dipakai secara luas oleh para fukaha sebagai buku rujukan. Ia menulis Kulliyat al-Thibb, yang membicarakan garis-garis besar ilmu kedokteran dan menjadi pegangan para mahasiswa kedokteran di Eropa selama berabad abad di samping karya tulis Ibnu Sina, Al-Qanun. Karyatulisnya yang merupakan ulasan atas karya tulis Alistoteles, menjelna menjadi tiga buku ulasan, yaitu: AI-Asghar (Yang lebih Kecil), Al-Awsath (Yang Lebih Sedang), dan Al-Akbar (Yang Lebih Besar). Untuk menangkis buku Tahafut al-Falasifah (Kacaunya Kaum Filosof) karangan AI-Ghazali, ia menulis buku dengan judul Tahafut al-Tahafut (Kacaunya buku Tahafut al-Gazâlî), dan untuk menunjukkan hubungan yang serasi antara agama (wahyu) dan falsafat (akal), ia menulis Fashl al-Maqal fi Mabayn al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal (Kata Putus tentang Hubungan antara Falsafat dan Syariat). Ia juga menulis buku Al-Kasyf an-Manahil al-Adillah fi Aqa'id al-Millah (Menyingkap metode-metode Pembuktian Akidah Agarna) dan sejumlah buku lainnya. Disebutkan bahwa ia telah menghabiskan seratus ribu lernbar kertas untuk menampung kartatulisnya.
Dalam rangka membela falsafat dan para filosof muslim dari serangan para ulama, terutama serangan dari al-Gazâlî , Ibnu Rusyd antara lain menegaskan bahwa antara agama (Islam) dan falsafat tidak ada pertentangan. Falsafat pada hakikatnya tidaklah lain dari berfikir tentang semua yang dijumpai untuk mengetahui pencipta/penyebab segala yang ada. Al-Qur’an juga menyuruh manusia berfikir tentang alam yang tampak. ini dalam rangka mengetahui Tuhan. Dengan demikian, sebenarnya AI-Quran menyuruh umat manusia untuk melakukan aktixitas falsafat dan dapat disimpulkan berdasarkan perintah al-Qur’an itu bahwa kaum muslimin wajib melakukan aktivitas falsafat itu atau paling kurang dianjurkan berfalsafat atau mempelajari falsafat, dah bukan dilarang atau diharamkan. Menurut Ibnu Rusyd, bila ada teks wahyu vang arti lahiriahnya bertentangan dengan pendapat akal, maka teks wahyu itu haruslah ditakwilkan atau ditafsirkan sedemikian rupa sehingga menjadi sesuai dengan pendapat akal.
1. Qadimnya Alam
Al-Gazâlî yang memegang keyakinan kaum teolog mengatakan bahwa alam diciptakan dari tiada menjadi. Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya pencipta. Yang ada tidak butuh kepada mengadakan. Sedangkan menurut filosof alam ini kadim, dengan arti alam ini diciptakan dari sesuatu yang sudah ada.(siraj: 76)
Dalam rangka menangkis serangan AI-Ghazali terhadap paham qadimnya alam, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham qadimnya alam itu tidaklah bertentangan dengan ajaran al-Qur’an, bahkan paham yang sebaliknya, yaitu paham para teolog yang menyatakan bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada, justru tidak mempunyai dasar dalam al-Qur’an. Menurut Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat AI-Quran (11:7; 41:11; 21:30) dapat diambil kesimpulan bahwa alam diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada (al'-adam), tapi dari sesuatu yang telah ada. Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa paham qadimnya alam tidaklah mesti membawa kepada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau tidak diciptakan oleh Tuhan. Bagi para filosof muslim, alam itu dikatakan qadim (ada sejak qidam/azali) justru diciptakan oleh Tuhan yang qadim, sejak qidaml/azali. Karena diciptakan sejak qidam/azali, maka akibatnya tentu alam itu menjadi qadim pula. Bagaimanapun, Tuhan dan alam, kendati dari segi waktu sama-sama qadim, tetap tidak. sekufu/sederajat karena Tuhan adalah qadim yang mencipta, sedang alam adalah qadim yang dicipta atau ciptaan yang qadim. (aziz dahlan: 115)
Ibnu mengemukakan bahwa al-Gazâlî keliru dalam memahami pendapat filosof tentang kadimnya alam. Al-Gazâlî menuduh para filosof menyamakan kadimnya dengan kadimnya Allah, sedangkan dalam pemahaman filosof qadimnya alam adalah sesuatu yang telah ada berubah menjadi ada dalam bentuk yang lain. Penciptaan dari tiada menurut mereka sesuatu yang mustahil. (siraj: 77) Untuk mendukung pendapatnya, Ibnu Rusyd mengemukakan sejumlah ayat al-Qur’an, seperti surat al-Anbiya’: 30:
Jadi perbedaan pendapat ini kelihatannya berpatokan kepada perbedaan pemahaman kaum teolog dan kaum filosof dalam memberikan arti alihdast dam qadim. Bagi kaum teolog al-Ihdats berati menciptakan dari tiada, sedangkan bagi kaum filosof kata itu berarti mewjudkan dari yang ada menjadi ada dalam bentuk lain. (tahafut tahafut: 362)Demikian pula dalam mengartikan qadim. Bagi kaum teolog, qadim berarti sesuatu yang mempunyai wujud tanpa sebab sedangkan bagi para filosof , qadim berarti sesuatu yang kejadiannya dalam keadaan terus menerus tanpa awal dan tanpa akhir. (Tahafut tahafut: 272)
Kelihatan perbedaan hanya pada masalah perbedaan pemahaman antara filosof dan al-Gazâlî sendiri dalam memahami qadim dan al-Ihdat. Pada dasarnya pendapat mereka tentang penciptaan alam ini tidak berbeda. Jadi sebenarnya tidak perlu ada istilah mengkafirkan.
2. Pengetahuan Tuhan
Menurut al-Gazâlî para filosof berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui yang parsial di alam. (ibnu ruysd: tahafut: 711) Dalam rangka menangkis serangan al-Gazâlî terhadap para filosof Muslim. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa para filosof Muslim tidaklah mempersoalkan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’’i (individual/perincian) yang terdapat/terjadi dalam alam semesta ini atau tidak mengetahuinya. Seperti halnya setiap ulama Islam, para filosof Muslim juga berpandangan bahwa Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i itu. Yang mereka persoalan, kata Ibnu Rusyd, adalah bagaimana caranya Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i itu. Menurut Ibnu Rusyd, para filosof Muslim berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan tentang hal-hal yang bersifat juz'i itu tidaklah seperti pengetahuan manusia tentang hal-hal demikian karena pengetahuan manusia mengambil bentuk efek sedang pengetahuan Tuhan merupakan sebab bagi munculnya kemudian hal-hal yang bersifat juz'i itu. Selain itu, ketidaksamaan tersebut tersebut adalah jelas karena pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yakni semenjak azali Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i itu, pengetahuan manusia bersifat baharu, bukan qadim, yakni pada mulanya rnanusia tidak. memiliki pengetahuan sama sekali, tapi kemudian secara berangsur-angsur memperoleh pengetahuan setelah bagian demi bagian dari alam semesta itu diperhatikan secara seksama. (aziz dahlan : 117)
3. Gambaran Akhirat
menurut Ibnu sanggahan al-Gazâlî terhadap para filosof tentang kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada- tidak benar. Mereka tidak ada mengatakan demikian. (ibnu tahafut: 711) menurut Harun Nasution para filosof tidak ada menyebut-nyebut hal itu. (simposium: h: 7) al-Farabi dan Ibnu Sina tidak menegaskan pendapat mereka yang sebenarnya mengenai masalah ini.
Semua agama menurut Ibnu Rusy, mengakui adanya hidup kedua di akhirat, sungguhpun ada perbedaan pendapat mengenai bentuknya. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan rohani saja dan ada yang mengatakan rohani dan jasmani. Sesuai dengan hadis “Di sana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan tak pernah terlintas pada fikiran”. Kehidupan manusia di akhirat adalah lain dan lebih dari kehidupan di dunia. namun yang jelas kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan di dunia ini. (tahafut ibn: 866)
Sungguhpun demikian kepada orang awam, karena mereka tidak sanggup menangkap hal-hal yang abstrak, demikian Ibnu Rusyd menjelaskan, lebih baik hidup di akhirat digambarkan dalam bentuk jasmani.(HN: mistisisme h: 47)
Juga dalam rangka menangkis serangan al-Gazâlî, Ibnu Rusyd menyebutkan bahwa terdapat pertentangan dalam tulisan al-Gazâlî mengenai kehidupan manusia kelak di hari akhirat. Kata Ibnu Rusyd. Al-Gazâlî dalam bukunya Tahifut al-Falisifah menyatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa kebangkitan di hari akhirat hanya bersifat rohani semata; akan tetapi, dalam bukunya yang lain, kata Ibnu Rusyd, al-Gazâlî menyatakan bahwa kaum sufi berpendapat bahwa yang akan terjadi di hari akhirat adalah kebangkitan rohani. Jadi, kata Ibn Rusyd, tidaklah ada sebenarnya ijmak (konsensus) para ulama tentang, kebangkitan jasmani di hari akhirat, dan karena itu, paham yang menyatakan kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani saja, tidak dapat dikafirkan dengan alasan adanya ijmak. (tahafut ibn: 873-874) (Aziz dahlan: 115-116)
Dari pemaparan di atas terlihat bahwa pertentangan antara al-Gazâlî dan para filosof termasuk di dalam Ibnu Rusy tidak jauh berkisar tentang interpretasi ajaran dasar Islam dan bukan berkisar tentang diterima atau tidaknya ajaran tersebut. kesemuanya mengakui bahwa Tuhan sebagai pencipta dan alam sebagai yang diciptakan. Apakah tuhan mencipta semenjak azaly sehingga alam bersifat qadim, atau tuhan mencipta tidak semenjak azaly sehingga alam bersifat baharu. Kemudian tentang Tuhan pengetahuan yang juz’iyat , yang dipersoalkan kaum filosof adalah cara Tuhan mengetahui, menurut mereka Tuhan mengetahui juz’I dengan jalan kulli. Terakhir tentang kebangkitan jasmani, baik kaum filosof atau al-Gazâlî sendiri mengakui adanya hari perhitungan, namun apakah yang menghadapinya roh atau tubuh, ataukah hanya roh saja.
Terlepas dari masalah-masalah yang diperdebatkan tersebut, terlihat bahwa hal ini disebabkan tidak adanya nash yang jelas yang menerangkan masalah tersebut. sehingga kekuatan akal menjadi sangat diperlukan dalam masalah ini.
D. Averoisme dan Pengaruhnya di Eropa
Prestasi filsafat Ibnu Rusyd merupakan puncak dari kejayaan gelombang pemikiran filsafat di dunia Islam. seperti sebelumnya dikembangkan oleh al-farabi dan Ibnu Sina. Filsafat ini sangat mengemparkan dan mempengaruhi alam fikiran dunia beradab pada masa itu. Pemikiran Ibnu tidak berkembang di dunia Islam pada waktu itu karena Islam dibentengi oleh pemikiran Al-Asy’ari dan al-Gazâlî. (Hasbullah Bakry: 96) Ada beberapa faktor yang menimbulkan perhatian Barat kepada filsafat Ibn Rusyd:
a. Frederik II sebagai pecinta ilmu pengetahuan dan filsafat lebih banyak tertarik kepada komentar-komentar Ibnu Rusyd terhadap Aristoteles.
b. Orang-orang Yahudi, penganut filsafat Ibnu Rusyd berusaha menerjemahkan karya Ibnu Rusyd ke bahasa Ibrani dan latin. Kemudian mereka menjadi perantara filsafat Barat ke Kristen.
c. Sebagian pengkaji filsafat memandang bahwa untuk memahami filsafat Aristoteles, sebaiknya membaca karya Ibnu Rusyd. (Siraj: 103)
Inilah yang menyebabkan Eropah tidak sanggup mempertahankan diri dari pengaruh filsafat Ibnu Rusyd ini. Pengaruh Ibnu Rusyd ke Eropa bukan secara langsung tetapi melalui murid-muridnya dari Eropa yang belajar ke Spanyol. Mereka dikenal dengan averoisme. (Hasbullah Bakry: 96) Jadi, Averoisme merupakan suatu aliran filsafat yang azas dasarnya umumnya mengikuti ajaran Ibnu Rusyd. (Hasbullah Bakry: 125).
Sebelum averoisme muncul, Eropa kosong dengan ilmu pengetahuan, berfikir sempit dan tidak menghargai akal. Bagi mereka satu-satunya sumber kebenaran adalah agama Kristen, apa saja yang tidak sesuai dengan dogma Kristen dianggap salah. Setelah ajaran Averoisme berkembang, eropah mulai menghargai akal. (siraj: 104)
Kemuncula avaroieeme ini mendorong gerakan penerjemahan terhadap karangan-karangan filsafat telah merangsang bagi munculnya para peminat ilmu, dan falsafat dalam jumlah yang semakin lama semakin banyak. Baik di kalangan orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen, baik yang bemukim di Andalusia dan Sisilia itu, maupun di Itali, Prancis, Inggris, dan lain-lain. Para pencari ilmu, dan falsafat dari banyak kota di Eropa, berdatangan ke Andalusia atau Sisilia, baik ketika kedua wilayah itu sedang berada di tangan penguasa Muslim maupun setelah direbut oleh penguasa Kristen, dan mereka bangga bila mampu berbicara dan mampu membaca buku-buku dalarn Bahasa Arab, sebagaimana bangganya kaum terpelajar dari Asia dan Afrika di masa modern ini bila mampu berbicara dan mampu membaca buku dalam Bahasa Inggris, Prancis, Yunani, atau bahasa dari negara maju lainnya. (aziz dahlan: 117)
Pengkajian yang sangat bergairah terhadap ilmu-ilmu dan falsafat yang dihasilkan Dunia Islam berlangsung di Palemo, Sisilia, dan di Napoli, Itali karena mendapat dukungan dan perlindungan kuat dari Kaisar Frederik II (1212-1250 11). Di antara karya-karya tulis yang dihasilkan Dunia Islam, karya-karya tulis Ibnu Rusyd mendapat penghargaan paling tinggi di kedua pusat pengkajian ini. Kaisar Frederik II memberi fasilitas yang banyak kepada Michael Scot (1175-1234 M) untuk menyalin dan menerjemahkan karya-karya Ibnu Rusyd, sedang Hemanus Memanus (pada masa 1240-1260 M) tercatat menerjemahkan karya AI-Farabi.
Aliran Averoisme selalu menisbahkan paham atau gerakan mereka kepada nama Ibnu Rusyd. Siger Brabant (pada masa dewasanya: 1266-1283 X1) dikenal sebagai pernimpin Averoisme Latin. Penghargaan mereka kepada Ibnu Ruysd sangat tinggi. Komentar-komentar atau pernahaman Ibnu Rusyd atas karya Aristoteles mereka pandang sebagai paling tepat/benar dibandingkan dengan komentar-komentar yang dihasilkan oleh penulis-penulis lain sebelumnya.(abdul aziz: 118-119) Pengkajian mereka kepada bidang filsafat pada akhirnya menghasilkan pandangan-pandangan yang sebenarnya tidak pantas lagi mereka nisbahkan kepada Ibm Rusyd, tapi mereka masih menisbahkannya kepada Ibm Rusyd, seperti pandangan bahwa akallah satu-satunya sumber kebenaran, sedang agama hanya membawa kepalsuan, dan pandangan bahwa tidak ada imortalitas (keabadian) jiwa secara, personal. (ibid)
Semangat Averoisine yang anti-agama itu mendapat kutukan Gereja. Kaisar Frederik II yang mendukung pengkajian ilmu falsafat itu juga mendapat kutukan dari Paus Innocent HI 1198-1216 'M) dan juga dad Paus Honodus M (1216-1227 M) karena aktivitas pengkajian yang didukung kaisar itu dipandang membahayakan Gereja. Kaisar Frederik II itu, karena merasa cukup kuat memandang remeh dan mengabaikan kutukan tersebut.
Dalam rangka upaya untuk melawan pandangan-pandangan yang dikembangkan kaum Averois, Paus Innocent III melaksanakan inkuisisi dengan tujuan menghukum siapa saja yang diketahui memiliki pandangan yang berbeda/bertentangan dengan faham Gereja. Para pemuka gereja juga berupaya mencari bantuan dari pemikiran-pemikiran filosof Muslim dalam rangka lelawan pikiran-pikiran yang dikembangkan oleh kalangan Averois. Di antara mereka yang berupaya melawan Averoisme adalah William d'Auvergne (Uskup Paris; w. 1249 M), Ubertus Magnus (1206-1280 M), dan Thomas Aquinas (1225 - 1274 M).
Pertarungan antara Gereja dengan kaum terpelajar yang anti-agama semakin lama semakin dimenangkan oleh pihak yang anti-agama. Pusat studi iImu dan falsafat semakin berkembang di banyak kota di Eropa (antara lain di Padua, Salerno, Bologne, Paris, dan Oxford) dan semakin banyak. muncul lingkungan-lingkungan yang bersemangat Averoisme. Di Oxford misalnya Ibnu Rusyd diagungkan sebagai Komentator Agung bagi karya-karya Aristoteles. Di Paris muncul kelompok kaum terpelajar yang skeptis terhadap agama. Ancaman Gereja kepada Kopernikus (1473-1543 M) dan Galilei Galileo (1564-1642) agar meninggalkan teori helio-sentris menjadi contoh yang paling populer di kemudian hari untuk menunjukkan bahwa betapa Gereja di Eropa selama berabad-abad telah menjadi penghalang kemajuan berpikir dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Jadi averoisme yang berkembang di Eropa pada hakekatnya adalah pemahaman terhadap filsafat Aristoteles secara murni dan benar sesuai dengan yang dikemukakan Ibnu Rusyd. Tetapi mereka tidak mengikuti pemikiran filsafat Ibnu Rusyd secara menyeluruh, tetapi hanya sebagai dari pendapat Ibnu Rusyd dengan kedudukan akal.
Nampaknya pandangan asli dari Ibnu Rusyd memang harus dibedakan dengan pandangan-pandangan kaum Averois Eropa. Ibnu Rusyd memang menghargai tinggi martabat dan kemampuan akal manusia, tapi tidak pernah mengingkari kebenaran wahvu (agama). Kaum Averois mengagungkan akal sampai ke taraf mengingkari kebenaran agama (wahyu). Pandangan Ibnu Rusyd yang menghargai tingginya akal, jelas berpengaruh kuat pada kaum Averois. Akan tetapi pandangan Ibnu Rusyd yang menghargai tinggi agama, tidak berpengaruh kuat pada mereka. Boleh jadi hal ini disebabkan oleh sikap konservatif Bapak-Bapak Gereja di masa itu amat keterlaluan dan mungkin juga ditambah dengan pandangan kitab suci yang dipegang Gereja jauh berbeda dengan pandangan kitab suci AI-Quran yang dipegang umat Islam, terhadap aktivitas befikir dan pencarian ilmu.
Bagi filosof Kristen, seperti Thomas Aquinas, pengaruh pandangan Ibnu Rusyd khususnya, dan para filosof Muslim Pada umumnya sebenarnya tidak kecil. Mereka yang membela agama, dalam melawan Averoisme merasa perlu membaca karya-karya Ibnu Rusyd dan para filosof Muslim lainnya karena dalam karya-karya para filosof Muslim itu dapat dijumpai pandangan-pandangan yang sejalan dengan ajaran-ajaran agama dan sekaligus dapat digunakan untuk menandingi atau melawan pikiran-pikiran kaum Averois dan kaum sekuler lainnya di Eropa.
Jadi puncak tradisi filsafat di dunia Barat terjadi ketika Ibn Rusyd tampil sebagai penafsir Aristotelianisme yang paling fasih. Dalam sejarah intelektual umat manusia, tradisi filsafat di belahan Barat ini demikian penting, sebab tradisi ini yang menjembatani alam fikiran Yunani-Arab dengan peradaban Barat modern. Renaissance, yang menandai satu era baru peradaban baru di Barat, memang harus dicari akar-akar intelektualnya pada tradisi filsafat Islam.
Dari sini terlihatlah andil pemikir muslim terutama para filosof dalam memajukan Barat yang sebelumnya terpuruk dalam bidang ilmu pengetahuan serta tunduk di bawah dogma gereja. Dalam perkembangan selanjutnya kajian filsafat marak di belahan Barat, namun akarnya memang senantiasa berada pada penafsiran filosof muslim terhadap filsafat sebelumnya.

DAFTAR BACAAN
M. Chatib Khuzwaini, “Al- Gazâlî dan Tasawufnya". Makalah Simposium tentang al-Gazâlî, BKSPTIS, Jakarta, 26 Januari 1985,
Imam al-Gazâlî Thahafut al-Falasifah, Sulayman Dunya (ed.) (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1962), h. 307
Nurcholish Madjid, “Al- Gazâlî dan Ilmu Kalam". Makalah Simposium tentang al-Gazâlî, BKSPTIS, Jakarta, 26 Januari 1985, h. 8.
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 14-40
Hasbullah Bakry, Di Sekitar Scholastik Islam, (Yogyakarta: t.tp., 1958), h. 81-82
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Filsafat dalam Islam, (Padang: IAIN IB Press, 1999), h. 93
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, terjemahan, Mulyadhi Kartanegara, dengan judul asli : A History of IslamicPhilosophy, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), h. 305
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam I, (Padang: IAIN IB Pres), h. 105,
Sayyed Amir Ali, Api Islam Sejarah Cita-Cita Islam dengan Riwayat Hidup Nabi Muhammad saw., terjemahan, H.B. Jasin, dengan judul asli: The Spirit of Islam (A History of the Evolution and Ideals of Islam), (Jakarta: Bulan Bintang , 1978), h. 674-676
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:UI Press, 1986), h. 72-73
Imam al-Ghazâlî, al-Munqi© min ad-Dhalal, alih Bahasa: Achmad Khudari Soleh, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 27-31
Imam al-Ghazâlî, Tah±fut al-Fal±sifah, Editor Sulaiman Dunya, (Kairo : Dâr al-Ma’ârif,1966), h. 86-87
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Dari al-Gazâlî ke Ibnu Rusyd), ( Padang: IAIn IB Press, 1999), h. 10-11
Depag RI, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1994), h. 25
Ibnu Rusyd, Tah±fut al- Tah±fut, ed. Sulaiman Dunya, (Kairo : Dâr al-Ma’ârif,1964), h. 362
Harun Nasution, “Al- Gazâlî dan Filsafatnya". Makalah Simposium tentang al-Gazâlî, BKSPTIS, Jakarta, 26 Januari 1985, h. 7

HUBUNGAN FILSAFAT ISLAM DENGAN KEILMUAN ISLAM LAINNYA

Di Indonesia sampai hari ini, keilmuan Islam yang dikembangakan masih dipengaruhi oleh adanya dikotomi ilmu yang membagi ilmu umum dan ilmu agama, dengan institusi pendidikan yang berbeda pula, yang satu berada di bawah DEPDIKBUD dan yang satunya berada berada di bawah DEPAG dan celakanya ilmu agamalah yang dianggap ilmu keislaman, sehingga dalam studi keislaman, yang menjadi fokus adalah kajian-kajian ilmu keagamaaan. Padahal, dalam al-Qur’an, semua ilmu (ilmu pasti, ilmu alam, ilmu humaniora, filsafat dan ilmu agama) merupakan satu kesatuan dan hakikatnya adalah penjelmaan dan perpanjangan saja dari ayat-ayat Tuhan sendiri, baik ayat-ayat al-Qur’an yang tertulis dalam kitab al-Qur’an atau yang tersirat dalam alam semesta.
Dalam menghadapi kompleksitas dan pluralitas persoalan kemanusiaan dewasa ini, maka diperlukan suatu integrasi (kesatuan/tauhid) ilum-ilmu untuk medekati dan memecahkan persoalan tersebut, suatu pendekatan yang disebut sebagai multi disciplineapproach, yang bisanya adalah filsafat.
Dan jika dilahat dari adanya kecendrungan makin kompleknya persoalan yang dihadapi manusia, seperti keterbelakangan dan kemiskinan, yang mana hal itu tidak mungkin dipecahkan dengan pendekatan tunggal saja. Maka mau tidak mau, berkerja sama berbagai ilmu itu mutlak diperlukan melalui berbagaio kerja sama ilmuan yang pada hakekatnya sangat dimungkimkan lahirnya integrasi ilmu, baik dalam sistem maupun dalam metodologinya, tampa menapikan dan membatalkan adanya spesialisasi ilmu. Apalagi jika dilihat pada datarean metrafisikanya, karena dalam pandangan tauhid, pada hakekatnya ilmu-ilmu itu, merupakan penjelmaan dialegtis dari ayat-ayat tuhan sendiri.
Dan oleh karena itu tidak;lah aneh kalau filsafat tersebut mencakup juga lapangan-lapangan ilmu keislaman lain, dan mempengaeruhi pula pembatasan-pembatasannya, apalgai penyelelidikan keilmuan pada waktu itu banyak bersifat ensiklopedis yang serba meliputi. Kita tisak akan mempunyai gambaran yang lengkap tentang kegiatran filsafat dalam dunia Islam, kalau kita membatasi diri kepada ahsil karya filosof-filosof islam saja, atau mereka yamng terkenal dengan sebutan ”filosof peripatetik”, akan tetrapiu harus memperluasnya sehingga mencakup pembahasan ilmu kalam, tasauf dam usul fiqih serta tarikh tasyrik.
Selanjutnya dalam kajian keilmuan Islam, maka posisi filsafat Islam adalah landasan adanya integrasi berbagai disiplin dan pendekatan yang makin beragam, karena dalam bangunan epistemologi Islam mau tidak mau, filsafat Islam dengan metode rasional transendental dapat menjadi sumbernya. Contoh: Fiqih pada hakekatnya adalah pemahaman yang pada dasarnya adalah filsafat, yang kemudoan di kembangkan dalam usul Fiqh. Tampa filsafat fiqih akan kehilangan semangat untuk perobahan sehingganya fiqih dapat menjadi baku bahkan pintu ijtihad akan tertutup.
Jika ada petentangan antara fiqh dan filsafat, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah pemikiran Islam, maka hal itu lebih disebabkan karena terjadinya kesalah pahaman dalam memahami risalah kenabian. Jadi filsaft bukanlah anak haram Islam, tetapi filsafat adalah anak kandung yang sah dari risalah kenabian.
Filsafat Islam adalah basis studi keilmuan Islam, yang mengintegrasikan dan mengikatkannya, agar tidak terlepas dari cita-cita Islam. Filsafat Islam sebagai hikmah yang hadir, untuk pencerahan intelektual Islam, untuk keselamatan dan kedamaian hidup dunia dan akhirat, dan untuk peneguhan hati manusia sebagai khalifah dan sebagai hamba tuhan.

SAYYID AHMAD KHAN DAN ALIGARH

A. Pendahuluan
Pada permulaan abad ke-19 imperium Mughal di anak Benua Indo-Pakistan secara pasti memasuki fase keruntuhan. Walaupun nama dan bayangannya masih tetap nampak, khususnya di Delhi untuk setengah abad kemudian, namun kekuasaanya yang riil telah musnah. Kerajaan-kerajaan kecil, seperti Rajput, Jat, Maratha, Sikh serta lainnya, yang muncul akibat kerapuhan para emperor Mughal setelah Awrangzeb, secara bertahap dilindas oleh East India Company yang mulai membentuk koloninya di Indo – Pakistan pada tahun 1757. Setelah pemberontakan 1857, imperium Mughal secara resmi bertekuk lutut di bawah penjajahan Inggeris.
Dengan runtuhnya imperium Mughal, masyarakat Muslim Indo-Pakistan pun ikut runtuh. Kemegahan budaya, intelektual dan kekuasaan mereka memudar dengan cepat. Sebaliknya, orang-orang Hindu, yang pada masa kejayaan Islam di anak benua India merupakan masyarakat kelas bawah, kecuali pada Akbar, kini mulai mendominasi seluruh lapangan kehidupan. Hal ini memang bertentangan dengan sejarah masa lalu mereka.
Akan tetapi, “penganakemasan” orang Hindu oleh Inggeris serta kurangnya respons kaum muslimin terhadap kekuasaan dan institusi-institusi Inggeris, ditambah lagi dengan ketidakmampuan warisan keagamaan tradisional dalam menjawab tantangan zaman mengakibatkan tenggelamnya masyarakat Muslim Indo-Pakistan. Inilah yang menandai mulainya sejarah kontemporer umat Muslim di anak benua India. Pergantian rezim ini menggerakkan beberapa kekuatan yang menimbulkan perubahan sejumlah praktek keagamaan dan struktur sosio politik umat Muslim di anak benua ini dan pada ujungnya mengantarkan pada pembentukan tiga negara nasional, dua di antaranya didominasi oleh mayoritas Muslim, sedang satu di antaranya umat Muslim berada pada posisi minoritas.
Dalam peta pembaharuan di anak Benua India ini muncullah “dewa-dewa penyelamat” yang mengajak kaum Muslimin kembali kepada semangat asli Islam untuk merebut kejayaan yang pernah dimiliki serta menjawab tantangan-tantangan zaman yang dihadapi khususnya yang datang dari Barat. Implementasi ajakan ini berupa reorientasi dan reformasi pemahaman terhadap warisan-warisan keagamaan yang dimiliki kaum Muslimin pada Bangsa Indo-Pakistan. Salah seorang tokoh pembaruan yang terkenal di anak benua adalah Sayyid Ahmad Khan, yang terkenal lewat Gerakan Madrasah Aligarh yang melahirkan tokoh-tokoh pembaharu selanjutnya.
B. Sayyid Ahmad Khan dan Ide Pembaharuannya
1. Riwayat Hidup Sayyid Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada tahun 1817 dan menurut keterangan ia berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad melalui Fatimah dan Ali. Neneknya Sayyid Hadi adalah Pembesar Istana di zaman Alamghir II (1754- 1759). Ia mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan agama dan di samping Bahasa Arab ia juga belajar Bahasa Persia. Sayyid Ahmad Khan adalah orang yang rajin membaca. Ketika usianya 18 tahun ia bekerja pada Serikat India Timur, kemudian bekerja pula sebagai hakim, tetapi pada tahun 1846 ia pulang kembali ke Delhi untuk meneruskan studi.
Pada masa Pemberontakan 1857 ia berusaha mencegah terjadinya kekerasan dan banyak menolong orang Inggris dari pembunuhan. Pihak Inggeris menganggap ia telah banyak berjasa dan ingin membalas jasa tersebut, tetapi hadiah yang dianugerahkan Inggeris ditolaknya, ia hanya menerima Gelar Sir dari pemerintahan Inggeris dari berbagai hadiah yang ditawarkan tersebut. Hubungannya dengan pihak Inggeris sangat baik dan inilah yang dipergunakannya untuk kepentingan ummat Islam India.
Ahmad Khan berpendapat bahwa usaha peningkatan kedudukan dan kesejahteraan ummat Islam India dapat diwujudkan melalui kerja sama dengan Inggeris sebagai penguasa di India. Dalam fikirannya, menentang kekuasaan Inggeris tidak akan membawa kebaikan bagi ummat Islam India tetapi akan menjadikan umat Islam semakin mundur serta akan jauh ketinggalan dari masyarakat Hindu India. Selain itu dasar ketinggian dan kekuatan Barat, termasuk di dalamnya Inggeris, adalah ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sehingga untuk mendapatkan kemajuan, ummat Islam harus pula menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu. Jalan yang harus ditempuh ummat Islam memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan itu bukanlah bekerja sama dengan Hindu dalam menentang Inggeris tetapi memperbaiki dan memperkuat hubungan baik dengan Inggeris.
Untuk mewujudkan cita-citanya, ia menerbitkan majalah “Tahzib al-Akhlak”. Pada tahun 1875, ia mendirikan lembaga pendidikan Muhammedan Anglo Oriental College (MAOC) yang kemudian berkembang menjadi Universitas Aligarh. Untuk mengukuhkan ide-idenya ia mendirikan All India Muhammadan Education Conference (1886). Ia juga tercatat sebagai anggota parlemen di Legislatif Council selama empat tahun (1878 – 1882).
Beberapa hasil karya Sayyid Ahmad Khan adalah Atsar al-Sanadid (1874) yang merupakan hasil penelitiannya tentang arkeologi di Delhi dan sekitarnya, Essay on life of Muhammad (1870), Tafsir al-Qur’an sebanyak 6 jilid, Ibthal al-Ghulami (1890) dan Tabyin al-Kalam (1860). Selain itu juga menulis dua buku Tarikh Sarkhasi Bignaur (1858) dan Asbab Baghawad Hind (1858). Dari hasil karyanya ini terihat pula bahwa Sayyid Ahmad Khan termasuk penulis yang produktif.
Ahmad Khan mengakhiri perjuangannya dengan berpulangnya ke rahmatullah pada tanggal 27 Maret 1898 setelah menderita sakit beberapa lama dalam usia 81 tahun, dan dimakamkan di Aligarh.
Atas usaha usahanya dan atas sikap kooperatif yang ditunjukkannya terhadap Inggeris, Sayyid Ahmad Khan akhirnya berhasil dalam merobah pandangan Inggeris terhadap ummat Islam India. Sementara itu kepada ummat Islam dianjurkan agar tidak bersikap melawan tetapi sikap berteman dan bersahabat dengan Inggeris. Cita citanya untuk menjalin hubungan baik antara Inggeris dan ummat Islam dimaksudkan agar ummat Islam dapat merobah nasib dari kemunduran. Keinginan ini telah dapat diwujudkan Sir Sayyid pada masa hidupnya.
2. Ide-Ide Pembaharuannya
Sayyid Ahmad Khan melihat bahwa ummat Islam India mundur karena tidak mengikuti perkembangan zaman. Ummat Islam tidak menyadari bahwa peradaban Islam masa klasik telah runtuh dan digantikan peradaban modern yang berasal dari dunia Barat. Dasar peradaban baru ini ialah ilmu pengetahuan dan tekhnologi sebagai pondasi kokoh bagi kemajuan dan kekuatan orang Barat modern yang berasal dari hasil pemikiran manusia. Oleh karena itu akal bagi Sayyid Ahmad Khan mendapat penghargaan tinggi, namun bagi sebahagian kalangan ummat Islam tradisional pada masanya berpegang teguh bahwa kekuatan akal bukan tidak terbatas.
Oleh karena itu, Ahmad Khan percaya pada kekuatan dan kebebasan akal, sungguhpun mempunyai batas, ia percaya pada kebebasan dan kemerdekaan manusia dalam menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Dengan kata lain, ia mempunyai faham qa¬dariah (free will and free act) dan tidak faham jabariah atau fatalisme. Manusia menurutnya dianugerahi Tuhan daya daya, seperti daya berfikir, yang disebut akal, dan daya fisik untuk mewujudkan kehendaknya. Manusia mempunyai kebebasan untuk mempergunakan daya daya yang diberikan Tuhan kepadanya itu.
Ahmad Khan menolak pula faham taklid bahkan tidak segan segan menyerang faham ini. Sumber ajaran Islam menurut pendapatnya hanyalah al-Qur’an dan Hadis. Pendapat ulama di masa lampau tidak mengikat bagi ummat Islam dan di antara pendapat mereka ada yang tidak sesuai lagi dengan zaman modern.
Secara sederhana bentuk-bentuk ide pembaharuan Sayyid Ahmad Khan dapat pula dikembangkan sebagai berikut :
a. Bidang Keagamaan
Salah satu warisan keagamaan yang ditinjau dan diperbaharui kembali, dan sangat fundamental serta mencakup seluruh aspek Islam, adalah tafsir al-Qur’an. Untuk kegiatan ini, anak benua Indo-Pakistan dapat berbangga diri, karena amat produktif dalam menelorkan mufassir liberal dan radikal semisal Sayyid Ahmad Khan ini.
Pembaharuan penafsiran al-Qur’an yang dilakukan adalah berusaha mengadaptasikan ajaran-ajaran al-Qur’an dengan tuntutan-tuntutan zaman modern. Ini terwujud dengan terbitnya volume pertama dari enam jilid tafsir karya Ahmad Khan pada tahun 1880.
Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa al-Qur’an dan hadis merupakan sumber hukum Islam. Ia sangat selektif dalam menerima hadis. Dengan munculnya hadis-hadis palsu, ia berpandangan bahwa tugas kaum muslimin sekarang dalam memelihara hadis adalah merumuskan “standar penilaian modern terhadap hadis-hadis” ia tidak menjelaskan standar tersebut. Oleh karena itu, ia hanya menerima hadis yang sesuai dengan nash dan ruh al-Qur’an, yang sesuai dengan akal dan pengalaman manusia, dan yang tidak bertentangan dengan hakikat-hakikat sejarah. Berkaitan dengan pembagian hadis kepada Mutawatir, Masyhur dan Ahad, ia berpendapat bahwa hadis Mutawatir dapat diterima, hadis Masyhur tidak dapat diterima kecuali setelah diadakan penelitian, sedangkan hadis Ahad tidak dapat diterima sama sekali.
Menurut Sayyid Ahmad Hadis yang dapat diterima tersebut dibagi kepada dua bagian yaitu hadis yang berkaitan dengan agama dan hadis yang berkaitan dengan dunia. Hadis yang berkaitan dengan ruang lingkup agama bersifat mengikat dan wajib diikuti, sedangkan hadis yang berkaitan dengan perkara dunia, tidak termasuk tugas kerasulan secara mutlak dan hanya berlaku khusus bagi kondisi dan keadaan bangsa Arab pada masa nubuwwah, dan tidak mengikat bagi seluruh kaum muslimin.
Berkaitan dengan permasalahan fiqh, Sayyid Khan mempunyai pandangan tersendiri yang mendekatkan antara perkara-perkara dan dengan pemahaman peradaban barat, antara lain dalam masalah jihad, bunga bank, poligami dan had.
Dalam masalah jihad, ia memandang bahwa jihad hanya disyari’atkan untuk membela diri dan hanya dalam satu keadaan, yaitu ketika orang-orang kafir menyerang kaum muslimin dengan tujuan mengubah agama (mengkafirkan). Apabila penyerangan kaum kafir ini bertujuan lain seperti pendudukan wilayah, dan tidak bertujuan mengubah agama, maka jihad tidak disyari’atkan. Sepertinya inilah yang mendorong Sayyid Khan untuk mengadakan hubungan persahabatan dengan Inggeris, karena menurutnya jalan inilah yang mencegah kehancuran umat Muslim India pada masa itu.
Dalam masalah riba, Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa riba yang diharamkan ialah riba yang berlipat ganda, yang dibayarkan oleh orang fakir sebagai imbalan atas hutangnya, sebagaimana adat yang tersebar di kalangan Bangsa Arab. Adapun bunga yang jumlahnya sedikit dalam mu’amalah perdagangan sekarang dan yang terdapat pada perbankan, bukanlah riba yang diharamkan. Adapun masalah poligami, ia berpandangan bahwa pada dasarnya Islam mengatur perkawinan dengan satu wanita, dan mensyari’atkan keadilan bagi poligami. Berhubungan keadilan itu tidak mudah, maka poligami tidak diperbolehkan kecuali pada kondisi pengecualian, seperti istri sulit mendapatkan keturunan. Dalam masalah had (hukuman), Sayyid Ahmad Khan menolak hukum rajam bagi pezina. Dia bersandar pada dua dalil, yaitu pertama, rajam tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Kedua, hadis-hadis tentang rajam hanyalah menceritakan tentang kebiasaan yang tersebar pada saat itu mengikuti Yahudi. Berdasarkan alasan itu pulalah, dia memandang bahwa diyat (denda) tidak lain hanyalah kebiasaan Bangsa Arab Kuno dan tidak sesuai lagi dengan kondisi masa sekarang.
b. Bidang Pendidikan
Sebagai telah disebut di atas, Sayyid Ahmad Khan beranggapan bahwa jalan bagi ummat Islam India untuk melepaskan diri dari kemunduran dan selanjutnya mencapai kemajuan, adalah dengan memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern Barat. Untuk mencapai tujuan ini maka sikap mental ummat yang kurang percaya kepada kekuatan akal, kurang percaya pada kebebasan manusia dan kurang percaya pada adanya hukum alam, harus dirobah terlebih dahulu. Perobahan sikap mental itu diusahakannya melalui tulisan-tulisan dalam bentuk buku dan artikel artikel dalam majalah Tahzib Al Akhlaq. Usaha melalui pendidikan juga tidak dilupakannya, bahkan pada akhirnya ke dalam lapangan inilah dicurahkannya perhatian dan usahanya. Salah satu jalan yang efektif untuk merobah sikap mental suatu bangsa menurut Sir Sayyid haruslah melalui pendidikan.
Pada tahun 1861 Sayyid Ahmad Khan mendirikan Sekolah Inggeris di Muradabad. Di tahun 1876 ia mengundurkan diri sebagai pegawai Pemerintah Inggeris dan sampai akhir hayatnya di tahun 1898, ia mementing¬kan pendidikan ummat Islam India. Di tahun 1878, ia mendirikan sekolah Muhammedan Anglo Oriental College (MAOC) di Aligarh yang merupakan karyanya yang bersejarah dan berpengaruh dalam upaya memajukan ummat Islam India. Sekolah itu mempunyai peranan penting dalam kebangkitan ummat Islam India, dan sekiranya tidak karena lembaga pendidikan tersebut ummat Islam India di Pakistan sekarang akan lebih jauh lagi ketinggalan dari ummat-¬ummat lain.
MAOC dibentuk sesuai dengan model sekolah di Inggeris dan bahasa yang dipakai di dalamnya ialah Bahasa Inggeris. Di¬rekturnya berbangsa Inggeris sedang guru dan staffnya banyak terdiri atas orang Inggeris. Ilmu pengetahuan modern merupakan sebahagian besar dari mata pelajaran yang diberikan dengan tidak mengabaikan pendidikan agama. Sedangkan pada sekolah Inggeris yang diasuh Pemerintah pendidikan agama tidak diajarkan. Dalam sistem pendidikan di MAOC pendidikan agama Islam dan ketaatan siswa menjalankan ajaran agama mendapat prioritas yang utama. Keistimewaan lainnya, sekolah tersebut terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat, baik Hindu, Parsi dan Kristen, bukan hanya bagi orang Islam.
Sebelumnya pada tahun 1869/1870 Sayyid Ahmad Khan telah berkunjung ke Inggeris, untuk mempelajari sistem pendidikan Barat. Sekembalinya dari kunjungan itulah ia membentuk Panitia Peningkatan Pendidikan Ummat Islam. Salah satu tujuan panitia tersebut adalah menyelidiki sebab-sebab ummat Islam India sedikit sekali memasuki sekolah sekolah Pemerintah. Di samping itu dibentuk pula Panitia Dana Pembentukan Perguruan Tinggi Islam.
Di tahun 1886 ia juga membentuk Muhammedan Educational Conference dalam usaha mewujudkan pendidikan nasional yang seragam bagi ummat Islam India. Program dari lembaga ini yakni menyebarluaskan pendidikan Barat di kalangan ummat Islam, menyelidiki pendidikan agama yang diberikan di sekolah sekolah Inggeris yang didirikan oleh kalangan Islam serta menunjang pendidikan agama yang diberikan di sekolah sekolah swasta. Pada tahun itu juga diterbitkan pula jurnal mingguan “Aligarh Institut” yang menyebarluaskan informasi dan problematika mengenai seputar pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan, serta lembaga ini juga melakukan kegiatan penterjemahan buku Inggeris ke Bahasa India.
Pada tahun 1920 MAOC ini berkembang menjadi Universitas Aligarh yang secara berlanjut meneruskan tradisi sebagai pusat gerakan pembaharuan Islam India. Universitas inilah yang menjadi penggerak utama terwujudnya pembaharuan di kalangan umat Islam India.
Dalam bidang pendidikan ini upaya-upaya yang dilakukan oleh Sayyid Ahmad Khan merupakan usaha yang luar biasa untuk kemajuan umat Islam India.
c. Bidang Sosial Politik
Dalam bidang politik ide Sayyid Ahmad Khan ini merupakan refleksi dari gejolak sosial politik yang terjadi antara umat Islam dan Inggris pada tahun 1857. Pemikirannya inilah yang dituangkan dalam buku karangannya Asbab Baghawat Hind yang berisi tentang usaha Sayyid Ahmad Khan untuk meyakinkan pihak Inggris, bahwa umat Islam tidak terlibat pemberontakan itu.
Dalam usahanya, ia meyakinkan pihak Inggeris bahwa dalam Pemberontakan 1857 ummat Islam tidak memainkan peranan utama, Ahmad Khan mengeluarkan panflet yang berisikan penjelasan tentang faktor penyebab pecahnya pemberontakan tersebut. Di antara faktor penyebab tersebut adalah :
a. Intervensi Inggeris dalam soal keagamaan seperti pendidikan agama Kristen yang diberikan kepada yatim piatu di panti panti yang diasuh oleh orang Inggeris, pembentukan sekolah sekolah missi Kristen, dan penghapusan pendidikan agama dari perguruan perguruan tinggi.
b. Tidak turut sertanya orang orang India, baik Islam maupun Hindu, dalam lembaga lembaga perwakilan rakyat, sehingga berakibat :
1) Rakyat India tidak mengetahui tujuan dan niat Inggeris yang sebenarnya dan menganggap Inggeris datang untuk merobah agama mereka menjadi Kristen.
2) Pemerintah Inggeris tidak mengetahui keluhan keluhan rakyat India.
c. Pemerintah Inggeris tidak berusaha mengikat tali persahabatan dengan rakyat India, sedang kestabilan dalam pemerintahan bergantung pada hubungan baik dengan rakyat. Sikap tidak menghargai dan tidak menghormati rakyat India membawa akibat yang tidak baik.
Lebih lanjut, Sayyid Ahmad Khan menyatakan bahwa di antara golongan Islam yang ikut serta dalam pemberontakan 1857 adalah mereka yang kerap kali melakukan perbuatan tidak baik dan tercela serta perbuatan kriminal. Dan jika hanya segelintir ummat Islam yang bersalah tidaklah pada tempatnya pula untuk menetapkan keseluruhan ummat Islam India bertanggung jawab terhadap pemberontakan tersebut. Dengan demikian tidak pada tempatnya Pihak Inggeris menaruh rasa curiga terhadap ummat Islam India.
Sikap Sayyid dalam bidang politik terlihat pula pada pertengahan kedua dari abad ke-19, ketika rasa nasionalisme India telah mulai timbul dan terbentuknya Partai Kongres Nasional India di tahun 1885. Sayyid Ahmad Khan menjauhkan diri dari gerakan ini, dengan alasan bahwa bahasa yang dipakai Kongres terhadap Pemerintah Inggris kurang sopan. Menurut Rayendra Prasadia, ia pada mulanya adalah penyokong nasionalisme India. la pemah menerangkan bahwa Hindustan merupakan negara bagi orang Hindu dan dalam kategori Hindu termasuk orang India Islam dan orang India Kristen. Tetapi akhimya ia dipengaruhi oleh Mr. Back, salah satu Direktur MAOC yang berpendapat bahwa pendidikan ummat Islam India belum sampai ke taraf yang membuat mereka akan dapat mengambil keuntungan dari permainan dalam bidang politik. Sebaliknya turut campur dalam bidang politik akan merugikan ummat Islam India.
Sayyid Ahmad Khan memang berpendapat bahwa pendidikanlah satu satunya jalan bagi ummat Islam India untuk mencapai kemajuan. Kemajuan tidak akan dicapai melalui jalan politik. Oleh karena itu ia menganjurkan supaya ummat Islam India jangan turut campur dalam agitasi politik yang dilancarkan Partai Kongres. Usaha usaha untuk merobah sikapnya terhadap Partai Kongres tidak berhasil. Ia berkeyakinan bahwa anggota kasta kasta dan pemeluk agama agama yang berlainan di India tidak bisa disatukan menjadi satu bangsa. Tujuan dan cita cita mereka saling berlainan. Wujud Partai Kongres Nasional India sebenarnya tidak mempunyai dasar. Gerakan yang dijalankan Partai Kongres, demikian ia selanjutnya menjelaskan, bukan hanya akan merugikan bagi ummat Islam, tetapi juga bagi seluruh India.
Dalam ide politik yang ditimbulkan Sayyid Ahmad Khan di atas telah kelihatan pengertian bahwa ummat Islam merupakan satu ummat yang tidak dapat membentuk suatu negara dengan ummat Hindu. Umat Islam harus mempunyai negara tersendiri. Bersatu dengan ummat Hindu dalam satu negara akan membuat minoritas Islam yang rendah kemajuannya, akan lenyap dalam mayoritas Hindu yang lebih tinggi kemajuannya. Di sini telah dapat dilihat bibit dari ide Pakistan yang muncul kemudian di abad ke-20.
Dari usaha-usaha pembaharuan Sayyid Ahmad Khan terlihat yang paling menonjol adalah dalam bidang pendidikan. Terlihat sikapnya terhadap pendidikan ummat Islam memang terlihat sangat mengagumkan, namun pengaruh tersebut tidak terbatas dalam bidang pendidikan saja. Melalui buku karangannya dan tulisan¬-tulisannya Tahzib al-Akhlaq ide ide pembaharuan yang dicetuskannya menarik perhatian golongan terpelajar Islam India. Penafsiran penafsiran baru yang diberikannya terhadap ajaran-ajaran Islam lebih dapat diterima golongan terpelajar ini dari pada tafsiran tafsiran lama.
C. Aligarh dan Pengaruhnya bagi Pembaharuan Indo-Pakistan
Malapetaka hebat yang melanda India, yaitu Pemberontakan tahun 1857 telah berlalu. Pemberontakan itu merupakan akibat dari keinginan akan adanya pendidikan di India, dan akibat dari kenyataan bahwa Bangsa India tidak memahami hak Pemerintah, yang sasarannya adalah kita ini, terhadap kita dan tidak mengerti tentang kewajiban kita terhadapnya. Selain ini semua, juga terdapat keinginan akan adanya hubungan antara para penguasa dan rakyat dalam hal keinginan untuk memperoleh pendidikan itu. Pada saat ini, universitas universitas yang didirikan di India dengan tujuan mendirikan pendidikan tingkat ting¬gi. Kebanyakan para negarawan menyetujui adanya pendidikan tingkat tinggi itu dan menganggapnya sebagai kewajiban pemerintah, sementara sebagian kecil di antara mereka bersikap menentangnya. Akan tetapi, tak seorang pun yang berfikir bahwa bersamaan dengan pendidikan itu, latihan yang baik pun diperlukan, sebab tak seorang pun dapat meningkatkan dirinya sebagai manusia (beradab) hanya dengan pendidikan semata mata, demikian juga dengan pendidikan itu saja sikap moralnyapun tidak dapat ditingkatkan, bahkan dia akan menjadi semacam kuda be¬ngal yang tidak mau dikendalikan oleh penunggangnya.
Demikianlah keadaan masyarakat India masa itu, tidak dipungkiri walaupun dengan berbagai ide pembaharuan yang ditelorkan oleh pembaharu-pembaharu seperti Sir Sayyid dan rekan-rekannya, namun sikap mental tak bisa sepenuhnya terpengaruh dengan ide pembaruaan tersebut. Hal ini akan terbukti dengan sejarah Aligarh selanjutnya pasca Sir Sayyid.
Setelah Sir Sayyid wafat pada tanggal 24 Maret tahun 1898, ide ide pembaharuan yang dicetuskan Sir Sayyid Ahmad Khan dianut dan disebarkan selanjutnya oleh pengikut dan pada akhirnya lahirlah sebuah gerakan yang disebut Gerakan Aligarh yang berpusat MAOC sendiri.
Ada beberapa tokoh Aligarh yang berpengaruh dan melanjutkan ide-ide pembaharuan yang dicetuskan Sayyid Ahmad Khan, di antaranya:
a. Nawab Muhsin al-Muluk
Setelah Sayyid Ahmad Khan wafat, maka kepemimpinan Aligarh pindah ke tangan Sayyid Mahdi Ali, yang dikenal dengan nama Nawab Muhsin Al Mulk (1837 1907). Pada mulanya ia adalah pegawai Serikat India Tiffluk, kemudian menjadi pembesar di Hyderabad. Ia pernah berkunjung ke Inggeris untuk keperluan Pemerintah Hyderabad. Di tahun 1863 ia berkenalan dengan Sayyid Ahmad Khan dan antara keduanya terjalin tali persahabatan yang erat. la banyak rnenulis artikel Tahzib Al Akhlaq dan kemudian juga di majalah yang diterbitkan MAOC la pindah ke Aligarh dan menetap di sana mulai pari tahun 1893.
Pada tahun 1897 ia menggantikankan kedudukan Sayyid Ahmad Khan di MAOC Ia mempunyai jasa yang besar dalam menyebarkan ide ide Sayyid Ahmad Khan yang dilakukannya melalui Muhammedan Educational Conference. Jasanya dalam memajukan MAOC terlihat dengan bertambah banyaknya jumlah murid lembaga pendidikan tersebut.
Muhsin al-Mulk berhasil membuat golongan ulama India merobah sikap keras terhadap Gerakan Aligarh. Sebagaimana diketahui bahwa Deoband yang banyak menghasilkan ulama ulama India tradisional, mempunyai sikap yang tidak kooperatif dengan Inggeris, sedang Sayyid Ahmad Khan terkenal dengan sikap pro Inggeris. Jadi antara MAOC terdapat perbedaan bukan hanya dalam soal-soal keagamaan saja tetapi, juga mengenai sikap politik.
Muhsin al-Mulk tidak hanya membawa para ulama dekat dengan Aligarh, lebih jauh ia mampu menarik beberapa lawan politik pendiri Perguruan Tinggi tersebut. Ia adalah orang yang paling cinta damai, namun ia dihadapkan juga kepada kontraversi Hindu-Urdu yang telah ada sejak akhir-akhir kehidupan Sayyid Ahmad. Inilah yang pada akhirnya menyebabkan ia mengundurkan dari Perguruan Tinggi tersebut. Ia wafat 16 Oktober 1907, dan dikuburkan di samping kuburan Sir Sayyid di Aligarh.
b. Viqar al-Mulk
Pemimpin lain yang berpengaruh ialah Viqar al Mulk (1841 1917). Ia semenjak muda telah menjadi pembantu dan pengikut Sayyid Ahmad Khan. Di tahun 1907 ia menggantikan Nawab Muhsin AI Mulk dalam pimpinan MAOC. Masa inilah terjadinya perubahan-perubahan besar dalam adminsitrasi Perguruan Tinggi Aligarh, bahkan dalam kebijaksanaan politik umat muslim India.
Viqar al-Mulk bernama Mushtaq Hussain yang lahir 1841, di Distrik Moradabad, United Pravinces. Ia adalah rekan Sayyid Ahmad Khan dan juga Muhsin al-Mulk. Bersama dengan Muhsin al-Mulk ia selalu bekerja sama dalam masalah administrasi Aligarh. Dan setelah Muhsin al-Mulk meninggal pada tahun 1907, ia dipilih menjadi Sekretaris Badan Pendiri.
Pada masa Viqar ini terjadi pertentangan antara Viqar al Mulk dengan Mr. Archbold yang menjadi Direktur MAOC di waktu itu. Dalam pertentangan ini Gubernur Daerah menyebelah Archbold sedang Viqar al Mulk disokong oleh Agha Khan serta Amir Ali dan selanjutnya oleh masyarakat Islam di luar. Archbold akhirnya terpaksa mengundurkan diri. Kekuasaan Iriggris di MAOC dari semenjak itu mulai berkurang.
Pada masa Viqar inilah berakhirnya kontraversi tentang administrasi Perguruan Tinggi, dan mulainya era baru bagi perjalanan Aligarh. Ia cukup tangguh dalam membina kebijaksanaan politik Muslim India.
Viqar AI Mulk, sebagai seorang ulama, keras pendirian dan pegangannya terhadap agama, hidup keagamaan di MAOC diperkuatnya. Pelaksanaan ibadat, terutama shalat dan puasa, diperketat pengawasannya. Lulus dalam ujian agama menjadi syarat untuk dapat naik tingkat. Hal hal tersebut di atas membuat MAOC menjadi lebih populer di kalangan ulama India. Dalam pandangan politik, ia pada mulanya sependapat dengan Sayyid Ahmad Khan. Ia menegaskan bahwa ummat Islam India yang hanya berjumlah seperlima dari ummat Hindu, kalau India telah ditinggalkan Inggeris akan hidup tertindas oleh mayoritas Hindu. Nyawa, harta, kehormatan dan agama ummat Islam akan dalam keadaan bahaya. Kelanjutan wujud ummat Islam India akan dapat terjamin dengan berlanjutnya kekuasaan Inggeris di India. Tetapi setelah rencana pembahagian Bengal menjadi dua daerah pemilihan, daerah pemilihan Islam dan daerah pemilihan Hindu dibatalkan, ia merobah pandangan politiknya. Inggeris bukan lagi tempat orang Islam menggantungkan nasib, masa untuk itu telah berlalu. Sikap Inggeris untuk membatalkan pembahagian Bengal, demikian ia menjelaskan, adalah seperti meriam yang menggiling tubuh ummat Islam, Inggeris tidak peduli lagi apakah masih terdapat nyawa di dalam¬nya dan tidak diperdulikan apakah ummat Islam merasa sakit atau tidak.
Di masa pimpinan Viqar al Mulk ini terlihat bahwa ketergantungan Gerakan Aligarh kepada Inggeris telah mulai berkurang dan tidak lagi sekeras di zaman Sayyid Ahmad Khan.
c. Altaf Husain Hali
Tokoh India lainnya yang terkenal sebagai penyebar ide ide pembaharuan Sayyid Ahmad Khan adalah Altaf Husain Hali (1837 1914). Ia pernah bekerja sebagai penerjemah di kantor Pemerintah Inggeris di Lahore, tetapi kemudian pindah ke Delhi. Di sinilah ia berkenalan dengan Sayyid Ahmad Khan dan keduanya menjadi teman baik. Hali terkenal sebagai seorang penyair, tetapi ia juga menulis karangan karangan untuk Tahzib Al Akhlaq. Atas permintaan Sayyid Ahmad Khan ia menulis syair tentang peradaban Islam di Zaman Klasik. Keluarlah di tahun 1879 apa yang terkenal dengan nama Musaddas. Syair itu antara lain juga mengandung ide ide Aligarh. Musaddas sangat berpengaruh terhadap ummat Islam India, sehingga dikatakan bahwa di samping MAOC dan Muhammedan Educa¬ional Conference Musdddas lah yang mempunyai jasa besar dalam mempopulerkan Gerakah Aligarh. Terhadap pendidikan wanita ia lebih progressif dari Sayyid Ahmad Khan yang memandang bahwa kaum wanita belum perlu mendapat pendidikan sebagai kaum lelaki. Dalam soal politik ia juga berpendapat bahwa ummat Islam India merupakan suatu kesatuan tersendiri di samping ummat Hindu. Tetapi ia tidak bersikap anti Hindu, ia menganjurkan supaya penulis-penulis Islam India juga mempelajari bahasa Hindu.
Semangat patriotisme Hali ini terlihat dalam Syairnya:
Jika Anda ingin kebaikan dari negerimu.
Maka janganlah menganggap sebagai orang asing sesama patriot dari tanah airmu,
Apakah ia Muslim atau Hindu,
Apakah Budhis atau Brahma,
Pandanglah mereka dengan mata persahabatan yang syahdu,
Anggaplah mereka seperti bagian hitam dari matamu.
Sejak masa Sayyid Ahmad telah diramalkan akibat dari gerakan anti bahasa urdu pada tahun 1867. Sir Sayyid telah mengungkapkan pandangan bahwa bahasa sangat penting dalam membina nasionalitas bersama. Hal inilah yang diserukan oleh Hali bahwa aspek bahasa memegang peranan penting dalam penyelesaian konflik antara Hindu dan Urdu, juga antara Hindu dengan umat Islam. bahwa orang Hindu hendaknya memakai Bahasa Urdu. Juga orang Islam hendaknya menjauhi kata-kata Arab dan Parsi, dan beralih ke memperhatikan Hindi dan Sanskerta. Ia menekankan bahwa yang akan dicapai adalah Bahasa Delhi yang sederhana yang dipergunakan oleh orang-orang Hindu dan Muslim.
d. Muhammad Syibli Nu’mani
Muhammad Syibli Nu’mani (1857 1914) diangkat pada tahun 1883 sebagai Asisten Profesor Bahasa Arab di Aligarh. Ia mempunyai pendidikan madrasah tradisional dan pernah pergi ke Mekah dan Medinah memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam. Setelah Sayyid Ahmad Khan wafat meninggal¬kan MAOC.
Ketika di MAOC ia berjumpa dengan ide ide baru yang dikemukakan oleh Gerakan Aligarh dan tertarik padanya. Latar belakang pendidikan madrasahnya, membuat ia tidak mempunyai sikap se-liberal Sayyid Ahmad Khan. Tetapi ia tidak menentang pemakaian akal dalam soal-soal agama; mempelajari falsafat barat yakin bukanlah haram. Ulama-ulama zaman klasik juga mempelajari dan mengetahui falsafat. Mereka, demikian argumennya lebih lanjut, menyetujui pelajaran falsafat. Pemikiran modern dalam bentuk moderat dapat dite¬rimanya.
Pada tahun 1894 ia mendirikan “Nadwah Ulama” yang diawali dengan semangat yang tinggi. Sehingga, Suleman Nadwi, pengganti Syibli menyatakan bahwa “banyak orang percaya bahwa hal ini akan membawa kepada berdirinya pemerintahan ulama”. Inilah nampaknya gerakan tandingan yang pada akhirnya membawa Aligarh kepada kemunduran.
Banyak kritik-kritik yang dilontarkan Syibli kepada Aligarh, dia tidak terkesan dengan hasil-hasil intelektual pendidikan modern, karena perlakuan yang ia terima sebagai Asisten Profesor bahasa. Pada akhirnya ia meninggalkan MAOC dan pergi ke Lucknow untuk memimpin perguruan tinggi Nadwat al-Ulama. Pemikiran modern moderat yang dianutnya membawa perobahan pada perguruan tinggi ini. Salah satu dari muridnya yang kemudian menjadi pemimpin pembaharuan di abad kedua puluh ialah Abdul Kalam Azad.
Kritik Syibli yang membawa kepada sikap meninggalkan Aligarh adalah bahwa sejak masa Sayyid Ahmad Khan telah terjadi pemisahan agama dari politik. Walaupun pada kenyataannya Sir Sayyid sangat memperhatikan agama, Syibli percaya bahwa agama sebagai bantuan untuk tujuan-tujuan duniawi. Ini barangkali obsesi masa lalu ketika para ulama memegang kekuasaan spiritual sekaligus duniawi.
Pada masa inilah, gaung Aligarh mulai memudar, namun ide-ide pembaharuan yang dicetuskan melalui lembaga ini terus dikembangkan oleh tokoh-tokoh yang lahir kemudian.
D. Penutup
Sayyid Ahmad Khan adalah pencetus pembaruan India. Berbagai pemikiran pembaruan yang ditelornya sangat berpengaruh bagi kemajuan rakyat India selanjutnya. Ide-ide pembaharuannya baik dalam pendidikan, keagamaan, juga dalam bidang politik merupakan refleksi dari gejolak sosial masa itu.
Dalam bidang keagamaan, Sir Sayyid menemukan penafsiran-penafsiran baru tentang ajaran agama. Dalam bidang politik Sir Sayyid berusaha meyakinkan Inggris – penguasa India – agar Inggris mau bekerja sama dengan umat Islam dalam memajukan India. Sedangkan dalam bidang pendidikan merupakan usaha yang sangat fundamental bagi kemajuan India selanjutnya. MAOC di Aligarh yang merupakan cikal bakal bagi lahirnya tokoh-tokoh pembaharu India yang akan mengantar India kepada kemajuan pasca keterpurukan – kekalahan Mughal dan penguasaan Inggris di India.
Aligarh melahirkan tokoh-tokoh yang terus mengembangkan ide-ide pembaharuan Sir Sayyid, seperti Muhsin Al-Mulk, Viqar al-Mulk, dan lain-lain. Dalam perkembangan selanjutnya MAOC berkembang menjadi Universitas Aligarh yang pada akhirnya melahirkan tokoh-tokoh penting, seperti Amir Ali, Muhammad Iqbal, dam Maulana Abul Kalam Azad.


DAFTAR PUSTAKA
Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, terj. Ghufran A. Mas’adi, judul asli: A History of Islamic Societies, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999, Jilid ke-3
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dab Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1994
Taufik Adman Amal, Pembaharuan Penafsiran al-Qur’an di Indo-Pakistan, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 1, Th 1992
Dewan Editor, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002
Busthami Muhammad Sa’id, Gerakan Pembaharuan Agama Antara Modernisme dan Tajdiduddin, terj. Ibn Marjan, judul asli: Mafhum Tajdid al-Din, Bekasi: PT. Wacana Lazuardi Amanah, 1995
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: CV. Anda Utama, 1993
M. Th. Houstma, Firt Encyclopedia of Islam, London: EJ. Brill, 1987
Jhon J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah, terj. Machnun Husein, Judul Asli: Islam in Transition, Muslim Perspectives, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1993