Senin, 20 April 2009
RAHMAH EL-YUNUSIYAH (1900-1969)
Rahmah hanya sebentar mengenyam pendidikan dari ayahnya karena ayahnya meninggal ketika ia masih sangat muda. la kemudian dibimbing langsung oleh kedua kakak lelakinya yakni Zainuddin Labay El Yunusy dan NI. Rasyad. Zainuddin Labay adalah ulama pembaru dan tokoh pendidikan di Sumatra Barat yang mendirikan Diniyah School. Rahmah sempat masuk Diniyah School hingga kelas tiga, karena tidak puas dengan sekolah yang dianggapnya tidak dapat memecahkan banyak persoalan-persoalan wanita, ia kemudian belajar pada sejumlah guru lain. Ia belajar agama pada ulam-ulama terkenal Minangkabau, seperti Haji Abdul Karim Amrullah, Abdul Hamid Hakim, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abdul Latif Rasjidi, dan Syekh Daud Rasjidi. Selain ilmu keislaman, ia juga mempelajari ilmu kesehatan (khususnya kebidanan) dan keterampilan wanita seperti memasak, menenun dan menjahit. Kelak ilmu yang diperolehnya ini diajarkannya kepada murid muridnya di Diniyah Puteri, melalui pendirian sekolah itu Rahmah berkeinginan agar wanita Indonesia memperoleh kesempatan penuh untuk menuntut ilmu yang sesuai dengan kodrat wanita hingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari hari.
Cikal bakal Diniyah Puteri bermula dengan di¬bentuknya Madrasah Ii Banat (sekolah untuk putri) pada tanggal 1 November 1923. Selama dua tahun pertama cara belajarnya menggunakan sistem hala¬qah seperti yang diterapkan di Masjidil Haram, yakni para murid duduk di lantai mengelilingi guru yang menghadap meja kecil. Lama kelamaan sekolah ini dapat memiliki gedung sendiri. Berdirinya gedung ini sepenuhnya berasal dari kemauan keras para perintisnya dan simpati masyarakat. Gedung pertama sekolah ini, dibangun dari batu kali yang diangkut sendiri oleh para guru dan murid Diniyah Puteri dan dibantu murid sekolah lain yang ada di Padangpanjang.
Di samping sebagai pendidik, Rahmah juga seorang pejuang pergerakan kemerdekaan. la merupakan orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di sekolahnya setelah mendengar berita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Semasa revolusi kemerdekaan, ia dipenjarakan Belanda dan baru dibebaskan tahun 1949 setelah pengakuan kedaulatan. Hingga tahun 1958 ia aktif di bidang politik, antara lain menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Sumatra Tengah, ketua Barisan Sabilillah dan Sabil Muslimat di Padang, dan anggota Konstituante mewakili Masyumi. Peranannya yang paling menonjol adalah kepeloporannya dalam pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada tanggal 2 Oktober 1945.
Perhatian Rahmah untuk kaumnya memang tidak pernah padam. Rahmah bercita cita mendirikan perguruan tinggi Islam khusus untuk wanita dengan sarana yang lengkap. Cita citanya ini sebagian sudah terlaksana. Ketika ia wafat, Diniyah Puteri telah memiliki perguruan tinggi dengan satu fakultas yakni Fakultas Dirasah Islamiah. la juga bercita cita untuk mendirikan rumah sakit khusus wanita.
Di bawah kepemimpinan Rahmah, Diniyah Puteri berkembang pesat. Keberhasilan lembaga ini mendapat perhatian dan pujian dari berbagai to¬koh pendidikan, pernimpin, politikus, dan tokoh agama dalam dan luar negeri. Pada tahun 1957 Rahmah memperoleh gelar Syaikhah dari Senat Guru Besar Universitas al Azhar, Mesir. Gelar ini belum pernah dianugerahkan kepada siapa pun se¬belumnya.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami mengenai usaha yang dilakukan oleh Rahmah el-Yunsiyah dalam memajukan pendidikan bagi kaum wanita. Lembaga pendidikan Diniyah Putri Padangpanjang merupakan hasil usaha yang dilakukannya, sehingga sampai sekarang lembaga pendidikan itu tetap menjadi lembaga pendidikan maju sebagai wadah pengembangan pendidikan bagi wanita, karena sesuai dengan namanya lembaga pendidikan ini hanya menerima siswa wanita.
Menurut Rahmah, kemajuan dan perbaikan kaum wanita tidak dapat diserahkan kepada orang lain (laki-laki). Akan tetapi mereka sendiri yang harus melakukannya. Salah satu cara untuk memperbaiki nasib serta mengangkat harkat dan martabat kaum wanita itu adalah melalui pendidikan. Berdasarkan pandangan ini maka Rahmah berusaha untuk merealisasikan cita-citanya dalam memajukan kaum wanita melalui pendidikan yang bercorak modern dan berdasarkan prinsip-prinsip agama Islam.
Semua keinginan dan cita-cita Rahmah el-Yunusiyah untuk memajukan pendidikan kaum wanita tersebut kemudian dirumuskan menjadi tujuan pendidikan dari Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang, yaitu: “Membentuk putri yang berjiwa Islam dan ibu pendidik yang cakap dan aktif serta bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat dan tanah air atas dasar pengabdian kepada Allah SWT”.
Guna mencapai tujuan pendidikan tersebut, maka Rahmah el-Yunusiyah berusaha menyebarluaskan pengetahuan agama Islam kepada kaum wanita yang selama ini sangat susah untuk memperolehnya. Menurut Rahmah karena kurang mendapat kesempatan untuk memperoleh pengetahuan agama kaum wanita selama ini telah terjauh dari pengetahuan agama sehingga senantiasa berada dalam kejahilan. Untuk itu melalui perguruan Diniyah Putri yang didirikannya, Rahmah el-Yunusiyah melakukan berbagai usaha untuk memajukan kaum wanita, di antaranya:
a. Mengadakan program pendidikan umum (general education)
Program ini bertujuan untuk mengembangkan sikap ilmiah anak didik
b. Mengadakan program pendidikan agama
Program ini bertujuan agama pada pelajar memiliki ilmu pengetahuan dalam bidang keahlian agama. Setelah menamatkan studinya, diharapkan para siswa mempunyai bekal pengetahuan tentang agama Islam yang dapat dikembangkan sendiri dalam masyarakat. Untuk mencapai program pendidikan agama ini, maka diajarkan pengetahuan dasar agama Islam, seperti: Fiqih, Tafsir, Nahu, Sharaf, Tauhid, Adab, Tarekh Islami, Hikmah Tasyri’, Insya’, Imla’, Ushul Fiqih, Sejarah Agama, dan lain-lain. Program pendidikan agama inilah yang menjadi ciri khas dari pendidikan yang ada di Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang.
c. Mengadakan program pendidikan yang mengarahkan siswi untuk menjadi ibu pendidik yang baik. Untuk itu kepada para pelajar diberikan kelompok pengetahuan yang berkenaan dengan pendidikan anak dan keluarga, seperti: pedagogik, psikologi, serta ilmu bantu lainnya.
d. Mengadakan program pendidikan keterampilan, yaitu pengetahuan praktis yang dapat dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti kerajinan tangan, keterampilan menjahit, kewanitaan, kepemimpinan, keterampilan berdakwah, dan sebagainya.
e. Mengadakan program pendidikan yang mengarah pada pembentukan kepribadian anak didik, seperti: cara hidup dalam masayarakat, cara memimpin dan dipimpin, cara berpidato untuk melatih berpikir, keberanian dan percaya diri, dan sebagainya. Program pendidikan ini banyak diberikan secara informil dalam asrama dan langsung dipraktekkan di bawah bimbingan guru-guru atau pengawas yang sudah ditunjuk.
Di samping usaha-usaha memajukan kaum wanita sebagaimana disebutkan di atas, masih banyak usaha-usaha lain yang sengaja diprogramkan, terutama yang mengarah pada pembentukan kepribadian anak didik, seperti :
a. Kegiatan ubudiyah, seperti: membaca kitab suci Alquran, shalat berjamaah, mengikuti wirid ceramah agama, dan lain-lain.
b. Kegiatan PKK, seperti: masak-memasak, tata cara menghidang, jahit-menjahit, merenda, membordir, dan merajut, bertenung tanpa mesin dan membatik.
c. Kegiatan organisasi, pramuka, koperasi, kesenian, olahraga, dan lain-lain.
Demikianlah di antara usaha-usaha yang dilakukan oleh Rahmah el-Yunusiyah melalui berbagai program pendidikan dalam rangka mengangkat harkat dan martabat kaum wanita. Melalui Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang yang didirikan atas dasar prinsip-prinsip ajaran Islam serta bercorak modern, Rahmah el-Yunusiyah telah mengorbankan segala daya dan upaya yang dimilikinya demi kemajuan kaum wanita Islam. Di Perguruan ini pendidikan agama Islam mendapat prioritas utama tanpa mengenyampingkan pendidikan umum.
Melihat usaha Rahmah el-Yunusiyah dalam memajukan kaum wanita melalui jalur pendidikan yang bercorak Islami ini tidak salah kalau Hamka mengatakan bahwa Rahmah el-Yunusiyah merupakan pelopor gerakan emansipasi wanita dalam bidang pendidikan agama. Bahkan Zainal Abidin Ahmad menjuluki Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang yang didirikan oleh Rahmah el-Yunusiyah sebagai lambang pengetahuan wanita Islam, yang para alumninya tersebar di seluruh Indonesia dan Malaysia serta banyak pula di antara mereka yang telah melanjutkan studinya ke Timur Tengah, seperti Mesir, Kuwait, Madinah, dan lain-lain.
Perjuangan Rahmah el-Yunusiyah dalam memajukan kaum wanita tidak sebatas pada ide-ide saja, melainkan telah melakukan aksi nyata dengan mendirikan sebuah sekolah agama khusus wanita. Perguruan ini sangat besar peranannya dalam menentukan langkah sejarah perkembangan gerakan emanispasi wanita di Indonesia. Bahkan Cora Vreede-de Stuers, ahli berkembangsaan Belanda menyarankan agar mempertimbangkan usaha-usaha yang dilakukan oleh Rahmah el-Yunusiyah ini sebagai langkah yang menentukan, dan bahkan dapat disamakan dengan penerbitan surat-surat Kartini dan sekolah Dewi Sartika di Bandung.
Pada tahun 1932 sampai 1935 Rahmah el-Yunusiyah kembali melakukan perjalanan keliling ke Malaysia sekaligus untuk mengantarkan siswi lulusan Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang untuk mengajar di berbagai sekolah di Penang dan Trenggano. Masyarakat Penang dan Trengganu melihat bahwa usaha yang dilakukan oleh Rahmah el-Yunusiah sangat dibutuhkan oleh masyarakat Islam di daerah tersebut sehingga banyak permintaan kepada Rahmah untuk mengirimkan para lulusan Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang untuk menjadi tenaga pengajar di sana. Bahkan banyak pula yang menyerahkan putri-putri mereka untuk dididik di Perguruan tersebut.
Untuk lebih mengembangkan dan menyempurnakan sistem pendidikan di Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang, Rahmah el-Yunusiyah melakukan studi perbandingan ke berbagai sekolah yang tersebar di Sumatera dan Jawa. Oleh sebab itu kata Deliar Noer tidaklah mengherankan kalau Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang ini akhirnya menjadi sebuah sekolah agama wanita yang bercorak modern dan sangat maju. Murid-muridnya tidak hanya berasal dari Kota Padang Panjang dan sekitarnya, melainkan juga berasal dari berbagai propinsi lain di Indonesia bahkan dari luar negeri.
Dalam perkembangan selanjutnya para lulusan Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang ini banyak berkiprah dalam masyarakat, seperti menjadi guru, mubaligh, dan bahkan ada pula yang berusaha mendirikan sekolah dengan nama Diniyah Putri, seperti di Lampung, Jambi dan di daerah lain. Di samping itu ada pula lulusan Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang ini yang menjadi pejabat tinggi negara, seperti Aisah Amini menjadi anggota DPR RI, Puan H. Aisyah Ghani menjadi menteri kebijakan Am atau menteri sosial di Malaysia.
Melihat keberhasilan dari usaha yang dilakukan Rahmah el-Yunusiyah dalam mengangkat derajat kaum wanita melalui pendidikan agama yang bercorak modern tersebut ternyata telah mengundang banyak perhatian dari dalam maupun luar negeri. Berbagai penghargaan diberikan kepada Rahmah El-Yunusiyah. Misalnya pada tahun 1955 Rektor Universitas Al-Azhar sengaja mengadakan kunjungan khusus di Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang. Setelah menyaksikan aktivitas pendidikan di Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang ini, maka Rektor Universitas Al-Azhar tersebut merasa kagum dengan sistem pendidikan yang diterapkan dan bermaksud pula untuk mendirikan sebuah fakultas khusus untuk wanita di Al-Azhar dengan mengambil pola yang ada di Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang.
Dengan demikian usaha yang dilakukan oleh Rahmah el-Yunsusiyah adalah dengan pendirian Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang ini merupakan perwujudan dari cita-cita Rahmah el-Yunusiyah yang memiliki kesadaran yang tinggi untuk memajukan kaum wanita dalam bidang pendidikan agama, yang selama ini tertinggal jauh dari kaum pria. Ia sangat menginginkan kaum wanita mendapat kesempatan yang sama dengan kaum pria dalam menuntut ilmu pengetahuan. Sebab hanya dengan ilmu pengetahuan itulah kaum wanita dapat mengejar ketinggalan dari kaum pria. Rahmah el-Yunusiyah menginginkan agar kaum wanita sanggup berdiri di atas kaki sendiri serta mampu menjadi ibu pendidik yang terampil dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.
Selasa, 07 April 2009
NABI MUHAMMAD SEBAGAI PEMIMPIN AGAMA DAN KEPALA NEGARA
I Pendahuluan
Kehidupan Muhammad dikenal dari sumber-sumber yang berbeda-beda, karena al-Qur’an berisi perujukan-perujukan tak langsung ke kejadian-kejadian dalam kehidupannya dan kehidupan masyarakat muslim yang masih muda itu. Namun, perkataan-perkataannya dan riwayat mengenai tindakannya dilestarikan dengan cermat dan dikumpulkan sehingga terbentuklah suatu ikhtisar bagaimana masyarakat melihat Muhammad.
Banyak legenda-legenda yang diciptakan seputar intisari bahan faktual tentang beliau, namun tidak perlu diperdebatkan bahwa ternyata kharisma seorang pemimpin keagamaan yang sejati dapat dilihat lebih baik dari legenda tersebut ketimbang fakta yang kering tentang kehidupannya.
Nabi Muhammad Saw. sebagai figur sentral Islam tidak akan pernah berhenti untuk dikaji eksistensinya. Baik itu kedudukannya sebagai pemimpin spritual atau sebagai kepala negara ketika berdirinya negara Islam Madinah.
Berbagai kajian sejarah baik yang dilakukan oleh muslim atau non-muslim selalu mengarah kepada keluhuran kedudukannya sebagai pemimpin “kharismatik” yang dikagumi oleh seluruh umat.
Periodesasi dakwah yang dilakukan beliau sejak awal kerasulan selalu manjadi hal yang sangat menarik untuk dikaji. Hal ini disebabkan masa dakwah yang terbagi menjadi periode mekkah dan periode Madinah. Dimana dua daerah inilah yang menjadi pusat penyiaran Islam yang diwahyukan Allah kepadanya. Bahkan, ketika beliau berada di Madinah, saat itulah berdiri negara Islam pertama dalam sejarah dan Nabi Muhammad Saw. sendiri sebagai kepala negaranya.
Berbagai pendapat bermunculan tentang kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai seorang pemimpin baik dalam agama atau negara. Namun pembahasan akan dibatasi pada persoalan kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. ketika beliau berada di dua daerah yang penting dalam sejarah Islam awal yaitu Mekkah dan Madinah. Diawali dengan gambaran umum tentang keadaan masyarakat Arab pra-Islam, kemudian bagaimana setelah beliau ditetapkan Allah sebagai pengemban risalah dan sebagai pemimpin bagi masyarakat awal Islam.
II Pembahasan
A Gambaran Umum Masyarakat Arab Pra-Islam
Kata Arab berasal dari kata ‘Arabah bahasa Ibrani yang seasal dengan kata ‘abhar yang berarti rihlah atau pengembaraan. Istilah ini dipakaikan kepada masyarakat penghuni Jazirah Arab yang merupakan suatu bangsa pengembara yang hidup selalu berpindah-pindah.[1]
Bangsa Arab terdiri dari dua kelompok besar yaitu al-Baidah yaitu kelompok yang telah punah, lenyap keberadaannya dari muka bumi, mereka tidak diketahui kecuali dari kitab Samawi, seperti bangsa ‘Ad dan Tsamud. Dan yang kedua al-Baqiyah yaitu yang mempunyai pengaruh sampai sekarang.[2]
Sebelum Islam, kehidupan bangsa Arab ini dikenal dengan kehidupan Jahiliyah, yaitu suatu kehidupan yang terlepas dari ajaran agama, tidak bermoral, walaupun pada masa itu masyarakatnya menganut suatu agama, namun agama tersebut tidak berpengaruh dalam hidup mereka. Sehingga hukum yang berlaku pada masa itu adalah hukum rimba.[3]
Segala macam sistem yang dapat dianggap sebagai suatu sistem politik seperti pengertian sekarang sebagaimana layaknya di negara maju masa itu, belum dikenal. Pada masa itu di daerah Tihama, Hijaz, Najd dan sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab hanya mengenal hidup mengembara, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Dasar hidup berpindah-pindah ini adalah kabilah yang selalu berpindah dan tidak mengenal suatu peraturan atau tata cara.[4]
Jadi, apa yang berkembang pada masyarakat Arab pada masa itu hanya pengaruh dari bangsa-bangsa yang berada di sekitarnya, yaitu bangsa-bangsa yang lebih maju budaya dan peradabannya dari bangsa Arab sendiri. Pengaruh tersebut masuk ke Jazirah Arab melalui beberapa jalur seperti jalur perdagangan yaitu dengan mengadakan hubungan dagang dengan bangsa-bangsa Syria, Persia, Habsyi, Mesir, dan Romawi yang semuanya telah mendapat pengaruh dari Hellenisme. Kemudian melalui kerajaan-kerajaan protektorat seperti banyak berdirinya koloni-koloni tawanan perang Romawi dan Persia di Ghassan dan Hirah. Penganut agama Yahudi juga banyak mendirikan koloni di jazirah Arab, yang terpenting di antaranya adalah Yatsrib. Penduduk koloni ini terdiri dari orang-orang Yahudi dan orang-orang Arab yang menganut agama Yahudi.[5] Mereka inilah yang mempengaruhi perkembangan peradaban bangsa Arab, seperti mayoritas penganut agama Yahudi pandai bercocok tanam dan membuat alat-alat dari besi, seperti perhiasan dan persenjataan.
Mekkah sebagai kota penting dalam perkembangan peradaban bangsa Arab pada awalnya hanya merupakan tempat peristirahatan bagi kabilah-kabilah Arab yang terkenal hidup mengembara, karena. Di sini terdapat sumber air yang dapat memenuhi kebutuhan air bagi kabilah yang melintasnya. Tetapi selanjutnya, berawal dari peristiwa pengasingan Hajar dan Ismail istri Nabi Ibrahim. Di daerah ini Hajar dan Ismail mendirikan gubuk tempat mereka berlindung. Pada waktu Hajar dan Ismail kehabisan bekal, Hajar berusaha bolak balik untuk mencari air. Ketika itulah Ismail mengorek tanah yang kemudian dari tanah itu keluar air sehingga akhirnya dikenal dengan sumur “Zam-zam” yang menjadi daya tarik bagi beberapa kabilah untuk menetap disekitar sumber air ini. selanjutnya di tempat ini Ismail dan Ibrahim ayahnya membangun rumah suci (Ka’bah).[6] Al-Qur’an sendiri menjelaskan tentang Ka’bah dalam surat Ali Imran ayat 96.
Eksistensi sumur “Zam-zam” dan Ka’bah inilah sebagai penunjang berkembangnya kehidupan dan peradaban di daerah Mekkah sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran bahwa Ka’bah sebagai tempat berhimpun manusia sebagaimana juga telah dijelaskan dalam surat al Baqarah ayat 125 dan 126.
Kehidupan beragama penduduk Mekkah pra-Islam ini digambarkan bahwa menjelang Muhammad diutus menjadi rasul mereka tetap menyembah berhala. Sebagai bukti dari tesis ini adalah istri Nabi Muhammad Saw. sendiri yaitu khadijah. Sewaktu anaknya Qasim dan Abdullah meninggal, untuk menenangkan hati dan pikirannya, dia membuat sesajen untuk dipersembahkan kepada berhala.[7]
Dari gambaran ini terlihat bagaimana situasi masyarakat Arab khusus makkah pra-Islam. Kebudayaan mereka banyak dipengaruhi oleh kebudayaan bangsa sekitarnya. Demikian juga kehidupan beragama yang belum mengenal monoteis, sehingga berhala dianggap memiliki kekuatan yang mampu memenuhi keinginan mereka.
B. Periode Mekkah
Muhammad dilahirkan dalam cabang keluarga Hasyim dari keluarga besar Quraisy, yang berkuasa pada awal abad ketujuh di Makkah, yaitu pusat perdagangan besar di Arabia. Pada umumnya dia diyakini lahir pada sekitar 570 M atau 569 atau 571 M. ayahnya bernama Abdullah putra Abdul Muthalib yang meninggal sebelum kelahirannya. Sedangkan ibunya Aminah meninggal ketika dia berusia kira-kira enam tahun.[8]
Seperti anak laki-laki lainnya di kalangan Arab, si bayi Muhammad diserahkan perawatannya kepada seorang pengasuh yang bernama Halimah. Di asuhan Halimah ini ada riwayat yang mengatakan bahwa beliau pernah hilang – tanpa membahayakan –, menurut beberapa penulis sejarah pada saat hilang inilah terjadinya pembelahan dada Muhammad.[9]
Sejak kelahirannya, Muhammad diserahkan kepada kakeknya Abdul Muthalib yang meninggal kira-kira dua tahun setelah ibunya wafat.[10] Selanjutnya dia diasuh pamannya. Di bawah asuhan paman Abu Thalib dia belajar berdagang. Sehingga perdagangan mendapat terhormat dalam kehidupan Islam.
Ketika Muhammad mencapai usia 25 tahun, wanita yang menjadi pemodalnya, terkesan oleh kejujuran dan ketulusan Muhammad, yang kemudian dinikahinya. Pasangan ini mempunyai 4 orang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki yang meninggal saat masih bayi.[11]
Ketika Nabi Muhammad Saw. berusia 40 tahun terjadi perubahan sikapnya. Beliau tidak puas terhadap perilaku penyembahan masyarakat makkah pada waktu itu terhadap berhala. Muhammad pergi mengasingkan diri untuk mencari hakekat kebenaran ke Gua Hira’ di jabal Nur. Wahyu pertama turun tahun 610 M, tatkala beliau sedang tidur dalam gua. Ketika itulah datang Jibril dengan membawa wahyu pertama yaitu: Iqra’ (bacalah!)[12]
Wahyu yang pertama ini adalah perintah untuk membaca, kemudian diikuti dengan wahyu-wahyu yang lain yang berisikan perintah untuk menghentikan kepercayaan dan penyembahan terhadap berhala oleh masyarakatnya.
Pada mula pengembangan dakwah beliau lakukan dengan cara rahasia. Menurut riwayat tradisional rahasia itu disimpan selama tiga tahun, tetapi selama tiga tahun tersebut sejumlah pengikut baru didapatinya dari kalangan orang-orang muda Mekkah. Sebagian besar mereka berasal dari golongan rendah, hanya beberapa orang yang berasal dari strata yang tinggi seperti Abu Bakar yang akhirnya menjadi mertua beliau.[13]
Tujuan utama dakwah Nabi Muhammad Saw. pada masa awal kerasulannya adalah untuk meyakinkan umat sebangsanya akan kebenaran dan keabsahan wahyu yang dibawanya.
Setelah lebih kurang tiga tahun waktu berlalu lamanya Nabi Muhammad menyampaikan kandungan wahyu pertama itu secara sembunyi-sembunyi (sirr) terhadap keluarga dekat dan orang yang beliau kenal dekat, berhasillah beliau mendapat dukungan dari Khadijah Binti Khuwailid (isteri beliau)orang pertama sekali membenarkan kenabian, Abu Bakar al Shiddiq, ‘Ali bin Abi Thalib yang telah menerima Islam. barulah wahyu selanjutnya diturunkan kepada Nabi Muhammad, yaitu sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan Risalah kepada seluruh umat manusia.
Munawir Sadzali mengatakan bahwa Muhammad Saw. memang dipersiapkan untuk membangun suatu peradaban baru yang positif. Maka demikianlah Nabi memulai da’wah Islam sembunyi-sembunyi (sirr) dari aktifitas ini Abu Bakar Shiddiq, ‘Ali bin Abi Thalib, Khadijah Binti Khuwailid menerima agama Islam. Dakwah dengan metode ini berlangsung selama tiga tahun.[14]
Setelah wahyu yang kedua turun dan diikuti oleh wahyu-wahyu selanjutnya, resmilah Nabi Muhammad saw. diangkat oleh Allah swt. menjadi rasul yang bertugas membebaskan manusia dari perbudakan berhala dan nafsu, merobah masyarakat yang berperadaban musyrik menjadi masyarakat yang berperadaban tauhid. Tugas-tugas kerasulan itu termuat dalam al-Qur’an.
Kalau diperhatikan masa awal turunnya wahyu ini terlihat bahwa titik sentral ajaran baru yang dibawa Muhammad adalah bahwa tiada tuhan selain Allah, Yang Maha Kuasa sekaligus Maha Esa. Dari sini dapat diketahui bahwa pengakuan Nabi Muhammad Saw. merupakan isyarat bahwa beliau adalah penyambung lidah Allah SWT.
Pernyataan terbuka tentang panggilan ini telah mengakibatkan bangkitnya perlawanan dari sukunya sendiri yaitu klan Quraisy. Mereka melihat bahaya besar dari pernyataan Nabi Muhammad Saw. bagi keuntungan dan prestise mereka sebagai pewaris penjaga Ka’bah sebagai tempat suci yang didatangi oleh ribuan pengunjung setiap tahun. Argumentasinya untuk membujuk clan Quraisy tentang pernyataan kenabiannya hanya membangkitkan kemarahan mereka dan telah dianggap begitu besar bahayanya.
Dengan berhasilnya Rasulullah membentuk komunitas umat Islam, meskipun jumlahnya kecil, tapi mempunyai militansi yang tinggi terhadap Islam, sehingga mereka rela mati sahid demi membela Islam dan Rasulullah SAW. hal ini menimbulkan reaksi yang hebat dari kalangan kafir Qurasy, orang Quraisy bangkit untuk menghadang revolusi yang datang secara tak terduga oleh mereka yang sangat mengkhawatirkan akan merusak tradisi warisan nenek moyang mereka.
Dari sini mulailah kaum Quraisy mengadakan perhitungan dengan umat Islam, hingga mereka selalu melakukan tekanan-tekanan dan penyerangan, sampai Rasulullah saw. bersama umat Islam melakukan hijrah ke Yatsrib (Madinah).
Dari sini terlihat bagaimana posisi nabi pada awal Islam disiarkan beliau adalah tidak lebih sebagai seorang pemimpin agama yang diwahyukan Allah. Nabi Muhammad saw sebagai kepala agama di Mekkah sejalan dengan muatan ayat-ayat Al Quran yang diturunkan di mekah. “Ayat-ayat yang turun di Makkah adalah khas bagi menetapkan dan meneguhkan ‘Aqidah Islam yang pokok yaitu Tauhid. Dan menentang penyambahan terhadap berhala dan menuhankan benda dan seruan da’wah kepada manusia agar memerdekakan akal dan jiwa dari perbudakan adat, kebiasaan tradisi dan taqlid.”[15]
Namun bukan berarti prinsip-prinsip kemasyarakat menuju terbentuknya suatu negara belum ada sewaktu Nabi berada di Mekah. Ide Nabi Muhammad untuk menegakkan masyarakat seagama tidak hanya tercetus di Madinah seperti yang dinyatakan Hurgronye tetapi sebenarnya sudah ada ketika ia di Makkah. [16]
Beberapa ayat yang diturunkan di Mekkah telah mengandung prinsip hidup bermasyarakat, seperti : surat al-Maun yang oleh sebagai besar mufassir mengatakan bahwa ayat 1-2 diturunkan di Makkah dan yang selanjutnya turun di Medinah.[17] Semangat inilah yang kelak menghasilkan terbentuknya masyarakat Islam Madinah.
C. Periode Madinah
Madinah Al Munawwarah pada awalnya bernama Yatsrib. Yatsrib merupakan sumber ketenangan dengan tanah yang subur dan air yang berlimpah ruah. Ia dikelilingi oleh bebatuan gunung berapi hitam. Wilayah paling penting adalah Harrah waqim dibagian timur dan Harrah al wabarah di bagian barat. Harrah waqim lebih subur dan lebih padat penduduknya dari Harrah al Wabarah.[18]
Dalam tulisan sejarah dapat ditemui beberapa suku dan kebangsaan kota Madinah sebelum datangnya Nabi Muhammad saw. ke kota tersebut diantaranya adalah Yahudi dan Bangsa Arab sendiri. Kedatangan Yahudi ke Madinah ada beberapa keterangan. Keterangan yang banyak di dapat adalah bahwa berimigrasi ke Madinah pada abad pertama dan kedua masehi. Sebagaimana keterangan Akram Dhiyauddin Umari bahwa setelah orang-orang Romawi menguasai Syiria dan Mesir pada abad pertama sebelum masehi, dan menguasai Nabataean pada abad kedua masehi. Kehadiran orang-orang Romawi menyebabkan Yahudi pindah ke Jazirah Arabia yang relatif terhindar dari dominasi Romawi.[19]
Bangsa Arab yang terdiri Aus dan Khazraj hidup di Yatsrib, suatu daerah yang wilayah-wilayah suburnya telah diduduki terlebih dahulu oleh Yahudi. Kenyataan ini memaksa Aus dan Khazraj menyingkir ke daerah-daerah padang pasir.[20]
Dari beberapa pendapat tentang penduduk Madinah sebelum hijrah, terlihat bahwa penduduk atau masyarakat di Madinah telah mengalami kontak sosial yang baik dibanding kota Mekkah. Selanjutnya kedua suku ini sangat berperan dalam membangun kota Madinah bersama Nabi sesudah hijrah, walaupun tidak seluruhnya ke arah positif. Kondisi ini telah membentuk sebuah peradaban yang baru dalam sejarah Islam.
Perkembangan peradaban Madinah tidak terlepas dari pengaruh Mekkah masa itu. Hal ini terbukti dengan telah adanya kontak antara mekah dan Madinah sebelum Nabi hijrah seperti terlaksananya dua kali “Bai’at”, yaitu:[21]
1. Bai’at Aqabah pertama melahirkan duta Islam di Madinah, Rasulullah sawa mengirim Mush’ab bin Umair al-Abdary, seorang pemuda Islam berangkat ke Madinah bersama 12 orang penduduk Yatsrib yang mengembangkan Islam di Madinah. Bai’at Aqabah pertama ini dilaksanakan di Aqabah, Mina pada tahun kesebelas dari kenabian.
2. Bai’at aqabah kedua dilaksanakan pada tahun ketiga belas dari nubuwah, di Aqabah . berdasarkan Baiat ini Rasulullah menganjurkan umat Islam untuk hijrah ke Yastrib pada akhir tahun itu juga dan beberapa bulan kemudian Nabi sendiri hijrah.
Tekanan-tekanan dari kafir Quraisy Mekkah semakin dirasakan oleh kaum muslimin Mekkah. Usaha-usaha dilakukan oleh Nabi untuk menghindari tekanan-tekanan tersebut, seperti menghijrahkan mereka ke Habsyah. Namun tekanan-tekanan demi tekanan yang dilontarkan kepada kaum muslimin yang berada di Mekkah tidak henti-hentinya.
Pada tahun 622 Masehi, Nabi Muhammad Saw. dipaksa meninggalkan Mekkah. Dia menyingkir bersama pengikutnya ke kota Yatsrib yang kemudian menjadi Madinah. Perpindahan ini menandai suatu babak baru dalam perkembangan agama Islam, dan pentingnya peristiwa itu disahkan beberapa tahun kemudian ketika hal itu dijadikan hari bersejarah, yaitu waktu dimulainya catatan-catatan dalam sejarah Islam.[22]
Di Madinah Nabi Muhammad Saw. diangkat oleh suku Auz dan Khajraj sebagai pemimpin selain juga beliau sebagai rasul.[23] Dengan demikian secara otomatis fungsi Nabi Muhammad Saw. di Madinah menjadi Rasul sekaligus menjadi kepala negara.
Ada dua teori modern tentang negara yang dikemukakan oleh Hegel dan Marx.[24] Hegel mengatakan bahwa negara merupakan inkarnasi ide suci dan karenanya ia harus berada di atas segala-galanya.[25] Jadi menurut teori ini setiap warga harus menyerahkan seluruh dedikasinya kepada negara dan negara sebagai aparat yang didewakan, yang berhak menuntut segala sesuatu dari warganya.
Berbeda dengan Marx yang berpendapat bahwa negara pada hakikatnya adalah aparat atau mesin opresi (penindasan), tirani, dan eksploitasi kaum pekerja oleh pemilik alat-alat produksi dan pemegang distribusi kekayaan yang mencelakakan kelas pekerja.[26]
Dari dua pengertian tersebut, terlihat bahwa Hegel menganggap bahwa kuat dan mekarnya suatu negara berarti tercapainya cita-cita manusia. Namun Marx beranggapan bahwa lenyapnya suatu negara sebagai kebajikan puncak atau puncah kebahagian manusia.
Berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Abul A’la al-Maududi yang nota bene berpegang pada al-Qur’an dengan mengatakan bahwa pembentukan negara adalah sebagian dari misi Islam. Dengan demikian membangun sebuah negara merupakan salah satu kewajiban agama.[27] Jadi sebuah negara yang sudah dibangun menurutnya perlu dipelihara eksistensinya, tetapi tidak boleh didewakan seperti kata Hegel. Sementara itu, Islam menolak pula utopia Marx yang ingin melenyapkan negara yang pada akhirnya akan menimbulkan anarki.
Al-Maududi menerangkan beberapa tujuan diselenggarakannya negara berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah:[28]
1. Untuk menghindari terjadinya eksploitasi antara manusia, antar kelompok atau kelas dalam masyarakat.
2. Untuk memelihara kebebasan warga negara
3. Menegakkan sistem keadilan sosial sebagai diinginkan al-Qur’an
4. Memberantas setiap kejahatan dan mendorong setiap kebajikan.
5. Menjadikan negara sebagai tempat tinggal yang teduh dan mengayomi bagi setiap warga negara dengan jalan pemberlakuan hukum tanpa diskriminasi.
Dari uraian Maududi di atas terlihat bahwa negara dalam ajaran Islam hanyalah merupakan instrumen pembaharuan yang berkesinambungan. Hal ini disebabkan bahwa setiap perangkat negara dibuat demi kepentingan rakyat. Sehingga dapat berubah setiap waktu selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
Tujuan inilah yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah Saw dalam praktek amaliyahnya. Beliau telah memilih masyarakat Islam yaitu masyarakat yang lahir dengan munculnya Islam, yang telah meraih kekuasaan politis ke Madinah sebagai bentuk negaranya yang bertumpu atas dasar ajaran-ajaran al-Qur’an.
Dalam periode Madinah, kenabian Nabi Muhammad Saw. menemukan tanggapan yang lebih baik, karena itu terjadi peningkatan secara cepat tidak hanya dalam kekuasaan agama, tetapi juga dalam kekuasaan politik bagi Nabi Muhammad Saw. Barangkali ini memang suatu fenomena yang tidak aneh yang terjadi pada masyarakat yang sederhana dan demokratis. Secara teoritis, ketika Nabi dalam kedudukan untuk lebih memantapkan kekuasaan tanpa diiringi paksaan terhadap penduduk Madinah atau lainnya untuk percaya pada ajaran-ajaran yang dibawanya, dan tugas menyampaikan risalah digambarkan sebagai suatu ajakan (da’wah) semata. Ternyata banyak dari mereka yang kemudian terbujuk untuk mengikutinya.[29]
Selama di Madinah Nabi menghadapi tanggung jawab baru sebagai pemimpin suatu masyarakat “Negara Kota”. Beliau juga dihadapkan kepada problem bagaimana mengatur sebuah masyarakat yang bukan suatu negara monolitis, namun sebuah negara yang terbentuk dari berbagai suku dan agama. Salah satu tindakan Nabi paling pertama begitu beliau tiba di Medinah adalah menuliskan apa yang kemudian dikenal sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia yang dinamakan Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah yang mengatur hubungan antara sesama muslim dan antara kaum muslim dan non muslim. Dalam konstitusi tersebut hak privilese dan kemerdekaan kaum non muslim dijamin penuh. Bahasa mereka, agama mereka, kebudayaan mereka, berhak dipertahankan dan dilestarikan untuk generasi pada masa depan dengan mendidiknya pada sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan sendiri.[30]
Orang-orang Yahudi penghuni Madinah dan sekitarnya ternyata keras kepala, terutama disebabkan rasa superioritas dari Nabi Muhammad SAW. yang dianggap telah menyajikan cerita dari Kitab Injil yang terubah, sebagaimana didengarnya dari para tokoh agama Yahudi ataupun orang-orang Nashrani. Mereka menyatakan bahwa mereka memiliki sumber asli cerita-cerita itu, Nabi Muhammad SAW membalas dengan menuduh mereka telah memalsukan Kitab Injil. Ketika usaha itu gagal untuk mempengaruhi, Ia singkirkan bahaya yang mungkin mereka timbulkan dengan perang terhadap mereka.[31]
Segera setelah Negara Madinah memperoleh kekuatan bersenjata, Nabi berniat menyerang orang-orang kafir di Mekkah; tindakan ini dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, ajakan bagi pengikutnya untuk berjihad fii sabilillah. Kedua, karena keinginan untuk merebut tempat suci tradisional rakyatnya sendiri (Masjidil Haram).[32] Usahanya berhasil, dan meskipun kota-kota lainnya mengikuti perkembangan Madinah sebagai ibukota kekuasaan Nabi Muhammad SAW. Mekkah tetap merupakan pusat spiritual bagi agama Islam. Efek dari keberhasilan Nabi dan pengaruh agama yang meningkat harus diterapkan terhadap berbagai suku Arab yang suka berperang agar menjadi suatu ikatan (kesatuan) yang jauh lebih kuat, meskipun lebih halus, dari pada ikatan kekeluargaan yang waktu itu berlaku. Hubungan darah waktu itu merupakan ikatan paling kuat antara seorang dengan lainnya, dan kini agama Islam menjadi tambahan yang lebih bersifat menyeluruh.
Suatu hal yang sangat menarik dari peristiwa Hijrahnya Nabi Muhammad Saw. dan pengikutnya ke Madinah adalah dimulainya penanggalan dalam Islam.[33] Penanggalan ini bukan berdasarkan kelahiran Nabi atau kematiannya, ataupun pada hari ketika beliau menerima wahyu, atau hari ketika beliau menaklukan Makkah dalam suatu penaklukan damai yang digunakan kaum muslimin, sebagai tanggal permulaan kalender. Namun, permulaan penanggalan tersebut karena peristiwa “hijrah” merupakan suatu hal yang penting. Pada masa inilah Islam tegak sebagai bentuk praktis, sosial, komunal, ekonomis, dan politis. Pada saat itu Islam dipraktikkan secara penuh, dioperasionalkan secara penuh. Hijrah dilihat sebagai migrasi (perpindahan) dari kegelapan menuju cahaya, dari keburukan kepada kebaikan. Nabi sendiri mengatakan bahwa setiap muslim dalam hidupnya harus melakukan hijrah harus melakukan migrasi dari apa yang buruk menuju apa yang baik.
Banyak faktor yang mendukung keberhasilan Nabi Muhammad saw sebagai kepala negara di Madinah di antaranya:[34]
1. Sambutan positif dan hangat dari penduduk Yatsrib terhadap kedatangan Rasulullah saw bersama kaum muhajirin di Madinah.
2. Persaudaraan yang ditanamkan Rasulullah terhadap golongan Anshar dan Muhajirin dalam membangun mesjid.
3. Fungsi Masjid Nabawi bukan saja sebagai tempat pelaksanaan shalat semata, tapi juga berfungsi sebagai pusat pembangunan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
4. Pengaruh spiritual yang kuat hubungannya antara Rasulullah dengan kehidupan masyarakat, baik dengan golongan Anshar maupun dengan golongan Muhajirin, termasuk perlindungan terhadap kelompok Yahudi dan kelompok lainnya.
5. Perjanjian persaudaraan di antara sesama Mukmin dan dengan kelompok Yahudi dalam hubungan mereka dengan orang Mukmin.
6. Kebebasan beragama dijamin, Muhammad tidak menghendaki perang, persaudaraan di kalangan Muslimin, jaminan kebebasan berdagang dan bertani, adalah kebijaksanaan yang diambil oleh Rasulullah untuk membangun masyarakat Madinah.
7. Keberhasilan Nabi Muhammad sebagai kepala negara di Medinah, adalah juga karena wahyu yang diturunkan Allah SWT. kepadanya sejalan pula dengan situasi pembangunan masyarakat madani di Medinah.
D. Muhammad pembangkit dan pembebas utama bangsa Arab
Di negeri Yaman dahulu, pernah berdiri sebuah negara yang jaya dan megah, namun ia tidak ditakdirkan keluar dari sana, sehingga Jazirah Arab tetap saja hidup dalam suasana badui. Kemudian berdiri pula beberapa negara-negara lainnya di Tadmar. Nijid, al-Batra’, al-Hairah, dan Basrah di perbatasan Syam dan Iraq, akan tetapi semuanya merupakan negara-negara yang berdiri untuk kepentingan majikannya, tidak pernah menciptakan kejayaan bagi bangsa Arab, tidak pernah mencapai suatu kerajaan yang berjaya, dan tidak pernah mensejajarkan bangsa Arab dalam deretan bangsa-bangsa lain dalam sejarah. Namun Muhammad telah berhasil membangkitkan nasionalisme terbesar Arab.[35]
Dia telah membebaskan mereka dari kekuatan asing dengan menempatkan kekuatan penangkal yang sering mengancam Jazirah Arab, baik dari timur maupun dari barat. Pada waktu itu dunia dibagi oleh dua adidaya. Keduanya saling berperang untuk menguasai satu dengan yang lainnya. Dua adidaya tersebut adalah kekaisaran Romawi dan kekaisaran Parsi. Adapun daerah yang diperebutkan mereka terutama daerah utara Jazirah Arab. Kedua kekuatan itu juga hendak menyerbu Jazirah dengan menguasai jalur-jalur lalu-lintas perdagangan antara timur, barat, selatan dan utara. Kekuatan Parsi mencaplok bagian timur pesisir Jazirah Arab, dan kekuatan Romawi menguasai pesisir bagian baratnya. Masing-masing menunggu waktu dan kesempatan merenggut seluruh Jazirah itu.[36]
Pada masa itu kaum yahudi di Jazirah Arab menjadi kaki tangan Parsi, sementara kaum Nasrani menjadi pendukung bangsa Romawi. Maka dengan takdir dan iradat Allah bagi bangsa Arab. Dia telah mengirimkan seorang tokoh Arab sekaligus tokoh dunia, untuk membebaskan mereka semua dari kekuatan luar yang selalu mengancam mereka, dan membebaskan mereka dari dalam, dari kekacauan hidup, dari perangan, dari kemiskinan, dan kebodohan, dengan memberikan sistem serasi, dengan hukum yang berkeadilan, dengan Undang-undang dasar Al-Qur’an, sehingga beliau mampu membebaskan tanah airnya dan mendirikan negara.[37]
Pada masa pemerintahan Nabi Muhammad Saw., negara Islam Madinah juga menjalin hubungan dengan kerajaan besar di luar Jazirah Arab. Terbukti dengan ajakan Muhammad kepada raja-raja itu untuk menganut agama yang benar. Hal ini dilakukannya dengan mengirim utusan kepada Raja dan penguasa kerajaan tersebut seperti ke Persia dan Byzantium.[38]
Tiga puluh tahun kemudian setelah Rasulullah saw. mengirim utusan-utusan ke daerah itu, daerah tersebut telah dimasuki oleh kaum muslimin dan sebagian besar mereka telah beragama Islam.[39] Hal ini menunjukkan hubungan Negara Islam Madinah dengan kerajaan dan penguasan di luar Jazirah Arab seperti Bizantium dan Persia cukup baik, dan pengaruh Islam ketika itu telah sampai ke daerah-daerah tersebut.
III. Kesimpulan
Dari pemaparan tentang kedudukan Nabi sebagai pemimpin agama dan kepala negara di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa kedudukan Nabi Muhammad Saw. di Mekkah adalah hanya sebagai pemimpin agama, tidak sebagai pemimpin yang mempunyai tujuan politik. Kepemimpinan Nabi ini bukan karena faktor keturunan atau seleksi masyarakat, namun langsung penunjukkan dari Allah. Jadi, secara tidak langsung Allah telah mempersiapkan Nabi Muhammad Saw. sebagai seorang pemimpin semenjak dari keturunan dan kelahirannya, serta liku kehidupan yang dijalaninya sebelum diangkat menjadi Rasul. Pada masa ini otoritas politik berada di tangan Quraisy.
Sedangkan di Madinah telah mempunyai kekuasaan politik. Di samping sebagai pemimpin agama, beliau juga sebagai Kepala Negara Madinah. Hal ini terbukti dengan dijadikan Nabi Muhammad Saw. sebagai figur utama dalam segala urusan baik itu urusan agama atau urusan politik negara.
Jadi kita melihat bahwa peradaban yang dikembangkan Nabi pada periode Mekkah lebih pada tataran konsep, sedangkan di Madinah sudah sampai kepada hal-hal yang praktis. Hal tersebut tidak terlepas dari dukungan masyarakat Madinah yang sangat berbeda dengan masyarakat Mekkah.
DAFTAR BACAAN
Maidir Harun, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang: IAIN-Ibnu Hazm Pres, 2002, cet II
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1979, juz ke-1
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, judul asli: Hayat Muhammad, alih bahasa: Ali Audah, Jakarta: Intermasa, 1993, cet. XVI
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, cet. IV
Annemarie Schimmel, Dan Muhammad adalah Utusan Allah, judul asli: And Muhammad Islam His Messenger, alih bahasa: Rahmani Astuti dan Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1994, cet. IV
Philip K. Hitti, History of The Arabs, London: The Macmillan Press Ltd., 1974, tenth edition
Reuben Levy, Susunan Masyarakat Islam, judul asli: The Social Structure of Islam, alih bahasa: H.A. Ludjito, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, cet. I
Hamka, Tafsir al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, Juz IV
Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an, judul asli: Major Themes of the Qur’an, alih bahasa: Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1983, cet. I
Fazlur Rahman, Islam, judul asli: Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1984, cet. I
Akram Dhiyauddin Umari, Masyarakat Madani Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, judul asli: Madinah Society at Time of Prophet: Its Charakteristics and Organization, alih bahasa: Mun’im A. Sirry, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, cet. II
Shaifurrahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, judul asli: Ar-Rahiq al -Makhtum: Bahtsu fi al-Sirah an-Nabawiyah, Indonesia: Pustaka al-Kautsar, 1997, cet. I
Abul ‘Ala al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, judul asli: al-Khilafah wa al-Mulk, alih bahasa: Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan, 1994, cet.VI
Ziauddin Sardar dan Merryl Wyn Davies, Wajah-Wajah Islam: Suatu Perbincangan tentang Isu-isu Kontemporer, judul asli: Corversation on Contemporary Issues, alih bahasa: A.E Priyono dan Ade Armando, Bandung: Mizan, 1992, cet. I
Khalil Yasien, Muhammad di Mata Cendekiawan Barat, judul asli: Muhammad ‘Inda ‘Ulama al-Gharb, alih bahasa: Salim Basyarahil, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, cet. VI
[1] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, ( Padang: IAIN-IB Pres, 2002), cet II, h. 15
[2] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, ( Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1979), juz ke-1, h. 9
[3] Maidir Harun dan Firdaus, op.cit., h. 16-17
[4] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, judul asli: Hayat Muhammad, alih bahasa: Ali Audah, ( Jakarta: Intermasa, 1993), cet. XVI , h. 14
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), cet. IV, h. 14-15
[6] Muhammad Husain Haekal, op.cit, h. 26
[7] Ibid., h. 72-73
[8] Annemarie Schimmel, Dan Muhammad adalah Utusan Allah, judul asli: And Muhammad Islam His Messenger, alih bahasa: Rahmani Astuti dan Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1994), cet. IV, h. 22-23
[9] Ibid.
[10] Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: The Macmillan Press Ltd., 1974), tenth edition, h. 111
[11] Ibid. h. 112
[12] Muhammad Husain Haekal, op.cit, h. 79
[13] Reuben Levy, Susunan Masyarakat Islam, judul asli: The Social Structure of Islam, alih bahasa: H.A. Ludjito( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), cet. I , h. 2
[14] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Pres, 1991), cet. III , h. 15
[15] Hamka, Tafsir al-Qur’an, ( Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), Juz IV, h. 7
[16] Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an, judul asli: Major Themes of the Qur’an, alih bahasa: Anas mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1983), cet. I , h. 202
[17] Fazlur Rahman, Islam, judul asli: Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1984), cet. I , h. 3
[18] Akram Dhiyauddin Umari, Masyarakat Madani Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, judul asli: Madinah Society at Time of Prophet: Its Charakteristics and Organization, alih bahasa: Mun’im A. Sirry, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet. II , h. 73
[19] Ibid.
[20] Ibid., h. 65
[21] Shaifurrahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, judul asli: Ar-Rahiq al -Makhtum: Bahtsu fi al-Sirah an-Nabawiyah, (Indonesia: Pustaka al-Kautsar, 1997), cet. I , h. 89
[22] Reuben Levy, op.cit., h. 3
[23] Maidir Harun dan Firdaus, op.cit., h. 32
[24] Abul ‘Ala al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, judul asli: al-Khilafah wa al-Mulk, alih bahasa: Muhammad al-Baqir, ( Bandung: Mizan, 1994), cet.VI , h. 29
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid, h. 30
[28] Ibid. h. 31
[29] Reuben Levy, op.cit., h.3
[30] Ziauddin Sardar dan Merryl Wyn Davies, Wajah-Wajah Islam: Suatu Perbincangan tentang Isu-isu Kontemporer, judul asli: Corversation on Contemporary Issues, alih bahasa: A.E Priyono dan Ade Armando, (Bandung: Mizan, 1992), cet. I , h. 44
[31] Reuben Levy, Loc.cit.
[32] Ibid., h. 4
[33] Ziauddin Sardar dan Merryl Wyn Davies, op.cit., h. 43
[34] Muhammad Husain Haekal, op.cit., h. 191-212. Lihat juga Syekh Shaifurrahman al-Mubarakfury, op.cit., h. 284
[35] Khalil Yasien, Muhammad di Mata Cendekiawan Barat, judul asli: Muhammad ‘Inda ‘Ulama al-Gharb, alih bahasa: Salim Basyarahil, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), cet. VI , h. 84-85
[36] Ibid.,
[37] Ibid., h. 86
[38] Muhammad Husain Haekal, op.cit. h. 415
[39]Ibid.,h. 417
BERFIKIR DAN ZIKIR
Di dalam kajian filsafat istilah berfikir merupakan kajian yang tidak asing lagi, karena segala sesuatu yang lahir dalam filsafat melalui jalan berfikir. Namun dalam mamaknai kata berfikir ini, sering kali terjadi perbedaan pendapat. Ketika seseorang dikatakan berfikir, seolah-olah dia sedang melibatkan segenap kemampuan akalnya untuk sesuatu Begitulah barang kali gambaran berfikir.
Di dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern berfikir ditujukan untuk menghasilkan teori, mengkaji teori yang lama, memperbaharui teori, dan masih banyak lagi kegunaannya. Lebih dari itu seorang manusia memang telah tercipta dengan kemampuan akal yang mampu untuk memikirkan segala sesuatu yang dapat ditangkap dengan indranya. Seperti isyarat yang mengatakan bahwa “Pikirkanlah tentang ciptaan Allah, dan jangan pikirkan tentang zat Allah”.
Ini merupakan isyarat bahwa segala yang ada di alam telah diperintahkan untuk memikirkannya. Dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 191 berbunyi:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ(ال عمران: 191)
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imran: 191)
Di dalam agama Islam tujuan memikirkan alam adalah semata-mata untuk ingat kepada Pencipta alam ini yaitu Allah SWT. inilah yang disebut dengan tazakkur atau zikrullah. Berbeda dengan berfikir yang dipahami secara umum terkadang manusia terlepas dari kedekatannya dengan Allah. Zikir justru tujuan utamanya adalah ingat kepada Allah.
Di sini nampak perbedaan berfikir dalam Islam dan berfikir hanya dalam kajian keilmuan. Zikir memang semata-mata ditujukan untuk ingat, bukan untuk menciptakan suatu teori ilmu pengetahuan, dan bukan pula untuk mengkaji-suatu produk ilmu, seperti yang dihasilkan oleh berfikir yang dipahami secara umum. Walaupun zikir juga menggunakan metode berfikir yaitu mengerahkan kemampuan akal untuk mengingat, namun zikir tujuan atau hasil akhirnya adalah kedekatan dengan Allah. Kalau dalam tasawwuf hal ini bisa mencapai suatu keadaan manusia merasa bersatu dengan Pencipta.
Namun hubungan antara zikir dan fikir ini sangat diperlukan dalam sebuah produk pengetahuan, karena tanpa ingat kepada Allah sebuah pengetahuan akan sia-sia adanya. Ia tidak akan lagi memperhatikan norma agama. Demikian juga zikir tanpa pengetahuan juga tidak jelas arah dan tujuannya.
Untuk lebih jelasnya tentang berfikir dan zikir ini, pada pembahasan ini akan dipaparkan beberapa penjelasan tentang berfikir dan zikir ini.
B. Berfikir
Berfikir merupakan ciri utama manusia, untuk membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya. Dengan dasar berfikir ini manusia dapat mengubah keadaan alam sejauh akal dapat memikirkannya. Berfikir disebut juga proses bekerjanya akal, manusia dapat berfikir karena manusia berakal. Dengan demikian akal merupakan intinya, sebagai sifat hakikat, sedangkan makhluk sebagai genus yang merupakan hakikat zat, sehingga manusia dapat dijelaskan sebagai makhluk yang berakal.
Akal merupakan salah satu unsur kejiwaan manusia untuk mencapai kebenaran di samping rasa untuk mencapai keindahan dan kehendak untuk mencapai rasa untuk mencapai kebaikan. Dengan akan inilah manusia berfikir untuk mencari kebenaran hakiki. berfikir banyak sekali macamnya, namun secara garis besar dapat dibedakan antara berfikir alamiah dan berfikir ilmiyah. Di bawah ini akan dijelaskan kedua macam cara berfikir ini:
1. Berfikir alamiyah yaitu pola penalaran yang berdasarkan kebiasaan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya, misalnya: penalaran tentang panasnya api yang dapat membakar, jika kayu didekatkan ke api pasti akan terbakar.
2. Berfikir ilmiyah, yaitu pola penalaran berdasarkan sarana tertentu secara teratur dan cermat. Misalnya dua hal yang bertentangan penuh tidak dapat sebagai sifat hal tertentu pada saat yang sama dalam satu kesatuan. Contohnya panas dan dingin. Tidak bisa bersatu dalam satu keadaan pada sebuah situasi.
Di dalam pembahasan berfikir, berfikir ilmiahlah yang kerap menjadi pembahasan yang tentu saja menggunakan sarana ilmiah. Bagi seorang ilmuan penguasaan sarana berfikir ilmiah merupakan suatu keharusan, dan bahkan mutlak diperlukan, karena tanpa penguasaan sarana ilmiah tidak akan dapat melaksanakan kegiatan ilmiyah yang baik.
Namun dalam pembahasan ini, lebih jauh tidak akan dibahas tentang sarana berfikir ilmiyah. Akan tetapi pembahasan ini akan lebih didekatkan kepada pemahaman tentang berfikir itu sendiri.
Ada beberapa azas dalam berfikir tersebut, di antaranya:
1. Asas identitas (principium identitas = qanun zatiyah)
Ini merupakan dasar dari semua pemikiran dan bahkan asas pemikiran lain. Seseorang tidak akan mungkin dapat berfikir tanpa azas ini. prinsip ini mengatakan bahwa sesuatu itu adalah dia sendiri bukan yang lainnya. Jika diakui sesuatu itu adalah Z maka ia adalah Z dan bukan A, B, atau C. jadi apabila proposisi itu benar maka benarlah dia.
2. Asas Kontradiksi (principium contradictoris = qanun tanaqud)
Asas ini mengatakan bahwa pengingkaran sesuatu tidak mungkin sama dengan pengakuannya. Jika kita mengakui bahwa sesuatu itu bukan A maka tidak mungkink pada saat ia adalah A, sebab realitas ini hanya satu sebagaimana disebut oleh asas identitas. Dengan kata lain: Dua kenyataan yang kontradiktoris tidak mungkin bersama-sama secara simultan. Jadi tidak ada proposisi yang sekaligus benar dan salah.
3. Asas penolakan kemungkinan ketiga (principium exlusi tertii = qanun intina’)
Asas ini mengatakan bahwa antara pengakuan dan pengingkaran kebenarannya terletak pada salah satunya. Pengakuan dan pengingkaran merupakan pertentangan mutlak, karena itu di samping tidak mungkin benar keduanya juga tidak mungkin salah salah keduanya. Mengapa tidak mungkin salah kedua-duanya? Bila pernyataan dalam bentuk positifnyah salah berarti ia memungkiri realitasnya, atau dengan kata lain realitas ini bertentangan dengan pernyataannya. Dengan begitu maka pernyataan berbentuk ingkarlah yang benar, karena inilah yang sesuai dengan realitas. Juga sebaliknya, jika pernyataan ingkarnya salah, berarti ia mengingkari realitasnya, maka pernyataan positifnya yang benar, karena ia sesuai dengan realitasnya. Pernyataan kontradiktoris kebenarannya terdapat pada salah satunya (tidak memerlukan kemungkinan ketiga). Jika kita rumuskan, akan berbunyi “Suatu proposisi selalu dalam keadaan benar atau salah”.
Di dalam membahas tema berfikir ini, nampaknya tidak mungkin lepas dari logika, memang demikianlah logika dan berfikir memang identik dan sama. Walaupun pada logika selalu dilengkapi dengan premis-premis sebagai bahan berfikir.
Jadi ada beberapa pertanyaan yang muncul berkenaan dengan berfikir. Pertama, apakah sebenarnya berpikir ? secara umum maka tiap perkembangan dalam idea, konsep dan sebaginya dapat disebut berpikir. Umpamanya, jika seseorang bertanya kepada saya, “apakah yang sedang kamu pikirkan ?” mungkin saya menjawab, “saya sedang memikirkan keluarga saya.” Hal ini berarti bahwa bayangan, kenangan dan sebagainya akan hadir dan ikut mengikuti dalam kesadaran saya. Karena itu maka definisi yang paling umum dari berpikir adalah perkembangan idea dan konsep.
Pemikiran keilmuan bukanlah suatu pemikiran yang biasa. Pemikiran keilmuan adalah pemikiran yang sungguh-sungguh. Artinya, suatu cara berpikir yang berdisiplin, dimana seseorang yang berpikir sungguh-sungguh takkan membiarkan idea dan konsep yang sedang dipikirkan nya berkelana tanpa arah, namun kesemuanya itu akan diarahkannya pada suatu tujuan tertentu. tujuan tertentu itu, dalam hal ini, adalah cara berpikir yang didisiplinkan dan diarahkan kepada pengetahuan.
Akan tetapi bagaimana pemikiran seperti itu akan membuahkan pengetahuan bagi manusia? seseorang mungkin berpikir bahwa objek yang ingin kita ketahui sebenarnya sudah ada, sudah tertentu (given), jadi disini tak diperlukan adanya pemikiran, yang harus dilakukan hanyalah sekedar membuka mata kita atau memusatkan perhatian kita terhadap objek tersebut. kalau ternyata objek yang ingin kita ketahui itu belum tertentu (non-given) maka kelihatannya berpikir tidak akan pernah mendekatkan kita kepadanya. namun semuanya itu ternyata tidak benar. Dalam kedua hal diatas, kalau kita mau menyimak pengalaman kita, berpikir ternyata memerankan peranan yang sangat membantu bahkan sangan menentukan.
Umpamanya marilah kita lihat dalam contoh yang pertama, dimana obyek yang ingin diketahui sudah tertentu. yang harus disadari adalah bahwa obyek tersebut tak pernah sederhana. Biasanya obyek itu sang at rumit. Mungkin mempunyai beratus-ratus segi, aspek, karakteristik dan sebaginya. Pikiran kita tak mungkin untuk mencakup semuanya dalam suatu ketika. Dalam rangka untuk mengenal benar-benar obyek semacam itu, seseorang harus dengan rajin memperhatikan semua seginya, membanding-bandingkan apa yang telah dilihatnya, dan selalu melihat serta menganalisis obyek tersebut dari berbagai-bagai pendirian yang berbeda. Kesemuanya ini adalah berpikir.
Marilah kita ambil contoh cara berpikir dalam menghadapi hal semacam ini. umpamakan saja bahwa terdapat noktah merah di muka mata saya. Mula-mula seseorang mungkin akan membayangkan bahwa hal ini adalah sangat sederhana, bahwa yang perlu dia lakuakn hanyalah sekedar membuka matanya untuk dapat melihat noktah tetrsebut. Tetapi ternyata bahwa hal itu tidak sedemikian mudah : karena takkan terdapat sebuah noktah merahpun tanpa adanya suatu latar belakang dan warna latar belakang haruslah berbeda denga noktah tersebut. kedua, dalam fakta yang sederhana ternyata kita temukan hal-hal yang istimewa : noktah tersebut ternyata tidak hanya mempunyai warna namun juga mempunyai dimensi, yakni panjang dan lebar yang tertentu. tetapi dimensi-dimensi itu bukanlah warna melainkan sesuatu yang lain sama sekali, meskipun harus mempunyai sesuatu yang berkaitan dengan warna. Ketiga, dimensi-dimensi ini sendiri pun ternyata tidak cukup. Noktah tersebut juga mempunyai bentuk, umpamanya persegi atau bulat. Kemusian jika kita kaji lebih lanjut, ternyata bahwa warna pun bukan masalah yang sederhana,. Memang warna noktah itu merah namun tidak serupa denga warna merah lainnya. Agak mempunyai karakteristik tertentu., semacam keunikan. Jika terdapat dua noktah, maka biasanya keunikan itu tidak sama. Dalam menganalisa warna ini maka seseorang akan bisa melangkah lebih jauh. Seseorang yang telah mempelajari teori warna akan akan bisa mendiskusikan umpamanya tentang intensitas warna noktah tersebut. jika kita perhatikan lebih lanjut bahwa noktah itu tidak hanya muncul dalam latar belakang warna yang berbeda namun jugapada sesuatu yakni sipembawa noktah tersebut. disini lalu kita menemukan paling tidak tujuh unsur ; latar belakang , warna, dimensi, bentuk, keunikan, intensitas, dan akhirnya dipembawa. Dan semuanya ini baru permulaan.
Contoh di atas adalah masalah yang sangat sederhana bahkan kelihatannya remeh. Dalam menghadapi obyek mental seperti “maaf” atau “bakat” maka seseorang dapat membayangkan betapa kerumitan yang terdapat dalam hal ini, dan betapa besar usaha yang harus dilakukan dalam berpikir untuk mendekatkan kita pada permasalahan ini sampai tahapan teretentu.
Dalam sejarah, cara berpikir seperti ini selalu dilakukan oleh para ahli falsafah. Salah satu ahli falsafah terbesar adalah Aristoteles. Pada permulaan abad ini, seorang pemuka falsafah bangsa Jerman bernama Edmund Husserl, menguraikan dengan jelas dan tajam metode ini. dia menyebutnya fenomenologi. Fenomenologi paling tidak dalam tulisan Husserl yang mula-mula – adalah metode yang mengusahakan untuk memahami esensi dari obyek yang tertentu dengan analisis yang kurang lebih sama seperti apa yang telah kita kemukakan di atas.
Nampaknya ketika tema berfikir ini diangkat, maka sebenarnya banyak lagi masalah yang berlum terungkap dalam uraian di atas. namun sebenarnya yang penting dipegang adalah bahwa berfikir memang suatu upaya untuk mengerahkan kemampuan akal yang dianugerahkan oleh Allah SWT.
Seperti yang diungkap oleh Yoesoef Sou’yb bahwa secara sederhana, pada saat tertentu seseorang mendengar suatu keterangan, kemudian pada saat lain didengar pula satu keterangan lagi. Dua keterangan ini otomatis tersimpan tanpa disadari oleh otak. Kemudian pada suatu saat mendadak muncul dan menghubungankan keterangan-keterangan yang ada di benak terdahulu. Maka dalam hal terjadilah kegiatan di dalam otak yang berusaha memperjelas titik-titik hubungan dari keterangan tersebut. demikianlah proses berfikir terjadi untuk mencapai tujuan yakni suatu kesimpulan tentang keterangan-keterangan itu.
C. Zikir
Perkataan “zikir” dapat diartikan dengan ingat, namun yang dimaksud dengan zikir ini ialah seperti yang dikatakan oleh Ibnu Athaillah ialah: “menyingkirkan lupa dan lalai dengan selalu ingat hati kepada Allah”.
Defenisi lain mengatakan bahwa zikir ialah “menyebut Allah dengan membaca tasbih (subhanallah), membaca tahliel (la-ilaha illallah), membaca tahmid (alhamdulillah), membaca hauqalah (la haula wa la quwata illa billahi), dan lain sebagainya.
Termasuk yang dipandang sebagai zikir (mengingat Allah) mengerjakan segala rupa keta’atan kepada Allah. Jadi, majlis-majlis yang diadakan untuk membocarakan masalah agama, bisa juga disbeut dengan majlis zikir.
Al-Hafiz dalam Fat’hul Ba’ry mengatakan bahwa zikir ialah segala lafaz (ucapan) yang disukai umat membacanya dan memperbanyak membacanya untuk menghasilkan jalan mengingat dan mengenang Allah.
Ibnu Athaillah membagai bentuk zikir kepada tiga macam yaitu:
1. Zikir jalli, yaitu zikir lisan, yang berupa ucapan yang mengandung arti pujian, pujaan dan syukur kepada nikmat Allah. Zikir lisan ini cukup dengan mengucapkan tanpa disertai dengan ingatan hati.
2. Zikir khafi adalah zikir hati dengan menghilangkan rasa kebosanan, dan selalu kekal musyahadah kepada Tuhannya.
3. Zikir hakiki, ialah zikir seluruh tubuh dan seluruh anggotanya ialah dengan memelihara anggotanya dari yang dilarang Allah dan mengerjakan apa yang diperintah Allah.
Manusia yang diberkahi dengan pengetahuan batin memandang zikir senantiasa dan terus menerus mengingat Allah- sebagai metode paling efektif untuk membersihkan hati dan mencapai kehadirat Ilahi.
Objek segenap ibadah ialah mengingat Allah dan hanya terus menerus mengingat Allah sajalah yang bisa melahirkan cinta kepada Allah serta mengosongkan hati dari kecintaan dan keterikatan pada dunia fana ini.
Zikir merupakan rangka dari keimanan, banyak ayat-ayat yang berbicara tentang ini, di antaranya:
Firman Allah :
al-Ahzab: 41-42
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا، وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلا(الاحزاب41- 42)
Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. (QS. al-Ahzab: 41-42
an-Anfal: 45
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (الأنفال: 45)
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.(QS. al-Anfal: 45)
al-Baqarah: 152
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ (البقرة: 152)
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) –Ku. (QS. al-Baqarah: 152)
al-A’raf:205
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَاْلآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ(الأعراف: 205)
Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.(QS. al-A’raf: 205)
al-Zukhruf: 36
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ(الزخرف: 36)
Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Qur'an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.(QS. az-Zukhruf: 36)
al-Mujadalah: 19
اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللهِ أُولَئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ أَلاَّ إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ(19)
Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi.
an-Nisa: 142
الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاَةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللهَ إِلاَّ قَلِيلاً (النساء: 142)
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (QS. an-Nisa: 142)
Ayat-ayat di atas mengandung perintah dan petunjuk untuk melaksanakan zikir. Dan dengan memperhatikan ayat di atas dapat diperoleh bahwa sebab kebanyakan manusia melupai tugas menyebut Allah (berzikir) adalah karena jiwanya telah dipengaruhi oleh syetan.
Jadi orang mukmin yang benar-benar beriman kepada Allah, yang ingin memperoleh kesempurnaan imannya, tidaklah dia akan mempermudah-mudah dan melengahkan zikir.
Zikir merupakan hal yang sangat penting bagi manusia dalam sepanjang hidupnya, karena manusia dalam hidup ini tidak terlepas dari empat keadaan, dalam keaadaan taat, apabila ia selalu ingat kepada Allah pada saat itu, maka akan lahirlah suatu keyakinan bahwa ketaatan yang diperbuatnya adalah merupakan karunia Allah dan dengan taufikNya. Dengan keyakinan ini, terhindarlah ia dari sifat ujub ialah menyandarkan ketaatan itu kepada perbuatannya sendiri, keyakinan yang seperti itu adalah hijab , dan penyakit yang meruntuhkan pahala dari amal ibadahnya. Kalau manusia dalam keadaan maksiat maka dengan zikir kepada Allah, akan dapat membagnkitkan kesadarannya untuk memperbaikikeadaan dirinya dengan bertaubat, dengan bertaubat ia menjadi manusia yang mencintai Allah dan Allaj pun mencintainya. Dengan keyakinan itu pula ia sadar bahwa kemaksiatan adalah hijab yang melindungi antaranya dengan tuhannya, dan kemaksiatan itu pula yang akan menjurumuskan kejurang kebinasaa. Kalau ia dalam keadaan memperoleh nikmat, apakah harta, pangkat, atau kemewahan-kemewahan lainnya, dengan zikir akan menimbulkan keinginan untuk mensyukuri nikmat Allah, dengan bersyukur kepada nikmat, maka nikmat yang ada pada tangannya akan tetap dan bertambah, sebaliknya kalau ia telah lupa atau kufur terhadap nikmat, nikmat akan ditarik dan akan menjadi bencana baginya. Kalau ia dalam keadaan menderita dengan ingat kepada Allah, timbullah keyakinan bahwa setiap cobaan ia harus menghadapinya dengan sabar, dengan sikap sabar terhadap cobaan ini, Allah akan memberikan pahala yang berlipat ganda serta menghindarkan dirinya dari cobaan tadi.
Disamping itu, kegunaan zikir ini bersifat umum adalah untuk :
1. Memperlunak hati manusia sehingga hati manusia dapat melihat kebenaran dan bersedia mengikuti dan menerima kebenaran.
2. Membangkitkan kesadaran bahwa Allah Maha Pengatur dan apa yang telah ditetapkanNya adalah baik, hanya mungkin pada sesuatu saat manusia manilainya tidak baik, karena pertentangan dengan hawa nafsu keinginannya namun apa yang terjadi manusia belum mengetahui hikmahnya, barulah ia sadar bahwa Allah tidak menghendaki melainkan yang baik saja, karena itu ia harus reda menerima apa yang terjadi.
3. Meningkatkan mutu apa yang telah dikerjakan, karena sesuatu amal perbuatan, Allah tidak menilainya dari segi lahirnya saja, tetapi Allah manilai dari motif dan keikhlasan dalam memperbuatnya, apakah pada saat memperbuat perbuatan itu denga keyakinan bahwa perbuatan itu terjadi dengan kurnia Allah atau dari yang lainnya.
4. Memelihara diri dari godaan syetan, memang syetan hanya dapat menggoda dan menipu manusia yang lupa dan lalai kepada Allah. Karena syetan itu sendiri adalah musuh yang membinasakan manusia dengan zikir berarti kita telah dapat menyelamatkan diri dari kebinasaan.
5. Kemaksiatan yang diperbuat oleh seseorang karena kejahilannya terhadap Allah dan hukum Allah. Kalau manusia betrl-betul ingat kepada Allah, tentulah ia tidak akan berbuat sesuatu perbuatan yang dikutuk Allah dan apalagi yang akan menjauhkan dirinya dari Allah.
D. Hubungan Berfikir dan Zikir
Berfikir mempunyai hubungan yang erat dengan zikir. Berfikir dan zikir merupakan dua kajian yang sebenarnya saling terkait. Namun ketika seseorang berfikir belum tentu dia berzikir, tetapi ketika seorang berzikir tercakup di dalam berfikir, sebab ketika seorang berzikir jelas dia juga mengerahkan kemampuan akal untuk mengingat Sang Pencipta. Di sinilah letak perbedaan berfikir dan zikir.
Dalam hubungan selanjutnya terlihat seperti yang dijelaskan dalam firman Allah, bahwa berfikir tanpa diiringi dengan zikir akan terlepas dari kendali agama yang terdiri norma-norma mengikat supaya terkontrol dalam berfikir. Lebih lanjut agama memberi arah bagi seseorang dalam berfikir. Demikian juga zikir atau ingat kepada sang pencipta merupakan sarana untuk sampai kepada sebuah pengetahuan. Seperti makna Ulil Albab yang dibicarakan dalam al-Qur’an dalam surat Ali Imran ayat 191 berbunyi:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ(ال عمران: 191)
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imran: 191)
Perpaduan kata يَذْكُرُونَ dan kata وَيَتَفَكَّرُونَ dalam ayat ini mengindikasikan sebuah hubungan yang erat antara fikir dan zikir. Inilah yang menyebabkan di dalam Islam fikir tanpa zikir akan menjadi hampa dan sebaliknya zikir tanpa fikir tidak akan bermakna.
E. Kesimpulan
Dari keterangan yang dipapar tentang berfikir dan zikir. Dapat diambil kesimpulan bahwa berfikir dapat dikaterogikan kepada dua keadaan, yaitu berfikir yang semata-mata untuk menghasilkan suatu pengetahuan dan berfikir untuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang tujuan akhirnya adalah untuk tazakkur kepada Pencipta Segala.
Di dalam Islam tafakkur yang dimaksud sebagai berfikir sering kali berbarengan dengan tafakkur. Jadi di dalam al-Qur’an berfikir yang dimaksud adalah berfikir yang bertujuan untuk mengingat (tazakkur) kebesaran Allah yang menciptakan alam dan segala isinya, yang menjadi sumber dari kegiatan berfikir itu sendiri. Jadi terlihat adanya hubungan yang harmonis antara fikir dan zikir dalam al-Qur’an.
Berbeda dengan kaum ateis yang menganggap alam ini sebagai suatu keharusan, jadi alam berevolusi dengan sendirinya tanpa campur tangan Tuhan. Melalui paham ini mereka menciptakan berbagai teori yang lahir dari kegiatan berfikir mereka tanpa menghubungkannya dengan paham agama yang mengakui bahwa ada sesuatu di balik alam ini, yaitu suatu kekuatan yang Maha dan Berkuasa.
DAFTAR PUSTAKA
Hoodhboy, Pezvez, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas antara Sains dan Ortodoksi Islam, terj. Sari Meutia, judul asli: Islam dan Sciense, Religious Orthodoxy and the Battle for Rasionality, Bandung: Mizan, 1996
Munziri, Logika, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Sumantri, Yuyun S. Suria, Ilmu dalam Perspektif, tulisan: JM. Bochenski, Jakarta: Gramedia, 1989, cet. ke-1
Sou’yb, Yoesoef, Logika, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983, cet. ke-1
Sjukur, Asjwadie, Ilmu Tasawwuf, Surabaya: PT.Bina Ilmu 1979
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Pedoman Dzikir dan Do’a, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1956
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fak. Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Yagyakarta: Liberty, 1996
Valiuddin, Mir, Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawwuf, terj. Nasrullah, judul asli: Contempletive Disciplines in Sufism, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996
Senin, 23 Maret 2009
IBNU HAJAR AL-ASQALANY, IMAM AN-NAWAWY, DAN AL-ZARQANY (KAJIAN SYARAH KITAB-KITAB HADIS)
Kajian hadis terus bergulir. Kitab-kitab hadis terus bermunculan. Hadis-hadis dibukukan dalam bentuk al-Jawami’, al-Masanid, al-Ma’ajim, al-Mustadrak dan sebagainya. Pembukuan hadis semacam ini berkembang terus hingga lahirlah bentuk kitab hadis yang bermacam-macam. (Kontekstual: 278)
Gerakan tadwin ini telah menciptakan sebuah stagnasi dalam bidang intelektual. Akan tetapi gerakan ini tetap saja di satu sisi menyimpan khazanah ilmu para ulama, walau di sisi lain menyebabkan ulama merasa cukup dengan apa yang telah tersedia. Mereka tidak merasa perlu melakukan penelitian ulang. Lama-kelamaan secara perlahan berkembanglah tradisi membuat syarah untuk memudahkan pembaca memahami kitab-kitab rujukan. Mereka menjelaskan kata-kata atau kalimat-kalimat secara semantik atau menambahkan penjelasan dengan mengutip ucapan ulama lain. Seperti yang dilakukan terhadap Kitab Bukhari, paling tidak terdapat tiga kitab syarahnya, Fath al-Bary, Iryad al-Sary, Umdah al-Qari, juga terhadap Shahih Imam, seperti yang dilakukan al-Nawawi.
Ini sebagai bukti kemandekan intelektual masa itu. karena seorang ulama tidak lagi menciptakan sebuah karya baru, tetapi karya tulis mereka merupakan kitab yang mengelaborasi karya lain yang lebih orisinil. Hal ini terjadi tidak hanya dalam bidang hadis, tetapi merambah ke hampir semua cabang ilmu.
Namun terdapat hal positif bahwa karya syarah bukanlah akhir perjalanan ilmiah dalam masa kemandekan intelektual. Akan tetapi sebuah karya syarah membuka peluang kepada bentuk elaborasi lebih lanjut, sehingga merupakan elaborasi atas elaborasi yang nantinya akan memunculkan lagi kitab yang disebut Hasyiyah.
Demikian pula terlihat bahwa usaha para ulama melakukan pensyarahan terhadap kitab hadis merupakan wujud dari kepedulian ulama terhadap pemeliharaan hadis lebih lanjut dan untuk menjelaskan makna hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis. Selain itu terdapatnya masalah-masalah dalam kitab hadis telah mengundang ulama untuk meneliti hadis-hadis yang telah dibukukan tersebut.
Hal ini terbukti seperti yang dilakukan oleh al-Asqalani terhadap Sahih Bukhari. Beliau menjelaskan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab sahih Bukhari, seperti dijelaskannya dalam Muqaddimah-nya Hadyu Sari. Demikian pula yang dilakukan oleh Imam Nawawi terhadap Sahih Muslim. Dan kitab-kitab Syarah lainnya.
Di dalam pembahasan ini penulis membatasi pada kitab Syarah terhadap Shahih Bukhari yang disusun oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, Syarah terhadap Shahih Muslim oleh Imam Nawawi , dan Syarah Kitab Muwatha Imam Malik oleh al-Zarqani.
B. Ibnu Hajar al-Asqallany dan Syarahnya atas Kitab Shahih Bukhari
1. Biografi Ibnu Hajar al-Asqalany
Ibnu Hajar mempunyai nama lengkap Syihabuddin abu Fadl Ahmad Ali bin Muhammad bin Hajar al-Asqallany. Beliau lahir di Cairo, 21 Sya’ban 773/ 18 Februari 1372, dan wafat 28 Zulhijjah 852/22 Februari 1449.
Ibnu Hajar al-Asqalany adalah seorang ulama hadis, sejarawan, dan ahli fiqh mazhab Syafi’i. Tentang asal usul keluarganya tidak diketahui secara pasti. Nenek moyangnya mula-mula pindah ke Iskandariyah dan kemudian ke Cairo. Ayahnya Nuruddin Ali adalah seorang ulama besar yang dikenal juga sebagai seorang mufti selain itu juga terkenal sebagai penulis sajak-sajak. Sedangkan ibunya Tujjar adalah seorang wanita kaya yang aktif dalam kegiatan perniagaan.
Ibnu Hajar menjadi yatim semenjak masa kanak-kanak. Ayahnya meninggal ketika Ibnu Hajar berusia empat tahun, sedang ibunya telah lebih dahulu meninggal. Sepeninggalan orang tuanya, Ibnu Hajar diasuh oleh seorang saudagar kaya bernama Zakiuddin Abu Bakar al-Kharrabi. Beliau telah ditunjuk oleh ayahnya sebagai pembimbing utama baginya. Namun kurang lebih 10 tahun kemudian, pembimbingnya meninggal dunia pada saat Ibnu Hajar masih berusia 14 tahun.
Pendidikan Ibnu Hajar dimulai ketika ia berusia 5 tahun. Di usia tersebut ia telah sekolah dan pada usia 9 tahun telah mampu menghafal al-Qur’an. Selanjutnya ia belajar kepada ulama besar pada masanya seperti Jamaluddin al-Bulqini, Ibnu al-Mu’an, al-Fairuz, dan Muhibbuddin bin Hisyam (w. 799 H) dalam ilmu bahasa dan ilmu saraf, kemudian kepada at-Tanukhi dalam bidang ilmu qiraah, dan Syamsuddin Muhammad bin Ali bin Qattam yang merupakan guru yang paling banyak memperkenalkan literatur sejarah kepadanya.
Pada waktu usianya 23 ia mulai menekuni ilmu hadis. Untuk itu ia mengadakan perjalanan ke Hijaz, Yaman, Palestina , dan Suriah. Perjalanan ini berakhir ketika ia kembali dari Suriah. Adapun guru utamanya dalam ilmu hadis adalah Zainuddin al-Iraqi (800 H). selain itu Ibnu Hajar juga dibimbing oleh Izzaddin bin Jama’a dalam bidang hadis dan fiqih sampai Ibnu jama’a wafat (765 H). Sebagian besar guru Ibnu Hajar memberikan ijazah kepadanya untuk mengeluarkan fatwa dan mendirikan pengajaran.
Karir Ibnu Hajar berlangsung sebagaimana umumnya para ulama besar sebelumnya. Ia menjadi dosen, guru besar, pimpinan akademi (madrasah), hakim, khatib, dan pustakawan.
Sebagai dosen ia mengajarkan ilmu hadis, ilmu tafsir, dan fikih. Kuliahnya tentang ilmu hadis dimulai pada bulan syawal 808/Maret 1406 di Syaikhuniyah. Ia juga memberi kuliah di Madrasah Jamalia ketika pertama kali dibuka pada bulan Rajab 811 H dan di madrasah Mankutimuriyah pada bulan Jumadil akhir 812 H.
Asosiasi akademisnya yang terpenting adalah perguruan Baybarsiyah. Pada perguruan ini, ia menjadi kepada Bidang Pengawasan Pendidikan dan Administrasi ( 3 Rabiul Awal 813 H). setelah sempat berhenti beberapa lama, ia kembali menduduki jabatan ini selama lebih dari 31 tahun (Rabiul Akhir 818). Kemudian ia memindahkan aktifitas pengajarannya ke Darul Hadis al-Kamiliyah. Pada tanggal 2 Rabiul Awal 852 H ia kembali mengajar di Baybariyah untuk beberapa bulan sebelum ia menderita sakit.
Jabatannya sebagai hakim dimulainya Bulan Muharam 827 H. jabatannya ini diterimanya setelah beberapa kali ditawarkan kepadanya. hal ini disebabkan ketika itu rekannya jamaluddin al-Bulqini menjadi hakim agung dan ia sendiri menjadi wakilnya. Tidak lama kemudian, pada bulan Zulkaidah 827, Ibnu hajar diturunkan dari jabatannya karena di antara kebijaksanaannya ada yang tidak sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah. Jabatagnnya digantikan oleh Syekh al-Harawi yang juga tak bertahan lama. Selejutnya Ibnu Hajar ditunjuk kembali menggantikan Syekh al-Harawi. Jabatannya ini dipegangnya selama lebih dari dua puluh tahun.
Ibnu Hajar juga mendirikan kantor Mufti di Dar al-‘Adl (811 H) tahun 826 ia mengambil alih administrasi perpustakaan di Mahmudiyah. Ia juga menjadi khatib di al-Azhar dan di Masjid Amr bin Ash.
Ibnu Hajar populer dengan karya ilmiyahnya terutama dalam bidang ilmu Hadis, misalnya Fath al-Bari fi Syarh al-Bukhari. Karya besarnya ini mencapai puncak kejayaannya pada tahun 833 H, ketika penguasa Timur di wilayah Fars (Iran) dan Sijistan, Syah Rukh, meminta penguasa Mesir, Barsbay, untuk memberikan beberapa salinan kitab ini.
Karya-karya Ibnu hajar yang lain, di antaranya:
a. Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah
b. Tahzib al-Tahzib
c. Lisan al-Mizan
d. Anba’ al-Gumr bin ‘Anba’ al-‘Umr
e. Bulugh al-Maram min Adilla al-Ahkam
Artikel-artikel Ibnu Hajar yang lebih rinci sudah banyak dihimpun oleh para ilmuan, baik muslim maupun orientalis, misalnya Brockelmann. Salah satu bukunya yang berjudul Bulugh al-Maram min Adilla al-Ahkam sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, juga Fathul Bari fi Syarah al-Bukhari. Dan pada umumnya karya beliau dipergunakan di perguruan tinggi Islam.
2. Fath al-Bari: Syarah Ibnu Hajar al-Asqallany atas Shahih Bukhari
Nama kitab Syarah ini adalah Fath al-Bari bi Shahih al-Bukhari. Kitab Fath al-Bari ini adalah kitab syarah Sahih Bukhari yang paling baik dan paling lengkap.
Dalam kitab ini al-Asqalani menjelaskan masalah bahasa dan I’rab dan menguraikan masalah penting yang tidak ditemukan dalam kitab lain. Beliau juga menguraikan di dalam kitab ini segi balaghah dan sastranya, mengambil hukum, serta memaparkan berbagai masalah yang diperdebatkan oleh para ulama, baik menyangkut fiqih maupun ilmu kalam secara terperinci dan tidak memihak. Di samping itu beliau juga mengumpulkan seluruh sanad hadis dan menelitinya, serta menerangkan tingkat kesahihan dan kedha’ifannya. Semua itu menunjukkan keluasan ilmu dan penguasaannya mengenai kitab-kitab hadis.
Muqaddimah al-Asqallany ini dibagi menjadi beberapa fasal yang menerangkan hal-hal yang terkait dengan Shahih Bukhari, di antaranya:
a. Menjelaskan sebab-sebab yang mendorong Imam Bukhari dalam menulis kitabnya.
b. Menjelaskan tentang judul/Maudhu’ Shahih Bukhari
c. Menjelaskan hadis-hadis munqathi’ yang terdapat dapat kitab Sahih Bukhari
d. Menjelaskan sebab-sebab hadis Mu’allaq, Marfu’ dan Mauquf. Fasal ini menjelaskan hadis-hadis tersebut mulai dari Kitab Wahyu diakhiri dengan kitab Tauhid, sesuai dengan urutan kitab dan bab yang terdapat dalam Shahih Bukhari.
e. Menjelaskan bentuk-bentuk kata yang gharib dalam Sahih Bukhari. Fasal ini penjelasannya disusun berdasarkan huruf Mu’jam dimulai dengan Alif dan diakhiri dengan huruf Ya berdasarkan nama-nama Rawi yang gharib.
f. Penjelasan tentang Mu’talif, Mukhtalif dalam Asma’, Kunyah, Laqab, Nasab dalam Sahih Bukhari. Seperti kata بشير bisa fathah ba, bisa juga dhammah. Ini dijelaskan dalam fasal ini.
g. Penjelasan tentang nama-nama yang muhmal
h. Menjelaskan hadis-hadis yang dikritik oleh Dar-Quthni
i. Menjelaskan nama-nama rawi yang cacat yang terdapat dalam Shahih Bukhari
j. Menjelaskan rujukan dari hadis-hadis yang terdapat dalam Jami’ (Shahih Bukhari) ini
Abu Syuhbah mengungkapkan bahwa Muqaddimah ini amat tingi nilainya. Seandainya ia tulis dengan tinta emas, maka emas itu belum sebanding dengan tulisan itu. sebab ia merupakan kunci untuk memahami sahih Bukhari. Kitab ini selesai ditulis tahun 813 H.
Al-Asqalani mulai menulis kitab Syarah yang menurut rencananya pembahasan tersebut ditulis panjang lebar dan terperinci. Namun ia khawatir bila ada halangan untuk menyelesaikannya, yang mengakibatkan kitab itu selesai namun tidak sempurna. Karena itu beliau menulis syarah tersebut dengan cara sederhana yang diberi nama Fath al-Bari.
Penulisan syarah ini dimulai dengan Kitab Bada’a al-Wahyu yaitu bab Kaifa bada’a wahyu ila Rasul Saw. Ini dapat dilihat pada jilid pertama kitab Syarah yang telah dicetak beberapa kali. Baik di Mesir maupun di negara lain seperti Indonesia. Dan bagian terakhir dari Kitab Syarah ini yaitu Kitab Tauhid dan penutup kitab. (Lihat Ibnu Hajar, Fath al-Bari jilid I dan XIII/XV)
Di dalam mensyarah hadis Ibnu Hajar memulainya dengan mencantumkan ayat al-Qur’an, menjelaskan ayat, disertai pula dengan pendapat ulama. selanjutnya beliau mencantumkan hadis, dimulai dengan menjelaskan sanad hadis, diteruskan kepada syarah matan, yang kesemuanya tidak terlepas dari analisa bahasa.
Kitab Syarah ini terdiri dari 13 jilid sebagaimana yang diungkap oleh Abu Syuhbah, terdiri dari 15 Kitab, jilid VI dan IX masing-masing terdiri 2 kitab. Namun dalam beberapa cetakan dibuat 15 Jilid. Selain itu terdapat pula 2 jilid Fahras selain Muqaddimah. Selanjutnya juga ada juga yang dilengkapi dengan Kitab Taujih al-Qary yang berisi kaidah-kaidah sanad dan kriteria hadis-hadis Bukhari sebanyak 1 jilid. Walaupun punya 2 jilid Fahras namun tiap juz/jilid mempunyai fahras masing-masingnya.
Di dalam penulisan Fath al-Bari ini Ibnu Hajar telah menghitung hadis Sahih Bukhari dengan teliti. Kejelian penghitungan ini ditunjang oleh penulisan Syarah itu sendiri. Di akhir setiap bab, ia menyebutkan jumlah hadis maushul yang marfu’, hadis mu’allaq dan hadis mutabi’, serta perkataan para sahabat dan tabi’in.
Di dalam Muqaddimah Fath al-Bari telah disebutkan bahwa :
a. Seluruh hadis Sahih Bukhari yang maushul tanpa mengulang sebanyak 2. 602 buah.
b. Jumlah matan hadis mu’aalaq namun marfu’ yang tidak disambung pada tempat lain sebanyak 159 buah.
c. Jumlah semua hadis termasuk yang diulang sebanyak 7.397 buah
d. Jumlah hadis Muallaq sebanyak 1.341 buah
e. Jumlah hadis mutabi’ sebanyak 344 buah
f. Jumlah seluruhnya termasuk yang diulang sebanyak 9.082 buah.
Penulisan kitab ini menghabiskan waktu seperempat abad. Dimulai tahun 817, dan selesai tahun 842 H. maka tidak mengherankan bila kita itu paling bagus, teliti dan sempurna. Selain itu, penulisannya dilakukan oleh penyusunnya dengan penuh keikhlasan.
Setelah selesai menulis kitab syarah tersebut, Asqalani mengadakan resepsi agung dihadiri tokoh-tokoh Islam dengan biaya 500 dinar atau sekitar 250 pound Mesir. Kitab ini selalu mendapatkan sambutan hanya dari para ulama, baik pada masa dulu maupun sekarang, dan selalu menjadi kitab rujukan.
Ada beberapa hal lain yang ditemui dalam Kitab Fath al-Bari ini:
a. Dalam mengemukakan hadis-hadis Ibnu Hajar berusaha mencarikan sanad-sanad sehingga sampai kepada Nabi, sehingga dalam Fath al-Bari pembahasannya lebih kuat dari segi rijal hadis.
b. Dalam Fath al-Bari Ibnu Hajar sering mengalihkan Syarah ke Kitab lain atau ke jilid lain:
Contoh: Akan Saya syarahkan di ..................................
Telah Saya syarahkan di ..................
Hal ini dilakukannya untuk mengatisipasi agar tidak terjadi pengulangan
C. Imam al-Nawawi dan Syarahnya atas Kitab Shahih Muslim
1. Biografi Imam al-Nawawi
Beliau lahir di Nawa, Damaskus pada bulan Muharram 631 H dan wafat pada tanggal 24 Rajab 676 H. Imam Nawawi adalah seorang Syekh Islam yang banyak menulis buku, ahli hadis, fikih, dan bahasa. Ia dikenal sebagai mujtahid yang sibuk dengan kegiatan muzakarah. Dikenal pula dengan nama al-Hafiz Muhyiddin an-Nawawi. Sedangkan nama lengkap Imam Nawawi adalah Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarif bin Muri al-Khazami al-Hawarabi al-Syafi’i. Ia seorang Faqih Syafi’i, ahli Hadis dan Zahid.
Imam Nawawi meninggal dalam usia 45 sebelum meninggal, ia sempat pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji beserta orang tuanya, menetap di Madinah selama 1,5 bulan, dan sempat berkunjung ke Baitulmaqdis. Ia tidak menikah sampai akhir hayatnya.
Pada usia 19 tahun ia belajar di sekolah ‘ar-Rawahiya” di Damaskus. Ia sangat tekun dalam mencari ilmu selama 20 tahun, sampai ia menguasai beberapa disiplin ilmu agama, seperti hadis dan ilmu hadis, fikih dan usul fiqih serta bahasa. Guru-gurunya antara lain Rida bin Burhan, az-Zaid Khalid, Abdul Aziz bin Muhammad al-Ansari, Zainuddin bin Abdul Daim, Imaduddin Abdul Karim al-Harastani, zaiduddin Khalaf bin Yusuf, Taqiuddin bin Abi al-Yassar, Jamaluddin bin as-Sirafi, dan Syamsuddin bin Amr. Khusus pelajaran hadis diperolehnya dari ulama hadis seperti Abu Ishaq Ibrahim bin Isa al-Muradi, usul fikih dari al-Qadi at-Taflis, dan fikih dari al-kamal Ishaq al-Mari dan Syamsuddin Abdurrahman al-Ma’mari. Kitab-kitab hadis, seperti al-Kutub as-Sittah, al-Musnad,dan al-Muwatha’ segera dikuasainya. Menurut Ibnu Atar, salah seorang muridnya, ia meluangkan waktu untuk membaca setiap harinya sebanyak 12 pelajaran untuk berbagai disiplin ilmu.
Perhatiannya terhadap kondisi sosial sangat besar. Ditegakkannya amar makruf dan nahi munkar. Ia membimbing para pemimpin dan orang-orang yang zalim dan mungkar kepada agama. Ia melarang masyarakat Syam (Suriah) memakan buah-buahan yang dinilai syubhat, yang oleh para ulama diperselisihkan hukumnya.
Murid-muridnya antara lain al-Khatib Sadar Sulaiman al-Ja’fari, Syihabuddin Ahmad bin Ja’wan, Syihabuddin al-Arbadi, Alanuddin bin Atar, Ibnu Abi al-Fath, al-Mizzi,dan Ibnu Atar.
Sejak berusia 25 tahun hingga wafatnya Imam Nawawi menulis sejumlah kitab, antara lain:
a. Syarh Kitab Hadis susunan al-Baghawi
b. Syarh Hadis karya ad-Daruqudni
c. Ar-Raudah
d. Al-Majma’ (Syah al-Muhazzab)
e. At-Tibyan fi Adab Hamlah al-Qur’an
f. Tahrir at-Tanbih
g. Al-‘Umdah fi Tasbih an-Niyyah
h. Tahzib al-Asma’ wa al-Lughah
i. Syarh Shahih Muslim
j. Khulasah fi al-Hadis
k. Al-Isyarah ila al-Mubhamat
l. Al-Irsyad
m. Ulum al-Hadis
n. At-taqrib wa at-taisir li Ma’rifati Sunan an-Nasyir wa an-Nazir
o. Al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim
p. Al-Arba’Imam Nawawi
q. Riyad as-Shalihin
r. Al-Fatawa
s. Al-Idah fi al-Manasik
t. Al-Azkar
2. Sistematika dan Kandungan Syarah Imam Nawawi atas Kitab Shahih Muslim
Kitab syarah ini bernama al-Minhaj fi Syarhi Sahihi Muslim bin Hajjaj. Dalam kitab ini Imam Nawawi banyak merujuk kepada para pendahulunya , seperti al-Maziri dan Qadi Iyad. Syarah Imam Nawawi ini penjelasannya terkadang pertengahan (tidak panjang dan tidak ringkas), terkadang singkat. Syarah ini banyak menjelaskan masalah akidah, hukum, akhlak, bahasa, nama perawi dan usaha mengkompromikan hadis yang tampak bertentangan, serta menunjukkan dalil-dalil yang dipakai oleh berbagai mazhab.
Kitab ini terdiri dari 9 Jilid dengan 18 Juz. dengan judul Shahih Muslim bi Syarhi Imam al-Nawawi. Dalam mensyarah hadis Imam Nawawi langsung kepada Syarah hadis serta melengkapinya dengan pendapat ulama. selain itu beliau juga mengemukakan hadis-hadis yang serupa yang tegrdapat dalam kitab hadis yang lain, seperti dari Imam Nasa’i dan lainnya.
Sistematikan penulisannya dimulai dari Muqaddimah, kemudian dimulai dengan Kitab iman dan diakhiri dengan kitab Tafsir. Setiap-setiap juz dari kitab ini diberi fahras hadis, walaupun jusz-juz tersebut terdapat dalam satu jilid, tetap saja dibatasi oleh fahras.
Kitab Syarah ini juga dimulai dengan Tarjamah Imam Muslim dan tarjamah pensyarah sendiri yaitu Imam Nawawi. Kitab Syarah ini disertai Muqaddimah yang membahas ilmu hadis dan sebagai kunci Sahih Muslim. Dalam Muqaddimah ini dijelaskan:
a. Isnad hadis hingga sampai kepada Imam Muslim.
b. Keadaan rawi itu sendiri
c. Muwazanah antara Bukhari dan Muslim
d. Keutamaan Shahih Muslim
e. Penjelasan Tentang hadis Mu’allaq yang terdapat dalam Shahih Muslim
f. Keshahihan hadis dalam Kitab Shahih Muslim
g. Dijelaskan tentang perbedaan Haddasana dan Akhbarana
h. Penjelasan Imam Muslim dengan perbedaan kedhobitan rawi
i. Pembagian Imam Muslim terhadap hadis-hadis
j. Kedalaman Imam Muslim dalam takhrij hadis
k. Menjelaskan Kitab Mukharrij ‘Ala Shahih Muslim
l. Penjelasan hadis shahih
m. Penjelasan tentang hadis hasan dan hadis dha’if
n. Penjelasan tentang hadis Munqathi’, Mursal, Marfu’ dan Mauquf
o. Apakah Fi’il Shahabat itu termasuk hujjah ?
p. Sanad yang Mu’an’an
q. Pembagian Tadlis
r. Hukum Mukhtalith
s. Penjelasan al-Nasikh dan Mansukh
t. Pengetahuan tentang Shahabat dan Thabi’in
u. Penjelasan tentang nama yang diulang-ulang
Selanjutnya dalam syarah ini, terutama di bagian awal, terdapat penjelasan yang panjang, yang disusun secara baik dan memuaskan. Namun dalam beberapa tempat lain. Nawawi memberikan syarah secara singkat. Kadang penjelasannya sulit dipahami atau dengan menggunakan kalimat global yang tidak memberi kepuasan kepada para pengkajinya.
Kitab Syarah Imam Nawawi ini adalah kitab syarah Muslim yang terbaik yang sudah dicetak, terutama muqaddimahnya yang sangat berharga, dan pengaturan bab-babnya secara sempurna. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali di Kairo dan India.
D. Al-Zarqany dan Syarahnya atas Kitab Muwatha’ Malik
1. Biografi al-Zarqany
Nama beliau adalah Muhammad al-Zarqani bin Abdulbaqi bin Yusuf bin Ahmad bin ‘Ulwan al-Mishr al-Azhari al-Maliki, selain itu disebut juga nama beliau Abu Abdillah Muhammad bin ‘Abdul al-Baqi bin Yusuf al-Zarqani. Namun termasyur dengan nama al-Zarqani seorang Imam hadis. Al-Zarkali mengatakan bahwa al-Zarqani merupakan ulama terakhir yang ada di negeri Mesir. Beliau lahir pada tahun 1055 H dan wafat 1122 H di Kairo. Sedangkan nasabnya kepada Zarqan merupakan sebuah desa yang terletak dekat Mesir.
Beliau berguru kepada orang tuanya al-Naur Ali al-Syibramalisy, Syaikh Muhammad al-Babily, dan selainnya.
Diantara karya al-Zarqani yang terkenal:
a. Syarah ‘Ala Muwatha’
b. Syarah ‘Ala Mawahib ad-Diniyah
c. Syarah al-Mandhumah al-Baiquniyah
d. Mukhtashar al-Maqashid al-Hasanah fi al-Ahadis al-Musytahirah
e. Wushulu al-Amany fi al-Hadis.
Tidak banyak sumber yang membicarakan tentang riwayat hidup al-Zarqani, tetapi dalam beberapa permulaan kitab karyanya ditemukan sekilas tentang riwayat hidup al-Zarqany sendiri.
2. Syarah al-Zarqany atas Muwatha’ Imam Malik
Kitab-kitab Muwatha’ yang umum dipakai adalah kitab Muwatha’ yang telah disyarahkan oleh al-Zarqani. Nama asli Kitab syarah ini adalah Abhaju al-Masalik bi Syarhi Muwatha’. Kitab ini terdiri dari 5 jilid, yang setiap jilidnya mempunyai fahras sendiri. Kitab ini mulai ditulis oleh al-Zarqani pada 10 Jumadil Awal 1109 H.(muqaddimah Kitab). Dan selesai pada tanggal 25 Ramadhan 1383 di Mesir. (Khatimah Kitab)
Syarah Muwatha’ yang disusun oleh al-Zarqany ini dimulai dengan Muqaddimah yang berisi Pembukaan oleh penyusun, yang berisi tentang penjelasan bahwa kitab syarah ini mulai disusun oleh al-Zarqani pada 10 Jumadil Awal 1109 H. beliau menjelaskan bahwa dalam mensyarah kitab Muwatha’ ini dilakukan dengan penjelasan yang sedang, tidak pendek dan tidak panjang. Dan di dalam menjelaskan ini beliau mengindari pengulangan. Namun beliau mengalas bahwa keberadaan manusia yang mempunyai sifat pelupa tidak mungkin dihindari. Demikianlah seorang Zarqani yang senantiasa dalam menyusun syarah ini, berlindung kepada Allah dari sifat hasad.
Kemudian Penjelasan ini dilanjutkan dengan menjelaskan Kitab Muwatha’ sendiri, yang menerangkan tentang Imam Malik sebagai penyusun Kitab Muwatha’, selanjutnya beliau menjelaskan tentang kandungan Muwatha’ serta bagaimana pendapat ulama terhadap Imam Malik dan Muwatha’ yang beliau susun. (tentang penjelasan ini telah dikemukakan dalam pembahasan terdahulu)
Syarah Hadis dimulai dengan Bab Wuqut al-Shalat, pada juz I, kemudian diakhiri dengan bab Asma’ al-Nabi Saw pada juz ke V. Ini seperti yang terdapat dalam Kitab Muwatha karya Imam Malik. Demikian juga tentang susunan Kitab, bab, dan hadis, sama seperti Muwatha’ sendiri, namun ditambah dengan syarah oleh al-Zarqani.
Di dalam Syarah ini, ketika menjelaskan hadis al-Zarqani menguatkan dengan ayat al-Qur’an, kemudian beliau menjelaskan hadis mulai dari sanad, dan berlanjut kepada penjelasan tentang matan hadis.
Kitab Syarah ini juga telah dicetak-berulang kali dengan model cetakan yang berbeda-beda.
E. Penilai Kitab
Di antara ketiga Kitab Syarah yang dipaparkan di atas. Nampaknya Fath al-Bary mendapat tempat yang istimewa dalam penilaian ulama. Al-Allama Syaikh Muhammad bin Ali as-San’ani asy-Syaukani (1255 H) penulis Nailul Autar, mengemukakan penilaiannya ketika diminta menulis kitab syarah sahih Bukhari, ia mengagumi Ibnu hajar. Dia mengutip sebuah hadis La Hijrah ba’da fathi (tidak ada hijrah setelah penaklukan Makkah). Dia meminjam istilah dari hadis itu sebagai ungkapan bahwa tidak ada kitab syarah sahih Bukhari yang melebihi Fath al-Bari.
Al-Allama Ibnu Khaldun, dalam muqaddimahnya mengutip perkataan guru-gurunya yang mengatakan: “Mensyarah sihih Bukhari adalah tugas yang dibebankan pada umat ini”. ucapan ini secara pasti dinyatakan sebelum adanya Fath al-Bari. Dengan demikian Ibnu Hajar telah menunaikan tugas yang menjadi tanggung jawab umat ini.
Untuk melihat sebuah penilaian lebih terhadap sebuah karya Syarah tentunya seorang penilai akan dihadapkan kepada Kitab syarah lain yang mengacu kepada kitab rujukan yang sama. Seperti halnya Syarah terhadap Shahih Bukhari ini, yang yang juga dilakukan oleh ulama lain, seperti Syihabuddin al-Qasthallani yang mensyarah Kitab Shahih Bukhari dengan nama Irsyad al-Syary.
Dengan kitab ini bisa dibandingkan bagaimana nilai lebih dari Fath al-Bary. Kalau dilihat dari pembahasannya Irsyad al-Syary lebih bernuansa Fiqh. Sedangkan Fath al-Bary lebih mendalam dalam pembahasan al-Rijal Hadis-nya. hal lain terlihat bahwa Irsyad al-Syary kurang dalam pembahasan hadis serta disyarahkan perkalimat. Sedangkan Fath al-Bary disyarahkan secara utuh.
Jadi, tidak dapat dipungkiri sampai saat ini, Fath al-Bary masih sebagai Syarah Bukhari yang terbaik.
Seperti halnya Fath al-Bary, Shahih Muslim bi Syarhi Imam al-Nawawi juga mendapat perhatian para ulama. Di antara kitab Syarah yang mensyarah Kitab Shahih Muslim. Syarah Imam al-Nawawi ini-lah yang sering dijadikan rujukan dalam syarah Shahih Muslim.
Walaupun tidak selengkap Fath al-Bary dalam menjelaskan hadis-nya. kitab ini hadir dengan pembahasan yang sederhana, disebabkan pada waktu itu penuntut ilmu tidak suka kitab-kitab yang panjang.
Abu Syuhbah mengungkapkan bahwa diharapkan sejumlah ulama hadis membuat proyek penyusunan Syarah Shahih Muslim yang lengkap, untuk memenuhi segala yang dibutuhkan oleh upara peneliti dan pelajar. Ini sebagai bukti bahwa Syarah yang ada terhadap Shahih Muslim masih belum lengkap.
Sedangkan Kitab al-Zarqani yang merupakan syarah Kitab Muwatha’ juga merupakan kitab yang penting keberadaannya. Al-Zarqani sebagai ulama Hadis, sekaligus Fiqih telah melakukan mensyarahan yang sangat membantu dalam mengungkap hadis-hadis yang terdapat dalam Kitab Muwatha’ Imam Malik.
F. Analisa
Melihat perkembangan kitab-kitab syarah mulai abad VIII ini, terlihat adanya efek positif terhadap stagnasi berfikir umat masa itu. ide-ide kreatif muncul untuk membuka corak baru dalam memunculkan kitab-kitab baru. Walau bukan merupakan karya orisinil, akan tetapi ini memperlihatkan nuansa baru dalam perkembangan pemikiran di dunia Islam.
Munculnya kitab-kitab Syarah ini memberi peluang kepada para ulama untuk mengemukakan pemahaman mereka terhadap teks-teks agama yang telah mengundang munculnya taqlid dan semacamnya pada masa sebelumnya.
Dalam Bidang hadis muncul berbagai Kitab Syarah yang berusaha merebut peringkat terbaik di hati umat. Kemunculan Kitab syarah ini berlanjut terus, hingga pada akhirnya muncul pula Hasyiyah yang kembali melakukan elaborasi terhadap syarah yang ada. Dengan demikian sebuah Kitab Karya ulama masa lalu, bisa menjadi semakin diterima karena senantiasa berkembang sejalan dengan usaha-usaha yang dilakukan ulama.
Seperti yang dilakukan Ibnu Hajar dalam Fath al-Bary. Beliau telah berusaha mengungkapkan penjelasan yang menyeluruh dalam mensyarahkan kitab Shahih Bukhari. Sehingga menguatkan keberadaan Shahih Bukhari sebagai kitab Mu’tamad. Hadis-hadis yang dikritik oleh para ulama seperti Dar al-Quthny, telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Syarah-nya.
Demikian pula dengan Shahih Muslim yang telah disyarahkan oleh Imam al-Nawawi. Al-Nawawi juga menjelaskan hadis-hadis yang terdapat dalam Shahih Muslim termasuk hadis-hadis yang dikritik ulama.
Kitab Syarah Muwatha’ juga berusaha menjelaskan makna hadis termasuk sanad-sanad yang dipertanyakan dalam penyusunan kitab ini. seperti sanadnya yang senantiasa menggunakan nama murid-murid Imam Malik. Ini telah dijelaskan dalam Kitab Muwatha’
G. Penutup
Kajian kitab syarah ini merupakan suatu kajian yang tidak terlepas dari karya-karya syarah yang muncul setelah masa tadwin hadis, dan setelah masa kemandekan intelektual di dunia Islam.
Berbagai kitab syarah yang merupakan wujud dari kepedulian ulama dalam mengkaji karya-karya ilmiyah ulama masa lalu. Untuk selanjutnya dipahami oleh umat belakangan. Namun kajian ini tidak akan berhenti begitu saja, kajian syarah ini terus membuka peluang bagi ulama untuk menggali terus makna-makna yang terdapat dalam kitab-kitab orisinil masa lalu. Wallahu ‘alam bis-Shawab
DAFTAR PUSTAKA
Nurcholis Madjid, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 278
Syekh Kamil Muhammad Muhammad ‘Uwaidhah, Ibnu Hajar al-Asqalany, (selanjutnya disebut ‘uwaidhah), (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), h. 7
Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1986), h. 154. Lihat juga’Uwaidhah, op.cit., h. 31-32
Muhammad Abu Syuhbah, Kutubus Sittah, Judul Asli: Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihhah al-Sittah, penerjemah Ahmad Ustman, (selanjutnya disebut Abu Syuhbah), (Surabaya: Pustaka Progresif, 1993), h. 56
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalany, Hadyu al-Sari Muqaddimah Fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), h. 5 dst..
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalany, Fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Jilid I dan XV
Imam al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi al-Nawawi, (Beirut: Dar Fikr, 1981), h. ه
Abdullah Mustafa al-Maraghi, Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, Judul Asli: Fath al-Mubin fi Thabaqat al-Ushuliyin, penerjemah Husein Muhammad, (Yogyakarta: LKPSMO31, 2001), h. 209
Al-Zarqani, Syarah ‘Ala Mawahib ad-Diniyah, (Beirut: Dar Kutub Ilmiyah, 1996), h. 8. Lihat juga
Abu Abdillah Muhammad bin ‘Abdul al-Baqi bin Yusuf al-Zarqani, Syarah Muwatha Imam Malik, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Mushtafa al-Babi al-Halabi, 1961)
Hasyim Ahmad Umar, al-Sunnah al-Nabawiyah wa ‘Ulumuha., (Kairo: Maktabah Gharib, t.th.), h. 221