Senin, 23 Maret 2009

IBNU HAJAR AL-ASQALANY, IMAM AN-NAWAWY, DAN AL-ZARQANY (KAJIAN SYARAH KITAB-KITAB HADIS)

A. Pendahuluan
Kajian hadis terus bergulir. Kitab-kitab hadis terus bermunculan. Hadis-hadis dibukukan dalam bentuk al-Jawami’, al-Masanid, al-Ma’ajim, al-Mustadrak dan sebagainya. Pembukuan hadis semacam ini berkembang terus hingga lahirlah bentuk kitab hadis yang bermacam-macam. (Kontekstual: 278)
Gerakan tadwin ini telah menciptakan sebuah stagnasi dalam bidang intelektual. Akan tetapi gerakan ini tetap saja di satu sisi menyimpan khazanah ilmu para ulama, walau di sisi lain menyebabkan ulama merasa cukup dengan apa yang telah tersedia. Mereka tidak merasa perlu melakukan penelitian ulang. Lama-kelamaan secara perlahan berkembanglah tradisi membuat syarah untuk memudahkan pembaca memahami kitab-kitab rujukan. Mereka menjelaskan kata-kata atau kalimat-kalimat secara semantik atau menambahkan penjelasan dengan mengutip ucapan ulama lain. Seperti yang dilakukan terhadap Kitab Bukhari, paling tidak terdapat tiga kitab syarahnya, Fath al-Bary, Iryad al-Sary, Umdah al-Qari, juga terhadap Shahih Imam, seperti yang dilakukan al-Nawawi.
Ini sebagai bukti kemandekan intelektual masa itu. karena seorang ulama tidak lagi menciptakan sebuah karya baru, tetapi karya tulis mereka merupakan kitab yang mengelaborasi karya lain yang lebih orisinil. Hal ini terjadi tidak hanya dalam bidang hadis, tetapi merambah ke hampir semua cabang ilmu.
Namun terdapat hal positif bahwa karya syarah bukanlah akhir perjalanan ilmiah dalam masa kemandekan intelektual. Akan tetapi sebuah karya syarah membuka peluang kepada bentuk elaborasi lebih lanjut, sehingga merupakan elaborasi atas elaborasi yang nantinya akan memunculkan lagi kitab yang disebut Hasyiyah.
Demikian pula terlihat bahwa usaha para ulama melakukan pensyarahan terhadap kitab hadis merupakan wujud dari kepedulian ulama terhadap pemeliharaan hadis lebih lanjut dan untuk menjelaskan makna hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis. Selain itu terdapatnya masalah-masalah dalam kitab hadis telah mengundang ulama untuk meneliti hadis-hadis yang telah dibukukan tersebut.
Hal ini terbukti seperti yang dilakukan oleh al-Asqalani terhadap Sahih Bukhari. Beliau menjelaskan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab sahih Bukhari, seperti dijelaskannya dalam Muqaddimah-nya Hadyu Sari. Demikian pula yang dilakukan oleh Imam Nawawi terhadap Sahih Muslim. Dan kitab-kitab Syarah lainnya.
Di dalam pembahasan ini penulis membatasi pada kitab Syarah terhadap Shahih Bukhari yang disusun oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, Syarah terhadap Shahih Muslim oleh Imam Nawawi , dan Syarah Kitab Muwatha Imam Malik oleh al-Zarqani.
B. Ibnu Hajar al-Asqallany dan Syarahnya atas Kitab Shahih Bukhari
1. Biografi Ibnu Hajar al-Asqalany
Ibnu Hajar mempunyai nama lengkap Syihabuddin abu Fadl Ahmad Ali bin Muhammad bin Hajar al-Asqallany. Beliau lahir di Cairo, 21 Sya’ban 773/ 18 Februari 1372, dan wafat 28 Zulhijjah 852/22 Februari 1449.
Ibnu Hajar al-Asqalany adalah seorang ulama hadis, sejarawan, dan ahli fiqh mazhab Syafi’i. Tentang asal usul keluarganya tidak diketahui secara pasti. Nenek moyangnya mula-mula pindah ke Iskandariyah dan kemudian ke Cairo. Ayahnya Nuruddin Ali adalah seorang ulama besar yang dikenal juga sebagai seorang mufti selain itu juga terkenal sebagai penulis sajak-sajak. Sedangkan ibunya Tujjar adalah seorang wanita kaya yang aktif dalam kegiatan perniagaan.
Ibnu Hajar menjadi yatim semenjak masa kanak-kanak. Ayahnya meninggal ketika Ibnu Hajar berusia empat tahun, sedang ibunya telah lebih dahulu meninggal. Sepeninggalan orang tuanya, Ibnu Hajar diasuh oleh seorang saudagar kaya bernama Zakiuddin Abu Bakar al-Kharrabi. Beliau telah ditunjuk oleh ayahnya sebagai pembimbing utama baginya. Namun kurang lebih 10 tahun kemudian, pembimbingnya meninggal dunia pada saat Ibnu Hajar masih berusia 14 tahun.
Pendidikan Ibnu Hajar dimulai ketika ia berusia 5 tahun. Di usia tersebut ia telah sekolah dan pada usia 9 tahun telah mampu menghafal al-Qur’an. Selanjutnya ia belajar kepada ulama besar pada masanya seperti Jamaluddin al-Bulqini, Ibnu al-Mu’an, al-Fairuz, dan Muhibbuddin bin Hisyam (w. 799 H) dalam ilmu bahasa dan ilmu saraf, kemudian kepada at-Tanukhi dalam bidang ilmu qiraah, dan Syamsuddin Muhammad bin Ali bin Qattam yang merupakan guru yang paling banyak memperkenalkan literatur sejarah kepadanya.
Pada waktu usianya 23 ia mulai menekuni ilmu hadis. Untuk itu ia mengadakan perjalanan ke Hijaz, Yaman, Palestina , dan Suriah. Perjalanan ini berakhir ketika ia kembali dari Suriah. Adapun guru utamanya dalam ilmu hadis adalah Zainuddin al-Iraqi (800 H). selain itu Ibnu Hajar juga dibimbing oleh Izzaddin bin Jama’a dalam bidang hadis dan fiqih sampai Ibnu jama’a wafat (765 H). Sebagian besar guru Ibnu Hajar memberikan ijazah kepadanya untuk mengeluarkan fatwa dan mendirikan pengajaran.
Karir Ibnu Hajar berlangsung sebagaimana umumnya para ulama besar sebelumnya. Ia menjadi dosen, guru besar, pimpinan akademi (madrasah), hakim, khatib, dan pustakawan.
Sebagai dosen ia mengajarkan ilmu hadis, ilmu tafsir, dan fikih. Kuliahnya tentang ilmu hadis dimulai pada bulan syawal 808/Maret 1406 di Syaikhuniyah. Ia juga memberi kuliah di Madrasah Jamalia ketika pertama kali dibuka pada bulan Rajab 811 H dan di madrasah Mankutimuriyah pada bulan Jumadil akhir 812 H.
Asosiasi akademisnya yang terpenting adalah perguruan Baybarsiyah. Pada perguruan ini, ia menjadi kepada Bidang Pengawasan Pendidikan dan Administrasi ( 3 Rabiul Awal 813 H). setelah sempat berhenti beberapa lama, ia kembali menduduki jabatan ini selama lebih dari 31 tahun (Rabiul Akhir 818). Kemudian ia memindahkan aktifitas pengajarannya ke Darul Hadis al-Kamiliyah. Pada tanggal 2 Rabiul Awal 852 H ia kembali mengajar di Baybariyah untuk beberapa bulan sebelum ia menderita sakit.
Jabatannya sebagai hakim dimulainya Bulan Muharam 827 H. jabatannya ini diterimanya setelah beberapa kali ditawarkan kepadanya. hal ini disebabkan ketika itu rekannya jamaluddin al-Bulqini menjadi hakim agung dan ia sendiri menjadi wakilnya. Tidak lama kemudian, pada bulan Zulkaidah 827, Ibnu hajar diturunkan dari jabatannya karena di antara kebijaksanaannya ada yang tidak sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah. Jabatagnnya digantikan oleh Syekh al-Harawi yang juga tak bertahan lama. Selejutnya Ibnu Hajar ditunjuk kembali menggantikan Syekh al-Harawi. Jabatannya ini dipegangnya selama lebih dari dua puluh tahun.
Ibnu Hajar juga mendirikan kantor Mufti di Dar al-‘Adl (811 H) tahun 826 ia mengambil alih administrasi perpustakaan di Mahmudiyah. Ia juga menjadi khatib di al-Azhar dan di Masjid Amr bin Ash.
Ibnu Hajar populer dengan karya ilmiyahnya terutama dalam bidang ilmu Hadis, misalnya Fath al-Bari fi Syarh al-Bukhari. Karya besarnya ini mencapai puncak kejayaannya pada tahun 833 H, ketika penguasa Timur di wilayah Fars (Iran) dan Sijistan, Syah Rukh, meminta penguasa Mesir, Barsbay, untuk memberikan beberapa salinan kitab ini.
Karya-karya Ibnu hajar yang lain, di antaranya:
a. Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah
b. Tahzib al-Tahzib
c. Lisan al-Mizan
d. Anba’ al-Gumr bin ‘Anba’ al-‘Umr
e. Bulugh al-Maram min Adilla al-Ahkam
Artikel-artikel Ibnu Hajar yang lebih rinci sudah banyak dihimpun oleh para ilmuan, baik muslim maupun orientalis, misalnya Brockelmann. Salah satu bukunya yang berjudul Bulugh al-Maram min Adilla al-Ahkam sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, juga Fathul Bari fi Syarah al-Bukhari. Dan pada umumnya karya beliau dipergunakan di perguruan tinggi Islam.
2. Fath al-Bari: Syarah Ibnu Hajar al-Asqallany atas Shahih Bukhari
Nama kitab Syarah ini adalah Fath al-Bari bi Shahih al-Bukhari. Kitab Fath al-Bari ini adalah kitab syarah Sahih Bukhari yang paling baik dan paling lengkap.
Dalam kitab ini al-Asqalani menjelaskan masalah bahasa dan I’rab dan menguraikan masalah penting yang tidak ditemukan dalam kitab lain. Beliau juga menguraikan di dalam kitab ini segi balaghah dan sastranya, mengambil hukum, serta memaparkan berbagai masalah yang diperdebatkan oleh para ulama, baik menyangkut fiqih maupun ilmu kalam secara terperinci dan tidak memihak. Di samping itu beliau juga mengumpulkan seluruh sanad hadis dan menelitinya, serta menerangkan tingkat kesahihan dan kedha’ifannya. Semua itu menunjukkan keluasan ilmu dan penguasaannya mengenai kitab-kitab hadis.
Muqaddimah al-Asqallany ini dibagi menjadi beberapa fasal yang menerangkan hal-hal yang terkait dengan Shahih Bukhari, di antaranya:
a. Menjelaskan sebab-sebab yang mendorong Imam Bukhari dalam menulis kitabnya.
b. Menjelaskan tentang judul/Maudhu’ Shahih Bukhari
c. Menjelaskan hadis-hadis munqathi’ yang terdapat dapat kitab Sahih Bukhari
d. Menjelaskan sebab-sebab hadis Mu’allaq, Marfu’ dan Mauquf. Fasal ini menjelaskan hadis-hadis tersebut mulai dari Kitab Wahyu diakhiri dengan kitab Tauhid, sesuai dengan urutan kitab dan bab yang terdapat dalam Shahih Bukhari.
e. Menjelaskan bentuk-bentuk kata yang gharib dalam Sahih Bukhari. Fasal ini penjelasannya disusun berdasarkan huruf Mu’jam dimulai dengan Alif dan diakhiri dengan huruf Ya berdasarkan nama-nama Rawi yang gharib.
f. Penjelasan tentang Mu’talif, Mukhtalif dalam Asma’, Kunyah, Laqab, Nasab dalam Sahih Bukhari. Seperti kata بشير bisa fathah ba, bisa juga dhammah. Ini dijelaskan dalam fasal ini.
g. Penjelasan tentang nama-nama yang muhmal
h. Menjelaskan hadis-hadis yang dikritik oleh Dar-Quthni
i. Menjelaskan nama-nama rawi yang cacat yang terdapat dalam Shahih Bukhari
j. Menjelaskan rujukan dari hadis-hadis yang terdapat dalam Jami’ (Shahih Bukhari) ini
Abu Syuhbah mengungkapkan bahwa Muqaddimah ini amat tingi nilainya. Seandainya ia tulis dengan tinta emas, maka emas itu belum sebanding dengan tulisan itu. sebab ia merupakan kunci untuk memahami sahih Bukhari. Kitab ini selesai ditulis tahun 813 H.
Al-Asqalani mulai menulis kitab Syarah yang menurut rencananya pembahasan tersebut ditulis panjang lebar dan terperinci. Namun ia khawatir bila ada halangan untuk menyelesaikannya, yang mengakibatkan kitab itu selesai namun tidak sempurna. Karena itu beliau menulis syarah tersebut dengan cara sederhana yang diberi nama Fath al-Bari.
Penulisan syarah ini dimulai dengan Kitab Bada’a al-Wahyu yaitu bab Kaifa bada’a wahyu ila Rasul Saw. Ini dapat dilihat pada jilid pertama kitab Syarah yang telah dicetak beberapa kali. Baik di Mesir maupun di negara lain seperti Indonesia. Dan bagian terakhir dari Kitab Syarah ini yaitu Kitab Tauhid dan penutup kitab. (Lihat Ibnu Hajar, Fath al-Bari jilid I dan XIII/XV)
Di dalam mensyarah hadis Ibnu Hajar memulainya dengan mencantumkan ayat al-Qur’an, menjelaskan ayat, disertai pula dengan pendapat ulama. selanjutnya beliau mencantumkan hadis, dimulai dengan menjelaskan sanad hadis, diteruskan kepada syarah matan, yang kesemuanya tidak terlepas dari analisa bahasa.
Kitab Syarah ini terdiri dari 13 jilid sebagaimana yang diungkap oleh Abu Syuhbah, terdiri dari 15 Kitab, jilid VI dan IX masing-masing terdiri 2 kitab. Namun dalam beberapa cetakan dibuat 15 Jilid. Selain itu terdapat pula 2 jilid Fahras selain Muqaddimah. Selanjutnya juga ada juga yang dilengkapi dengan Kitab Taujih al-Qary yang berisi kaidah-kaidah sanad dan kriteria hadis-hadis Bukhari sebanyak 1 jilid. Walaupun punya 2 jilid Fahras namun tiap juz/jilid mempunyai fahras masing-masingnya.
Di dalam penulisan Fath al-Bari ini Ibnu Hajar telah menghitung hadis Sahih Bukhari dengan teliti. Kejelian penghitungan ini ditunjang oleh penulisan Syarah itu sendiri. Di akhir setiap bab, ia menyebutkan jumlah hadis maushul yang marfu’, hadis mu’allaq dan hadis mutabi’, serta perkataan para sahabat dan tabi’in.
Di dalam Muqaddimah Fath al-Bari telah disebutkan bahwa :
a. Seluruh hadis Sahih Bukhari yang maushul tanpa mengulang sebanyak 2. 602 buah.
b. Jumlah matan hadis mu’aalaq namun marfu’ yang tidak disambung pada tempat lain sebanyak 159 buah.
c. Jumlah semua hadis termasuk yang diulang sebanyak 7.397 buah
d. Jumlah hadis Muallaq sebanyak 1.341 buah
e. Jumlah hadis mutabi’ sebanyak 344 buah
f. Jumlah seluruhnya termasuk yang diulang sebanyak 9.082 buah.
Penulisan kitab ini menghabiskan waktu seperempat abad. Dimulai tahun 817, dan selesai tahun 842 H. maka tidak mengherankan bila kita itu paling bagus, teliti dan sempurna. Selain itu, penulisannya dilakukan oleh penyusunnya dengan penuh keikhlasan.
Setelah selesai menulis kitab syarah tersebut, Asqalani mengadakan resepsi agung dihadiri tokoh-tokoh Islam dengan biaya 500 dinar atau sekitar 250 pound Mesir. Kitab ini selalu mendapatkan sambutan hanya dari para ulama, baik pada masa dulu maupun sekarang, dan selalu menjadi kitab rujukan.
Ada beberapa hal lain yang ditemui dalam Kitab Fath al-Bari ini:
a. Dalam mengemukakan hadis-hadis Ibnu Hajar berusaha mencarikan sanad-sanad sehingga sampai kepada Nabi, sehingga dalam Fath al-Bari pembahasannya lebih kuat dari segi rijal hadis.
b. Dalam Fath al-Bari Ibnu Hajar sering mengalihkan Syarah ke Kitab lain atau ke jilid lain:
Contoh: Akan Saya syarahkan di ..................................
Telah Saya syarahkan di ..................
Hal ini dilakukannya untuk mengatisipasi agar tidak terjadi pengulangan
C. Imam al-Nawawi dan Syarahnya atas Kitab Shahih Muslim
1. Biografi Imam al-Nawawi
Beliau lahir di Nawa, Damaskus pada bulan Muharram 631 H dan wafat pada tanggal 24 Rajab 676 H. Imam Nawawi adalah seorang Syekh Islam yang banyak menulis buku, ahli hadis, fikih, dan bahasa. Ia dikenal sebagai mujtahid yang sibuk dengan kegiatan muzakarah. Dikenal pula dengan nama al-Hafiz Muhyiddin an-Nawawi. Sedangkan nama lengkap Imam Nawawi adalah Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarif bin Muri al-Khazami al-Hawarabi al-Syafi’i. Ia seorang Faqih Syafi’i, ahli Hadis dan Zahid.
Imam Nawawi meninggal dalam usia 45 sebelum meninggal, ia sempat pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji beserta orang tuanya, menetap di Madinah selama 1,5 bulan, dan sempat berkunjung ke Baitulmaqdis. Ia tidak menikah sampai akhir hayatnya.
Pada usia 19 tahun ia belajar di sekolah ‘ar-Rawahiya” di Damaskus. Ia sangat tekun dalam mencari ilmu selama 20 tahun, sampai ia menguasai beberapa disiplin ilmu agama, seperti hadis dan ilmu hadis, fikih dan usul fiqih serta bahasa. Guru-gurunya antara lain Rida bin Burhan, az-Zaid Khalid, Abdul Aziz bin Muhammad al-Ansari, Zainuddin bin Abdul Daim, Imaduddin Abdul Karim al-Harastani, zaiduddin Khalaf bin Yusuf, Taqiuddin bin Abi al-Yassar, Jamaluddin bin as-Sirafi, dan Syamsuddin bin Amr. Khusus pelajaran hadis diperolehnya dari ulama hadis seperti Abu Ishaq Ibrahim bin Isa al-Muradi, usul fikih dari al-Qadi at-Taflis, dan fikih dari al-kamal Ishaq al-Mari dan Syamsuddin Abdurrahman al-Ma’mari. Kitab-kitab hadis, seperti al-Kutub as-Sittah, al-Musnad,dan al-Muwatha’ segera dikuasainya. Menurut Ibnu Atar, salah seorang muridnya, ia meluangkan waktu untuk membaca setiap harinya sebanyak 12 pelajaran untuk berbagai disiplin ilmu.
Perhatiannya terhadap kondisi sosial sangat besar. Ditegakkannya amar makruf dan nahi munkar. Ia membimbing para pemimpin dan orang-orang yang zalim dan mungkar kepada agama. Ia melarang masyarakat Syam (Suriah) memakan buah-buahan yang dinilai syubhat, yang oleh para ulama diperselisihkan hukumnya.
Murid-muridnya antara lain al-Khatib Sadar Sulaiman al-Ja’fari, Syihabuddin Ahmad bin Ja’wan, Syihabuddin al-Arbadi, Alanuddin bin Atar, Ibnu Abi al-Fath, al-Mizzi,dan Ibnu Atar.
Sejak berusia 25 tahun hingga wafatnya Imam Nawawi menulis sejumlah kitab, antara lain:
a. Syarh Kitab Hadis susunan al-Baghawi
b. Syarh Hadis karya ad-Daruqudni
c. Ar-Raudah
d. Al-Majma’ (Syah al-Muhazzab)
e. At-Tibyan fi Adab Hamlah al-Qur’an
f. Tahrir at-Tanbih
g. Al-‘Umdah fi Tasbih an-Niyyah
h. Tahzib al-Asma’ wa al-Lughah
i. Syarh Shahih Muslim
j. Khulasah fi al-Hadis
k. Al-Isyarah ila al-Mubhamat
l. Al-Irsyad
m. Ulum al-Hadis
n. At-taqrib wa at-taisir li Ma’rifati Sunan an-Nasyir wa an-Nazir
o. Al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim
p. Al-Arba’Imam Nawawi
q. Riyad as-Shalihin
r. Al-Fatawa
s. Al-Idah fi al-Manasik
t. Al-Azkar
2. Sistematika dan Kandungan Syarah Imam Nawawi atas Kitab Shahih Muslim
Kitab syarah ini bernama al-Minhaj fi Syarhi Sahihi Muslim bin Hajjaj. Dalam kitab ini Imam Nawawi banyak merujuk kepada para pendahulunya , seperti al-Maziri dan Qadi Iyad. Syarah Imam Nawawi ini penjelasannya terkadang pertengahan (tidak panjang dan tidak ringkas), terkadang singkat. Syarah ini banyak menjelaskan masalah akidah, hukum, akhlak, bahasa, nama perawi dan usaha mengkompromikan hadis yang tampak bertentangan, serta menunjukkan dalil-dalil yang dipakai oleh berbagai mazhab.
Kitab ini terdiri dari 9 Jilid dengan 18 Juz. dengan judul Shahih Muslim bi Syarhi Imam al-Nawawi. Dalam mensyarah hadis Imam Nawawi langsung kepada Syarah hadis serta melengkapinya dengan pendapat ulama. selain itu beliau juga mengemukakan hadis-hadis yang serupa yang tegrdapat dalam kitab hadis yang lain, seperti dari Imam Nasa’i dan lainnya.
Sistematikan penulisannya dimulai dari Muqaddimah, kemudian dimulai dengan Kitab iman dan diakhiri dengan kitab Tafsir. Setiap-setiap juz dari kitab ini diberi fahras hadis, walaupun jusz-juz tersebut terdapat dalam satu jilid, tetap saja dibatasi oleh fahras.
Kitab Syarah ini juga dimulai dengan Tarjamah Imam Muslim dan tarjamah pensyarah sendiri yaitu Imam Nawawi. Kitab Syarah ini disertai Muqaddimah yang membahas ilmu hadis dan sebagai kunci Sahih Muslim. Dalam Muqaddimah ini dijelaskan:
a. Isnad hadis hingga sampai kepada Imam Muslim.
b. Keadaan rawi itu sendiri
c. Muwazanah antara Bukhari dan Muslim
d. Keutamaan Shahih Muslim
e. Penjelasan Tentang hadis Mu’allaq yang terdapat dalam Shahih Muslim
f. Keshahihan hadis dalam Kitab Shahih Muslim
g. Dijelaskan tentang perbedaan Haddasana dan Akhbarana
h. Penjelasan Imam Muslim dengan perbedaan kedhobitan rawi
i. Pembagian Imam Muslim terhadap hadis-hadis
j. Kedalaman Imam Muslim dalam takhrij hadis
k. Menjelaskan Kitab Mukharrij ‘Ala Shahih Muslim
l. Penjelasan hadis shahih
m. Penjelasan tentang hadis hasan dan hadis dha’if
n. Penjelasan tentang hadis Munqathi’, Mursal, Marfu’ dan Mauquf
o. Apakah Fi’il Shahabat itu termasuk hujjah ?
p. Sanad yang Mu’an’an
q. Pembagian Tadlis
r. Hukum Mukhtalith
s. Penjelasan al-Nasikh dan Mansukh
t. Pengetahuan tentang Shahabat dan Thabi’in
u. Penjelasan tentang nama yang diulang-ulang
Selanjutnya dalam syarah ini, terutama di bagian awal, terdapat penjelasan yang panjang, yang disusun secara baik dan memuaskan. Namun dalam beberapa tempat lain. Nawawi memberikan syarah secara singkat. Kadang penjelasannya sulit dipahami atau dengan menggunakan kalimat global yang tidak memberi kepuasan kepada para pengkajinya.
Kitab Syarah Imam Nawawi ini adalah kitab syarah Muslim yang terbaik yang sudah dicetak, terutama muqaddimahnya yang sangat berharga, dan pengaturan bab-babnya secara sempurna. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali di Kairo dan India.
D. Al-Zarqany dan Syarahnya atas Kitab Muwatha’ Malik
1. Biografi al-Zarqany
Nama beliau adalah Muhammad al-Zarqani bin Abdulbaqi bin Yusuf bin Ahmad bin ‘Ulwan al-Mishr al-Azhari al-Maliki, selain itu disebut juga nama beliau Abu Abdillah Muhammad bin ‘Abdul al-Baqi bin Yusuf al-Zarqani. Namun termasyur dengan nama al-Zarqani seorang Imam hadis. Al-Zarkali mengatakan bahwa al-Zarqani merupakan ulama terakhir yang ada di negeri Mesir. Beliau lahir pada tahun 1055 H dan wafat 1122 H di Kairo. Sedangkan nasabnya kepada Zarqan merupakan sebuah desa yang terletak dekat Mesir.
Beliau berguru kepada orang tuanya al-Naur Ali al-Syibramalisy, Syaikh Muhammad al-Babily, dan selainnya.
Diantara karya al-Zarqani yang terkenal:
a. Syarah ‘Ala Muwatha’
b. Syarah ‘Ala Mawahib ad-Diniyah
c. Syarah al-Mandhumah al-Baiquniyah
d. Mukhtashar al-Maqashid al-Hasanah fi al-Ahadis al-Musytahirah
e. Wushulu al-Amany fi al-Hadis.
Tidak banyak sumber yang membicarakan tentang riwayat hidup al-Zarqani, tetapi dalam beberapa permulaan kitab karyanya ditemukan sekilas tentang riwayat hidup al-Zarqany sendiri.
2. Syarah al-Zarqany atas Muwatha’ Imam Malik
Kitab-kitab Muwatha’ yang umum dipakai adalah kitab Muwatha’ yang telah disyarahkan oleh al-Zarqani. Nama asli Kitab syarah ini adalah Abhaju al-Masalik bi Syarhi Muwatha’. Kitab ini terdiri dari 5 jilid, yang setiap jilidnya mempunyai fahras sendiri. Kitab ini mulai ditulis oleh al-Zarqani pada 10 Jumadil Awal 1109 H.(muqaddimah Kitab). Dan selesai pada tanggal 25 Ramadhan 1383 di Mesir. (Khatimah Kitab)
Syarah Muwatha’ yang disusun oleh al-Zarqany ini dimulai dengan Muqaddimah yang berisi Pembukaan oleh penyusun, yang berisi tentang penjelasan bahwa kitab syarah ini mulai disusun oleh al-Zarqani pada 10 Jumadil Awal 1109 H. beliau menjelaskan bahwa dalam mensyarah kitab Muwatha’ ini dilakukan dengan penjelasan yang sedang, tidak pendek dan tidak panjang. Dan di dalam menjelaskan ini beliau mengindari pengulangan. Namun beliau mengalas bahwa keberadaan manusia yang mempunyai sifat pelupa tidak mungkin dihindari. Demikianlah seorang Zarqani yang senantiasa dalam menyusun syarah ini, berlindung kepada Allah dari sifat hasad.
Kemudian Penjelasan ini dilanjutkan dengan menjelaskan Kitab Muwatha’ sendiri, yang menerangkan tentang Imam Malik sebagai penyusun Kitab Muwatha’, selanjutnya beliau menjelaskan tentang kandungan Muwatha’ serta bagaimana pendapat ulama terhadap Imam Malik dan Muwatha’ yang beliau susun. (tentang penjelasan ini telah dikemukakan dalam pembahasan terdahulu)
Syarah Hadis dimulai dengan Bab Wuqut al-Shalat, pada juz I, kemudian diakhiri dengan bab Asma’ al-Nabi Saw pada juz ke V. Ini seperti yang terdapat dalam Kitab Muwatha karya Imam Malik. Demikian juga tentang susunan Kitab, bab, dan hadis, sama seperti Muwatha’ sendiri, namun ditambah dengan syarah oleh al-Zarqani.
Di dalam Syarah ini, ketika menjelaskan hadis al-Zarqani menguatkan dengan ayat al-Qur’an, kemudian beliau menjelaskan hadis mulai dari sanad, dan berlanjut kepada penjelasan tentang matan hadis.
Kitab Syarah ini juga telah dicetak-berulang kali dengan model cetakan yang berbeda-beda.
E. Penilai Kitab
Di antara ketiga Kitab Syarah yang dipaparkan di atas. Nampaknya Fath al-Bary mendapat tempat yang istimewa dalam penilaian ulama. Al-Allama Syaikh Muhammad bin Ali as-San’ani asy-Syaukani (1255 H) penulis Nailul Autar, mengemukakan penilaiannya ketika diminta menulis kitab syarah sahih Bukhari, ia mengagumi Ibnu hajar. Dia mengutip sebuah hadis La Hijrah ba’da fathi (tidak ada hijrah setelah penaklukan Makkah). Dia meminjam istilah dari hadis itu sebagai ungkapan bahwa tidak ada kitab syarah sahih Bukhari yang melebihi Fath al-Bari.
Al-Allama Ibnu Khaldun, dalam muqaddimahnya mengutip perkataan guru-gurunya yang mengatakan: “Mensyarah sihih Bukhari adalah tugas yang dibebankan pada umat ini”. ucapan ini secara pasti dinyatakan sebelum adanya Fath al-Bari. Dengan demikian Ibnu Hajar telah menunaikan tugas yang menjadi tanggung jawab umat ini.
Untuk melihat sebuah penilaian lebih terhadap sebuah karya Syarah tentunya seorang penilai akan dihadapkan kepada Kitab syarah lain yang mengacu kepada kitab rujukan yang sama. Seperti halnya Syarah terhadap Shahih Bukhari ini, yang yang juga dilakukan oleh ulama lain, seperti Syihabuddin al-Qasthallani yang mensyarah Kitab Shahih Bukhari dengan nama Irsyad al-Syary.
Dengan kitab ini bisa dibandingkan bagaimana nilai lebih dari Fath al-Bary. Kalau dilihat dari pembahasannya Irsyad al-Syary lebih bernuansa Fiqh. Sedangkan Fath al-Bary lebih mendalam dalam pembahasan al-Rijal Hadis-nya. hal lain terlihat bahwa Irsyad al-Syary kurang dalam pembahasan hadis serta disyarahkan perkalimat. Sedangkan Fath al-Bary disyarahkan secara utuh.
Jadi, tidak dapat dipungkiri sampai saat ini, Fath al-Bary masih sebagai Syarah Bukhari yang terbaik.
Seperti halnya Fath al-Bary, Shahih Muslim bi Syarhi Imam al-Nawawi juga mendapat perhatian para ulama. Di antara kitab Syarah yang mensyarah Kitab Shahih Muslim. Syarah Imam al-Nawawi ini-lah yang sering dijadikan rujukan dalam syarah Shahih Muslim.
Walaupun tidak selengkap Fath al-Bary dalam menjelaskan hadis-nya. kitab ini hadir dengan pembahasan yang sederhana, disebabkan pada waktu itu penuntut ilmu tidak suka kitab-kitab yang panjang.
Abu Syuhbah mengungkapkan bahwa diharapkan sejumlah ulama hadis membuat proyek penyusunan Syarah Shahih Muslim yang lengkap, untuk memenuhi segala yang dibutuhkan oleh upara peneliti dan pelajar. Ini sebagai bukti bahwa Syarah yang ada terhadap Shahih Muslim masih belum lengkap.
Sedangkan Kitab al-Zarqani yang merupakan syarah Kitab Muwatha’ juga merupakan kitab yang penting keberadaannya. Al-Zarqani sebagai ulama Hadis, sekaligus Fiqih telah melakukan mensyarahan yang sangat membantu dalam mengungkap hadis-hadis yang terdapat dalam Kitab Muwatha’ Imam Malik.
F. Analisa
Melihat perkembangan kitab-kitab syarah mulai abad VIII ini, terlihat adanya efek positif terhadap stagnasi berfikir umat masa itu. ide-ide kreatif muncul untuk membuka corak baru dalam memunculkan kitab-kitab baru. Walau bukan merupakan karya orisinil, akan tetapi ini memperlihatkan nuansa baru dalam perkembangan pemikiran di dunia Islam.
Munculnya kitab-kitab Syarah ini memberi peluang kepada para ulama untuk mengemukakan pemahaman mereka terhadap teks-teks agama yang telah mengundang munculnya taqlid dan semacamnya pada masa sebelumnya.
Dalam Bidang hadis muncul berbagai Kitab Syarah yang berusaha merebut peringkat terbaik di hati umat. Kemunculan Kitab syarah ini berlanjut terus, hingga pada akhirnya muncul pula Hasyiyah yang kembali melakukan elaborasi terhadap syarah yang ada. Dengan demikian sebuah Kitab Karya ulama masa lalu, bisa menjadi semakin diterima karena senantiasa berkembang sejalan dengan usaha-usaha yang dilakukan ulama.
Seperti yang dilakukan Ibnu Hajar dalam Fath al-Bary. Beliau telah berusaha mengungkapkan penjelasan yang menyeluruh dalam mensyarahkan kitab Shahih Bukhari. Sehingga menguatkan keberadaan Shahih Bukhari sebagai kitab Mu’tamad. Hadis-hadis yang dikritik oleh para ulama seperti Dar al-Quthny, telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Syarah-nya.
Demikian pula dengan Shahih Muslim yang telah disyarahkan oleh Imam al-Nawawi. Al-Nawawi juga menjelaskan hadis-hadis yang terdapat dalam Shahih Muslim termasuk hadis-hadis yang dikritik ulama.
Kitab Syarah Muwatha’ juga berusaha menjelaskan makna hadis termasuk sanad-sanad yang dipertanyakan dalam penyusunan kitab ini. seperti sanadnya yang senantiasa menggunakan nama murid-murid Imam Malik. Ini telah dijelaskan dalam Kitab Muwatha’
G. Penutup
Kajian kitab syarah ini merupakan suatu kajian yang tidak terlepas dari karya-karya syarah yang muncul setelah masa tadwin hadis, dan setelah masa kemandekan intelektual di dunia Islam.
Berbagai kitab syarah yang merupakan wujud dari kepedulian ulama dalam mengkaji karya-karya ilmiyah ulama masa lalu. Untuk selanjutnya dipahami oleh umat belakangan. Namun kajian ini tidak akan berhenti begitu saja, kajian syarah ini terus membuka peluang bagi ulama untuk menggali terus makna-makna yang terdapat dalam kitab-kitab orisinil masa lalu. Wallahu ‘alam bis-Shawab

DAFTAR PUSTAKA
Nurcholis Madjid, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 278
Syekh Kamil Muhammad Muhammad ‘Uwaidhah, Ibnu Hajar al-Asqalany, (selanjutnya disebut ‘uwaidhah), (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), h. 7
Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1986), h. 154. Lihat juga’Uwaidhah, op.cit., h. 31-32
Muhammad Abu Syuhbah, Kutubus Sittah, Judul Asli: Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihhah al-Sittah, penerjemah Ahmad Ustman, (selanjutnya disebut Abu Syuhbah), (Surabaya: Pustaka Progresif, 1993), h. 56
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalany, Hadyu al-Sari Muqaddimah Fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), h. 5 dst..
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalany, Fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Jilid I dan XV
Imam al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi al-Nawawi, (Beirut: Dar Fikr, 1981), h. ه
Abdullah Mustafa al-Maraghi, Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, Judul Asli: Fath al-Mubin fi Thabaqat al-Ushuliyin, penerjemah Husein Muhammad, (Yogyakarta: LKPSMO31, 2001), h. 209
Al-Zarqani, Syarah ‘Ala Mawahib ad-Diniyah, (Beirut: Dar Kutub Ilmiyah, 1996), h. 8. Lihat juga
Abu Abdillah Muhammad bin ‘Abdul al-Baqi bin Yusuf al-Zarqani, Syarah Muwatha Imam Malik, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Mushtafa al-Babi al-Halabi, 1961)
Hasyim Ahmad Umar, al-Sunnah al-Nabawiyah wa ‘Ulumuha., (Kairo: Maktabah Gharib, t.th.), h. 221

Tidak ada komentar:

Posting Komentar