Selasa, 07 April 2009

NABI MUHAMMAD SEBAGAI PEMIMPIN AGAMA DAN KEPALA NEGARA

I Pendahuluan
Kehidupan Muhammad dikenal dari sumber-sumber yang berbeda-beda, karena al-Qur’an berisi perujukan-perujukan tak langsung ke kejadian-kejadian dalam kehidupannya dan kehidupan masyarakat muslim yang masih muda itu. Namun, perkataan-perkataannya dan riwayat mengenai tindakannya dilestarikan dengan cermat dan dikumpulkan sehingga terbentuklah suatu ikhtisar bagaimana masyarakat melihat Muhammad.
Banyak legenda-legenda yang diciptakan seputar intisari bahan faktual tentang beliau, namun tidak perlu diperdebatkan bahwa ternyata kharisma seorang pemimpin keagamaan yang sejati dapat dilihat lebih baik dari legenda tersebut ketimbang fakta yang kering tentang kehidupannya.
Nabi Muhammad Saw. sebagai figur sentral Islam tidak akan pernah berhenti untuk dikaji eksistensinya. Baik itu kedudukannya sebagai pemimpin spritual atau sebagai kepala negara ketika berdirinya negara Islam Madinah.
Berbagai kajian sejarah baik yang dilakukan oleh muslim atau non-muslim selalu mengarah kepada keluhuran kedudukannya sebagai pemimpin “kharismatik” yang dikagumi oleh seluruh umat.
Periodesasi dakwah yang dilakukan beliau sejak awal kerasulan selalu manjadi hal yang sangat menarik untuk dikaji. Hal ini disebabkan masa dakwah yang terbagi menjadi periode mekkah dan periode Madinah. Dimana dua daerah inilah yang menjadi pusat penyiaran Islam yang diwahyukan Allah kepadanya. Bahkan, ketika beliau berada di Madinah, saat itulah berdiri negara Islam pertama dalam sejarah dan Nabi Muhammad Saw. sendiri sebagai kepala negaranya.
Berbagai pendapat bermunculan tentang kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai seorang pemimpin baik dalam agama atau negara. Namun pembahasan akan dibatasi pada persoalan kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. ketika beliau berada di dua daerah yang penting dalam sejarah Islam awal yaitu Mekkah dan Madinah. Diawali dengan gambaran umum tentang keadaan masyarakat Arab pra-Islam, kemudian bagaimana setelah beliau ditetapkan Allah sebagai pengemban risalah dan sebagai pemimpin bagi masyarakat awal Islam.

II Pembahasan
A Gambaran Umum Masyarakat Arab Pra-Islam

Kata Arab berasal dari kata ‘Arabah bahasa Ibrani yang seasal dengan kata ‘abhar yang berarti rihlah atau pengembaraan. Istilah ini dipakaikan kepada masyarakat penghuni Jazirah Arab yang merupakan suatu bangsa pengembara yang hidup selalu berpindah-pindah.[1]
Bangsa Arab terdiri dari dua kelompok besar yaitu al-Baidah yaitu kelompok yang telah punah, lenyap keberadaannya dari muka bumi, mereka tidak diketahui kecuali dari kitab Samawi, seperti bangsa ‘Ad dan Tsamud. Dan yang kedua al-Baqiyah yaitu yang mempunyai pengaruh sampai sekarang.[2]
Sebelum Islam, kehidupan bangsa Arab ini dikenal dengan kehidupan Jahiliyah, yaitu suatu kehidupan yang terlepas dari ajaran agama, tidak bermoral, walaupun pada masa itu masyarakatnya menganut suatu agama, namun agama tersebut tidak berpengaruh dalam hidup mereka. Sehingga hukum yang berlaku pada masa itu adalah hukum rimba.[3]
Segala macam sistem yang dapat dianggap sebagai suatu sistem politik seperti pengertian sekarang sebagaimana layaknya di negara maju masa itu, belum dikenal. Pada masa itu di daerah Tihama, Hijaz, Najd dan sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab hanya mengenal hidup mengembara, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Dasar hidup berpindah-pindah ini adalah kabilah yang selalu berpindah dan tidak mengenal suatu peraturan atau tata cara.[4]
Jadi, apa yang berkembang pada masyarakat Arab pada masa itu hanya pengaruh dari bangsa-bangsa yang berada di sekitarnya, yaitu bangsa-bangsa yang lebih maju budaya dan peradabannya dari bangsa Arab sendiri. Pengaruh tersebut masuk ke Jazirah Arab melalui beberapa jalur seperti jalur perdagangan yaitu dengan mengadakan hubungan dagang dengan bangsa-bangsa Syria, Persia, Habsyi, Mesir, dan Romawi yang semuanya telah mendapat pengaruh dari Hellenisme. Kemudian melalui kerajaan-kerajaan protektorat seperti banyak berdirinya koloni-koloni tawanan perang Romawi dan Persia di Ghassan dan Hirah. Penganut agama Yahudi juga banyak mendirikan koloni di jazirah Arab, yang terpenting di antaranya adalah Yatsrib. Penduduk koloni ini terdiri dari orang-orang Yahudi dan orang-orang Arab yang menganut agama Yahudi.[5] Mereka inilah yang mempengaruhi perkembangan peradaban bangsa Arab, seperti mayoritas penganut agama Yahudi pandai bercocok tanam dan membuat alat-alat dari besi, seperti perhiasan dan persenjataan.
Mekkah sebagai kota penting dalam perkembangan peradaban bangsa Arab pada awalnya hanya merupakan tempat peristirahatan bagi kabilah-kabilah Arab yang terkenal hidup mengembara, karena. Di sini terdapat sumber air yang dapat memenuhi kebutuhan air bagi kabilah yang melintasnya. Tetapi selanjutnya, berawal dari peristiwa pengasingan Hajar dan Ismail istri Nabi Ibrahim. Di daerah ini Hajar dan Ismail mendirikan gubuk tempat mereka berlindung. Pada waktu Hajar dan Ismail kehabisan bekal, Hajar berusaha bolak balik untuk mencari air. Ketika itulah Ismail mengorek tanah yang kemudian dari tanah itu keluar air sehingga akhirnya dikenal dengan sumur “Zam-zam” yang menjadi daya tarik bagi beberapa kabilah untuk menetap disekitar sumber air ini. selanjutnya di tempat ini Ismail dan Ibrahim ayahnya membangun rumah suci (Ka’bah).[6] Al-Qur’an sendiri menjelaskan tentang Ka’bah dalam surat Ali Imran ayat 96.
Eksistensi sumur “Zam-zam” dan Ka’bah inilah sebagai penunjang berkembangnya kehidupan dan peradaban di daerah Mekkah sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran bahwa Ka’bah sebagai tempat berhimpun manusia sebagaimana juga telah dijelaskan dalam surat al Baqarah ayat 125 dan 126.
Kehidupan beragama penduduk Mekkah pra-Islam ini digambarkan bahwa menjelang Muhammad diutus menjadi rasul mereka tetap menyembah berhala. Sebagai bukti dari tesis ini adalah istri Nabi Muhammad Saw. sendiri yaitu khadijah. Sewaktu anaknya Qasim dan Abdullah meninggal, untuk menenangkan hati dan pikirannya, dia membuat sesajen untuk dipersembahkan kepada berhala.[7]
Dari gambaran ini terlihat bagaimana situasi masyarakat Arab khusus makkah pra-Islam. Kebudayaan mereka banyak dipengaruhi oleh kebudayaan bangsa sekitarnya. Demikian juga kehidupan beragama yang belum mengenal monoteis, sehingga berhala dianggap memiliki kekuatan yang mampu memenuhi keinginan mereka.
B. Periode Mekkah
Muhammad dilahirkan dalam cabang keluarga Hasyim dari keluarga besar Quraisy, yang berkuasa pada awal abad ketujuh di Makkah, yaitu pusat perdagangan besar di Arabia. Pada umumnya dia diyakini lahir pada sekitar 570 M atau 569 atau 571 M. ayahnya bernama Abdullah putra Abdul Muthalib yang meninggal sebelum kelahirannya. Sedangkan ibunya Aminah meninggal ketika dia berusia kira-kira enam tahun.[8]
Seperti anak laki-laki lainnya di kalangan Arab, si bayi Muhammad diserahkan perawatannya kepada seorang pengasuh yang bernama Halimah. Di asuhan Halimah ini ada riwayat yang mengatakan bahwa beliau pernah hilang – tanpa membahayakan –, menurut beberapa penulis sejarah pada saat hilang inilah terjadinya pembelahan dada Muhammad.[9]
Sejak kelahirannya, Muhammad diserahkan kepada kakeknya Abdul Muthalib yang meninggal kira-kira dua tahun setelah ibunya wafat.[10] Selanjutnya dia diasuh pamannya. Di bawah asuhan paman Abu Thalib dia belajar berdagang. Sehingga perdagangan mendapat terhormat dalam kehidupan Islam.
Ketika Muhammad mencapai usia 25 tahun, wanita yang menjadi pemodalnya, terkesan oleh kejujuran dan ketulusan Muhammad, yang kemudian dinikahinya. Pasangan ini mempunyai 4 orang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki yang meninggal saat masih bayi.[11]
Ketika Nabi Muhammad Saw. berusia 40 tahun terjadi perubahan sikapnya. Beliau tidak puas terhadap perilaku penyembahan masyarakat makkah pada waktu itu terhadap berhala. Muhammad pergi mengasingkan diri untuk mencari hakekat kebenaran ke Gua Hira’ di jabal Nur. Wahyu pertama turun tahun 610 M, tatkala beliau sedang tidur dalam gua. Ketika itulah datang Jibril dengan membawa wahyu pertama yaitu: Iqra’ (bacalah!)[12]
Wahyu yang pertama ini adalah perintah untuk membaca, kemudian diikuti dengan wahyu-wahyu yang lain yang berisikan perintah untuk menghentikan kepercayaan dan penyembahan terhadap berhala oleh masyarakatnya.
Pada mula pengembangan dakwah beliau lakukan dengan cara rahasia. Menurut riwayat tradisional rahasia itu disimpan selama tiga tahun, tetapi selama tiga tahun tersebut sejumlah pengikut baru didapatinya dari kalangan orang-orang muda Mekkah. Sebagian besar mereka berasal dari golongan rendah, hanya beberapa orang yang berasal dari strata yang tinggi seperti Abu Bakar yang akhirnya menjadi mertua beliau.[13]
Tujuan utama dakwah Nabi Muhammad Saw. pada masa awal kerasulannya adalah untuk meyakinkan umat sebangsanya akan kebenaran dan keabsahan wahyu yang dibawanya.
Setelah lebih kurang tiga tahun waktu berlalu lamanya Nabi Muhammad menyampaikan kandungan wahyu pertama itu secara sembunyi-sembunyi (sirr) terhadap keluarga dekat dan orang yang beliau kenal dekat, berhasillah beliau mendapat dukungan dari Khadijah Binti Khuwailid (isteri beliau)orang pertama sekali membenarkan kenabian, Abu Bakar al Shiddiq, ‘Ali bin Abi Thalib yang telah menerima Islam. barulah wahyu selanjutnya diturunkan kepada Nabi Muhammad, yaitu sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan Risalah kepada seluruh umat manusia.
Munawir Sadzali mengatakan bahwa Muhammad Saw. memang dipersiapkan untuk membangun suatu peradaban baru yang positif. Maka demikianlah Nabi memulai da’wah Islam sembunyi-sembunyi (sirr) dari aktifitas ini Abu Bakar Shiddiq, ‘Ali bin Abi Thalib, Khadijah Binti Khuwailid menerima agama Islam. Dakwah dengan metode ini berlangsung selama tiga tahun.[14]
Setelah wahyu yang kedua turun dan diikuti oleh wahyu-wahyu selanjutnya, resmilah Nabi Muhammad saw. diangkat oleh Allah swt. menjadi rasul yang bertugas membebaskan manusia dari perbudakan berhala dan nafsu, merobah masyarakat yang berperadaban musyrik menjadi masyarakat yang berperadaban tauhid. Tugas-tugas kerasulan itu termuat dalam al-Qur’an.
Kalau diperhatikan masa awal turunnya wahyu ini terlihat bahwa titik sentral ajaran baru yang dibawa Muhammad adalah bahwa tiada tuhan selain Allah, Yang Maha Kuasa sekaligus Maha Esa. Dari sini dapat diketahui bahwa pengakuan Nabi Muhammad Saw. merupakan isyarat bahwa beliau adalah penyambung lidah Allah SWT.
Pernyataan terbuka tentang panggilan ini telah mengakibatkan bangkitnya perlawanan dari sukunya sendiri yaitu klan Quraisy. Mereka melihat bahaya besar dari pernyataan Nabi Muhammad Saw. bagi keuntungan dan prestise mereka sebagai pewaris penjaga Ka’bah sebagai tempat suci yang didatangi oleh ribuan pengunjung setiap tahun. Argumentasinya untuk membujuk clan Quraisy tentang pernyataan kenabiannya hanya membangkitkan kemarahan mereka dan telah dianggap begitu besar bahayanya.
Dengan berhasilnya Rasulullah membentuk komunitas umat Islam, meskipun jumlahnya kecil, tapi mempunyai militansi yang tinggi terhadap Islam, sehingga mereka rela mati sahid demi membela Islam dan Rasulullah SAW. hal ini menimbulkan reaksi yang hebat dari kalangan kafir Qurasy, orang Quraisy bangkit untuk menghadang revolusi yang datang secara tak terduga oleh mereka yang sangat mengkhawatirkan akan merusak tradisi warisan nenek moyang mereka.
Dari sini mulailah kaum Quraisy mengadakan perhitungan dengan umat Islam, hingga mereka selalu melakukan tekanan-tekanan dan penyerangan, sampai Rasulullah saw. bersama umat Islam melakukan hijrah ke Yatsrib (Madinah).
Dari sini terlihat bagaimana posisi nabi pada awal Islam disiarkan beliau adalah tidak lebih sebagai seorang pemimpin agama yang diwahyukan Allah. Nabi Muhammad saw sebagai kepala agama di Mekkah sejalan dengan muatan ayat-ayat Al Quran yang diturunkan di mekah. “Ayat-ayat yang turun di Makkah adalah khas bagi menetapkan dan meneguhkan ‘Aqidah Islam yang pokok yaitu Tauhid. Dan menentang penyambahan terhadap berhala dan menuhankan benda dan seruan da’wah kepada manusia agar memerdekakan akal dan jiwa dari perbudakan adat, kebiasaan tradisi dan taqlid.”[15]
Namun bukan berarti prinsip-prinsip kemasyarakat menuju terbentuknya suatu negara belum ada sewaktu Nabi berada di Mekah. Ide Nabi Muhammad untuk menegakkan masyarakat seagama tidak hanya tercetus di Madinah seperti yang dinyatakan Hurgronye tetapi sebenarnya sudah ada ketika ia di Makkah. [16]
Beberapa ayat yang diturunkan di Mekkah telah mengandung prinsip hidup bermasyarakat, seperti : surat al-Maun yang oleh sebagai besar mufassir mengatakan bahwa ayat 1-2 diturunkan di Makkah dan yang selanjutnya turun di Medinah.[17] Semangat inilah yang kelak menghasilkan terbentuknya masyarakat Islam Madinah.
C. Periode Madinah
Madinah Al Munawwarah pada awalnya bernama Yatsrib. Yatsrib merupakan sumber ketenangan dengan tanah yang subur dan air yang berlimpah ruah. Ia dikelilingi oleh bebatuan gunung berapi hitam. Wilayah paling penting adalah Harrah waqim dibagian timur dan Harrah al wabarah di bagian barat. Harrah waqim lebih subur dan lebih padat penduduknya dari Harrah al Wabarah.[18]
Dalam tulisan sejarah dapat ditemui beberapa suku dan kebangsaan kota Madinah sebelum datangnya Nabi Muhammad saw. ke kota tersebut diantaranya adalah Yahudi dan Bangsa Arab sendiri. Kedatangan Yahudi ke Madinah ada beberapa keterangan. Keterangan yang banyak di dapat adalah bahwa berimigrasi ke Madinah pada abad pertama dan kedua masehi. Sebagaimana keterangan Akram Dhiyauddin Umari bahwa setelah orang-orang Romawi menguasai Syiria dan Mesir pada abad pertama sebelum masehi, dan menguasai Nabataean pada abad kedua masehi. Kehadiran orang-orang Romawi menyebabkan Yahudi pindah ke Jazirah Arabia yang relatif terhindar dari dominasi Romawi.[19]
Bangsa Arab yang terdiri Aus dan Khazraj hidup di Yatsrib, suatu daerah yang wilayah-wilayah suburnya telah diduduki terlebih dahulu oleh Yahudi. Kenyataan ini memaksa Aus dan Khazraj menyingkir ke daerah-daerah padang pasir.[20]
Dari beberapa pendapat tentang penduduk Madinah sebelum hijrah, terlihat bahwa penduduk atau masyarakat di Madinah telah mengalami kontak sosial yang baik dibanding kota Mekkah. Selanjutnya kedua suku ini sangat berperan dalam membangun kota Madinah bersama Nabi sesudah hijrah, walaupun tidak seluruhnya ke arah positif. Kondisi ini telah membentuk sebuah peradaban yang baru dalam sejarah Islam.
Perkembangan peradaban Madinah tidak terlepas dari pengaruh Mekkah masa itu. Hal ini terbukti dengan telah adanya kontak antara mekah dan Madinah sebelum Nabi hijrah seperti terlaksananya dua kali “Bai’at”, yaitu:[21]
1. Bai’at Aqabah pertama melahirkan duta Islam di Madinah, Rasulullah sawa mengirim Mush’ab bin Umair al-Abdary, seorang pemuda Islam berangkat ke Madinah bersama 12 orang penduduk Yatsrib yang mengembangkan Islam di Madinah. Bai’at Aqabah pertama ini dilaksanakan di Aqabah, Mina pada tahun kesebelas dari kenabian.
2. Bai’at aqabah kedua dilaksanakan pada tahun ketiga belas dari nubuwah, di Aqabah . berdasarkan Baiat ini Rasulullah menganjurkan umat Islam untuk hijrah ke Yastrib pada akhir tahun itu juga dan beberapa bulan kemudian Nabi sendiri hijrah.
Tekanan-tekanan dari kafir Quraisy Mekkah semakin dirasakan oleh kaum muslimin Mekkah. Usaha-usaha dilakukan oleh Nabi untuk menghindari tekanan-tekanan tersebut, seperti menghijrahkan mereka ke Habsyah. Namun tekanan-tekanan demi tekanan yang dilontarkan kepada kaum muslimin yang berada di Mekkah tidak henti-hentinya.
Pada tahun 622 Masehi, Nabi Muhammad Saw. dipaksa meninggalkan Mekkah. Dia menyingkir bersama pengikutnya ke kota Yatsrib yang kemudian menjadi Madinah. Perpindahan ini menandai suatu babak baru dalam perkembangan agama Islam, dan pentingnya peristiwa itu disahkan beberapa tahun kemudian ketika hal itu dijadikan hari bersejarah, yaitu waktu dimulainya catatan-catatan dalam sejarah Islam.[22]
Di Madinah Nabi Muhammad Saw. diangkat oleh suku Auz dan Khajraj sebagai pemimpin selain juga beliau sebagai rasul.[23] Dengan demikian secara otomatis fungsi Nabi Muhammad Saw. di Madinah menjadi Rasul sekaligus menjadi kepala negara.
Ada dua teori modern tentang negara yang dikemukakan oleh Hegel dan Marx.[24] Hegel mengatakan bahwa negara merupakan inkarnasi ide suci dan karenanya ia harus berada di atas segala-galanya.[25] Jadi menurut teori ini setiap warga harus menyerahkan seluruh dedikasinya kepada negara dan negara sebagai aparat yang didewakan, yang berhak menuntut segala sesuatu dari warganya.
Berbeda dengan Marx yang berpendapat bahwa negara pada hakikatnya adalah aparat atau mesin opresi (penindasan), tirani, dan eksploitasi kaum pekerja oleh pemilik alat-alat produksi dan pemegang distribusi kekayaan yang mencelakakan kelas pekerja.[26]
Dari dua pengertian tersebut, terlihat bahwa Hegel menganggap bahwa kuat dan mekarnya suatu negara berarti tercapainya cita-cita manusia. Namun Marx beranggapan bahwa lenyapnya suatu negara sebagai kebajikan puncak atau puncah kebahagian manusia.
Berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Abul A’la al-Maududi yang nota bene berpegang pada al-Qur’an dengan mengatakan bahwa pembentukan negara adalah sebagian dari misi Islam. Dengan demikian membangun sebuah negara merupakan salah satu kewajiban agama.[27] Jadi sebuah negara yang sudah dibangun menurutnya perlu dipelihara eksistensinya, tetapi tidak boleh didewakan seperti kata Hegel. Sementara itu, Islam menolak pula utopia Marx yang ingin melenyapkan negara yang pada akhirnya akan menimbulkan anarki.
Al-Maududi menerangkan beberapa tujuan diselenggarakannya negara berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah:[28]
1. Untuk menghindari terjadinya eksploitasi antara manusia, antar kelompok atau kelas dalam masyarakat.
2. Untuk memelihara kebebasan warga negara
3. Menegakkan sistem keadilan sosial sebagai diinginkan al-Qur’an
4. Memberantas setiap kejahatan dan mendorong setiap kebajikan.
5. Menjadikan negara sebagai tempat tinggal yang teduh dan mengayomi bagi setiap warga negara dengan jalan pemberlakuan hukum tanpa diskriminasi.
Dari uraian Maududi di atas terlihat bahwa negara dalam ajaran Islam hanyalah merupakan instrumen pembaharuan yang berkesinambungan. Hal ini disebabkan bahwa setiap perangkat negara dibuat demi kepentingan rakyat. Sehingga dapat berubah setiap waktu selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
Tujuan inilah yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah Saw dalam praktek amaliyahnya. Beliau telah memilih masyarakat Islam yaitu masyarakat yang lahir dengan munculnya Islam, yang telah meraih kekuasaan politis ke Madinah sebagai bentuk negaranya yang bertumpu atas dasar ajaran-ajaran al-Qur’an.
Dalam periode Madinah, kenabian Nabi Muhammad Saw. menemukan tanggapan yang lebih baik, karena itu terjadi peningkatan secara cepat tidak hanya dalam kekuasaan agama, tetapi juga dalam kekuasaan politik bagi Nabi Muhammad Saw. Barangkali ini memang suatu fenomena yang tidak aneh yang terjadi pada masyarakat yang sederhana dan demokratis. Secara teoritis, ketika Nabi dalam kedudukan untuk lebih memantapkan kekuasaan tanpa diiringi paksaan terhadap penduduk Madinah atau lainnya untuk percaya pada ajaran-ajaran yang dibawanya, dan tugas menyampaikan risalah digambarkan sebagai suatu ajakan (da’wah) semata. Ternyata banyak dari mereka yang kemudian terbujuk untuk mengikutinya.[29]
Selama di Madinah Nabi menghadapi tanggung jawab baru sebagai pemimpin suatu masyarakat “Negara Kota”. Beliau juga dihadapkan kepada problem bagaimana mengatur sebuah masyarakat yang bukan suatu negara monolitis, namun sebuah negara yang terbentuk dari berbagai suku dan agama. Salah satu tindakan Nabi paling pertama begitu beliau tiba di Medinah adalah menuliskan apa yang kemudian dikenal sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia yang dinamakan Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah yang mengatur hubungan antara sesama muslim dan antara kaum muslim dan non muslim. Dalam konstitusi tersebut hak privilese dan kemerdekaan kaum non muslim dijamin penuh. Bahasa mereka, agama mereka, kebudayaan mereka, berhak dipertahankan dan dilestarikan untuk generasi pada masa depan dengan mendidiknya pada sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan sendiri.[30]
Orang-orang Yahudi penghuni Madinah dan sekitarnya ternyata keras kepala, terutama disebabkan rasa superioritas dari Nabi Muhammad SAW. yang dianggap telah menyajikan cerita dari Kitab Injil yang terubah, sebagaimana didengarnya dari para tokoh agama Yahudi ataupun orang-orang Nashrani. Mereka menyatakan bahwa mereka memiliki sumber asli cerita-cerita itu, Nabi Muhammad SAW membalas dengan menuduh mereka telah memalsukan Kitab Injil. Ketika usaha itu gagal untuk mempengaruhi, Ia singkirkan bahaya yang mungkin mereka timbulkan dengan perang terhadap mereka.[31]
Segera setelah Negara Madinah memperoleh kekuatan bersenjata, Nabi berniat menyerang orang-orang kafir di Mekkah; tindakan ini dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, ajakan bagi pengikutnya untuk berjihad fii sabilillah. Kedua, karena keinginan untuk merebut tempat suci tradisional rakyatnya sendiri (Masjidil Haram).[32] Usahanya berhasil, dan meskipun kota-kota lainnya mengikuti perkembangan Madinah sebagai ibukota kekuasaan Nabi Muhammad SAW. Mekkah tetap merupakan pusat spiritual bagi agama Islam. Efek dari keberhasilan Nabi dan pengaruh agama yang meningkat harus diterapkan terhadap berbagai suku Arab yang suka berperang agar menjadi suatu ikatan (kesatuan) yang jauh lebih kuat, meskipun lebih halus, dari pada ikatan kekeluargaan yang waktu itu berlaku. Hubungan darah waktu itu merupakan ikatan paling kuat antara seorang dengan lainnya, dan kini agama Islam menjadi tambahan yang lebih bersifat menyeluruh.
Suatu hal yang sangat menarik dari peristiwa Hijrahnya Nabi Muhammad Saw. dan pengikutnya ke Madinah adalah dimulainya penanggalan dalam Islam.[33] Penanggalan ini bukan berdasarkan kelahiran Nabi atau kematiannya, ataupun pada hari ketika beliau menerima wahyu, atau hari ketika beliau menaklukan Makkah dalam suatu penaklukan damai yang digunakan kaum muslimin, sebagai tanggal permulaan kalender. Namun, permulaan penanggalan tersebut karena peristiwa “hijrah” merupakan suatu hal yang penting. Pada masa inilah Islam tegak sebagai bentuk praktis, sosial, komunal, ekonomis, dan politis. Pada saat itu Islam dipraktikkan secara penuh, dioperasionalkan secara penuh. Hijrah dilihat sebagai migrasi (perpindahan) dari kegelapan menuju cahaya, dari keburukan kepada kebaikan. Nabi sendiri mengatakan bahwa setiap muslim dalam hidupnya harus melakukan hijrah harus melakukan migrasi dari apa yang buruk menuju apa yang baik.
Banyak faktor yang mendukung keberhasilan Nabi Muhammad saw sebagai kepala negara di Madinah di antaranya:[34]
1. Sambutan positif dan hangat dari penduduk Yatsrib terhadap kedatangan Rasulullah saw bersama kaum muhajirin di Madinah.
2. Persaudaraan yang ditanamkan Rasulullah terhadap golongan Anshar dan Muhajirin dalam membangun mesjid.
3. Fungsi Masjid Nabawi bukan saja sebagai tempat pelaksanaan shalat semata, tapi juga berfungsi sebagai pusat pembangunan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
4. Pengaruh spiritual yang kuat hubungannya antara Rasulullah dengan kehidupan masyarakat, baik dengan golongan Anshar maupun dengan golongan Muhajirin, termasuk perlindungan terhadap kelompok Yahudi dan kelompok lainnya.
5. Perjanjian persaudaraan di antara sesama Mukmin dan dengan kelompok Yahudi dalam hubungan mereka dengan orang Mukmin.
6. Kebebasan beragama dijamin, Muhammad tidak menghendaki perang, persaudaraan di kalangan Muslimin, jaminan kebebasan berdagang dan bertani, adalah kebijaksanaan yang diambil oleh Rasulullah untuk membangun masyarakat Madinah.
7. Keberhasilan Nabi Muhammad sebagai kepala negara di Medinah, adalah juga karena wahyu yang diturunkan Allah SWT. kepadanya sejalan pula dengan situasi pembangunan masyarakat madani di Medinah.
D. Muhammad pembangkit dan pembebas utama bangsa Arab
Di negeri Yaman dahulu, pernah berdiri sebuah negara yang jaya dan megah, namun ia tidak ditakdirkan keluar dari sana, sehingga Jazirah Arab tetap saja hidup dalam suasana badui. Kemudian berdiri pula beberapa negara-negara lainnya di Tadmar. Nijid, al-Batra’, al-Hairah, dan Basrah di perbatasan Syam dan Iraq, akan tetapi semuanya merupakan negara-negara yang berdiri untuk kepentingan majikannya, tidak pernah menciptakan kejayaan bagi bangsa Arab, tidak pernah mencapai suatu kerajaan yang berjaya, dan tidak pernah mensejajarkan bangsa Arab dalam deretan bangsa-bangsa lain dalam sejarah. Namun Muhammad telah berhasil membangkitkan nasionalisme terbesar Arab.[35]
Dia telah membebaskan mereka dari kekuatan asing dengan menempatkan kekuatan penangkal yang sering mengancam Jazirah Arab, baik dari timur maupun dari barat. Pada waktu itu dunia dibagi oleh dua adidaya. Keduanya saling berperang untuk menguasai satu dengan yang lainnya. Dua adidaya tersebut adalah kekaisaran Romawi dan kekaisaran Parsi. Adapun daerah yang diperebutkan mereka terutama daerah utara Jazirah Arab. Kedua kekuatan itu juga hendak menyerbu Jazirah dengan menguasai jalur-jalur lalu-lintas perdagangan antara timur, barat, selatan dan utara. Kekuatan Parsi mencaplok bagian timur pesisir Jazirah Arab, dan kekuatan Romawi menguasai pesisir bagian baratnya. Masing-masing menunggu waktu dan kesempatan merenggut seluruh Jazirah itu.[36]
Pada masa itu kaum yahudi di Jazirah Arab menjadi kaki tangan Parsi, sementara kaum Nasrani menjadi pendukung bangsa Romawi. Maka dengan takdir dan iradat Allah bagi bangsa Arab. Dia telah mengirimkan seorang tokoh Arab sekaligus tokoh dunia, untuk membebaskan mereka semua dari kekuatan luar yang selalu mengancam mereka, dan membebaskan mereka dari dalam, dari kekacauan hidup, dari perangan, dari kemiskinan, dan kebodohan, dengan memberikan sistem serasi, dengan hukum yang berkeadilan, dengan Undang-undang dasar Al-Qur’an, sehingga beliau mampu membebaskan tanah airnya dan mendirikan negara.[37]
Pada masa pemerintahan Nabi Muhammad Saw., negara Islam Madinah juga menjalin hubungan dengan kerajaan besar di luar Jazirah Arab. Terbukti dengan ajakan Muhammad kepada raja-raja itu untuk menganut agama yang benar. Hal ini dilakukannya dengan mengirim utusan kepada Raja dan penguasa kerajaan tersebut seperti ke Persia dan Byzantium.[38]
Tiga puluh tahun kemudian setelah Rasulullah saw. mengirim utusan-utusan ke daerah itu, daerah tersebut telah dimasuki oleh kaum muslimin dan sebagian besar mereka telah beragama Islam.[39] Hal ini menunjukkan hubungan Negara Islam Madinah dengan kerajaan dan penguasan di luar Jazirah Arab seperti Bizantium dan Persia cukup baik, dan pengaruh Islam ketika itu telah sampai ke daerah-daerah tersebut.
III. Kesimpulan
Dari pemaparan tentang kedudukan Nabi sebagai pemimpin agama dan kepala negara di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa kedudukan Nabi Muhammad Saw. di Mekkah adalah hanya sebagai pemimpin agama, tidak sebagai pemimpin yang mempunyai tujuan politik. Kepemimpinan Nabi ini bukan karena faktor keturunan atau seleksi masyarakat, namun langsung penunjukkan dari Allah. Jadi, secara tidak langsung Allah telah mempersiapkan Nabi Muhammad Saw. sebagai seorang pemimpin semenjak dari keturunan dan kelahirannya, serta liku kehidupan yang dijalaninya sebelum diangkat menjadi Rasul. Pada masa ini otoritas politik berada di tangan Quraisy.
Sedangkan di Madinah telah mempunyai kekuasaan politik. Di samping sebagai pemimpin agama, beliau juga sebagai Kepala Negara Madinah. Hal ini terbukti dengan dijadikan Nabi Muhammad Saw. sebagai figur utama dalam segala urusan baik itu urusan agama atau urusan politik negara.
Jadi kita melihat bahwa peradaban yang dikembangkan Nabi pada periode Mekkah lebih pada tataran konsep, sedangkan di Madinah sudah sampai kepada hal-hal yang praktis. Hal tersebut tidak terlepas dari dukungan masyarakat Madinah yang sangat berbeda dengan masyarakat Mekkah.
DAFTAR BACAAN
Maidir Harun, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang: IAIN-Ibnu Hazm Pres, 2002, cet II
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1979, juz ke-1
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, judul asli: Hayat Muhammad, alih bahasa: Ali Audah, Jakarta: Intermasa, 1993, cet. XVI
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, cet. IV
Annemarie Schimmel, Dan Muhammad adalah Utusan Allah, judul asli: And Muhammad Islam His Messenger, alih bahasa: Rahmani Astuti dan Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1994, cet. IV
Philip K. Hitti, History of The Arabs, London: The Macmillan Press Ltd., 1974, tenth edition
Reuben Levy, Susunan Masyarakat Islam, judul asli: The Social Structure of Islam, alih bahasa: H.A. Ludjito, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, cet. I
Hamka, Tafsir al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, Juz IV
Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an, judul asli: Major Themes of the Qur’an, alih bahasa: Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1983, cet. I
Fazlur Rahman, Islam, judul asli: Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1984, cet. I
Akram Dhiyauddin Umari, Masyarakat Madani Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, judul asli: Madinah Society at Time of Prophet: Its Charakteristics and Organization, alih bahasa: Mun’im A. Sirry, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, cet. II
Shaifurrahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, judul asli: Ar-Rahiq al -Makhtum: Bahtsu fi al-Sirah an-Nabawiyah, Indonesia: Pustaka al-Kautsar, 1997, cet. I
Abul ‘Ala al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, judul asli: al-Khilafah wa al-Mulk, alih bahasa: Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan, 1994, cet.VI
Ziauddin Sardar dan Merryl Wyn Davies, Wajah-Wajah Islam: Suatu Perbincangan tentang Isu-isu Kontemporer, judul asli: Corversation on Contemporary Issues, alih bahasa: A.E Priyono dan Ade Armando, Bandung: Mizan, 1992, cet. I
Khalil Yasien, Muhammad di Mata Cendekiawan Barat, judul asli: Muhammad ‘Inda ‘Ulama al-Gharb, alih bahasa: Salim Basyarahil, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, cet. VI
[1] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, ( Padang: IAIN-IB Pres, 2002), cet II, h. 15
[2] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, ( Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1979), juz ke-1, h. 9
[3] Maidir Harun dan Firdaus, op.cit., h. 16-17
[4] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, judul asli: Hayat Muhammad, alih bahasa: Ali Audah, ( Jakarta: Intermasa, 1993), cet. XVI , h. 14
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), cet. IV, h. 14-15
[6] Muhammad Husain Haekal, op.cit, h. 26
[7] Ibid., h. 72-73
[8] Annemarie Schimmel, Dan Muhammad adalah Utusan Allah, judul asli: And Muhammad Islam His Messenger, alih bahasa: Rahmani Astuti dan Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1994), cet. IV, h. 22-23
[9] Ibid.
[10] Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: The Macmillan Press Ltd., 1974), tenth edition, h. 111
[11] Ibid. h. 112
[12] Muhammad Husain Haekal, op.cit, h. 79
[13] Reuben Levy, Susunan Masyarakat Islam, judul asli: The Social Structure of Islam, alih bahasa: H.A. Ludjito( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), cet. I , h. 2
[14] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Pres, 1991), cet. III , h. 15
[15] Hamka, Tafsir al-Qur’an, ( Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), Juz IV, h. 7
[16] Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an, judul asli: Major Themes of the Qur’an, alih bahasa: Anas mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1983), cet. I , h. 202
[17] Fazlur Rahman, Islam, judul asli: Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1984), cet. I , h. 3
[18] Akram Dhiyauddin Umari, Masyarakat Madani Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, judul asli: Madinah Society at Time of Prophet: Its Charakteristics and Organization, alih bahasa: Mun’im A. Sirry, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet. II , h. 73
[19] Ibid.
[20] Ibid., h. 65
[21] Shaifurrahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, judul asli: Ar-Rahiq al -Makhtum: Bahtsu fi al-Sirah an-Nabawiyah, (Indonesia: Pustaka al-Kautsar, 1997), cet. I , h. 89
[22] Reuben Levy, op.cit., h. 3
[23] Maidir Harun dan Firdaus, op.cit., h. 32
[24] Abul ‘Ala al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, judul asli: al-Khilafah wa al-Mulk, alih bahasa: Muhammad al-Baqir, ( Bandung: Mizan, 1994), cet.VI , h. 29
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid, h. 30
[28] Ibid. h. 31
[29] Reuben Levy, op.cit., h.3
[30] Ziauddin Sardar dan Merryl Wyn Davies, Wajah-Wajah Islam: Suatu Perbincangan tentang Isu-isu Kontemporer, judul asli: Corversation on Contemporary Issues, alih bahasa: A.E Priyono dan Ade Armando, (Bandung: Mizan, 1992), cet. I , h. 44
[31] Reuben Levy, Loc.cit.
[32] Ibid., h. 4
[33] Ziauddin Sardar dan Merryl Wyn Davies, op.cit., h. 43
[34] Muhammad Husain Haekal, op.cit., h. 191-212. Lihat juga Syekh Shaifurrahman al-Mubarakfury, op.cit., h. 284
[35] Khalil Yasien, Muhammad di Mata Cendekiawan Barat, judul asli: Muhammad ‘Inda ‘Ulama al-Gharb, alih bahasa: Salim Basyarahil, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), cet. VI , h. 84-85
[36] Ibid.,
[37] Ibid., h. 86
[38] Muhammad Husain Haekal, op.cit. h. 415
[39]Ibid.,h. 417

Tidak ada komentar:

Posting Komentar